Marah, dalam bahasa Arab disebut ghadab (غَضَب). Dia adalah salah satu emosi dasar manusia yang muncul sebagai reaksi terhadap situasi atau peristiwa yang dianggap mengancam, menyakitkan, atau tidak adil.
Marah bisa bersifat positif jika digunakan untuk mendorong perubahan yang konstruktif, tetapi seringkali marah menjadi destruktif ketika tidak terkendali, membawa dampak negatif baik pada diri sendiri maupun orang lain.
Secara etimologis, kata ghadab berasal dari akar kata غ-ض-ب (gh-d-b) yang berarti marah, murka, atau geram. Dalam konteks psikologis dan sosial, marah diartikan sebagai kondisi emosional yang ditandai dengan rasa tidak puas, frustasi, dan keinginan untuk melakukan tindakan agresif.
Marah bisa menjadi reaksi instan terhadap suatu kejadian yang tidak diinginkan atau sebagai akumulasi dari berbagai pengalaman negatif
Marah yang tidak terkendali berdampak negatif yang besar baik bagi individu maupun masyarakat.
Bagi individu, marah berlebihan dapat merusak kesehatan fisik, kesehatan mental, dan kesejahteraan spiritual.
Dampak negatif ini dapat mengganggu kehidupan sehari-hari dan mengurangi kualitas hidup.
Bagi masyarakat, marah yang tidak terkendali dapat menyebabkan kerusakan hubungan sosial, meningkatkan konflik dan kekerasan, serta merusak keharmonisan komunitas.
Marah dapat memicu pertengkaran, kebencian, dan permusuhan yang mengganggu kedamaian dan stabilitas sosial.
Untuk mengatasi bahaya marah, penting bagi individu untuk mengendalikan emosi mereka dengan meningkatkan ketakwaan, memperbanyak dzikir, dan menghindari situasi yang memicu kemarahan. Pengendalian marah juga melibatkan kesadaran diri, kemampuan mengatur stres, dan sikap pemaaf.
Allah SWT didalam QS. Al-Imran: 134:
“الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ”
“Orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Ayat ini menunjukkan pentingnya menahan marah dan memaafkan kesalahan orang lain sebagai bentuk kebajikan yang dicintai Allah. Ini menunjukkan bahwa kontrol emosi dan sikap pemaaf adalah kunci untuk kesejahteraan individu dan keharmonisan sosial.
Rasulullah SAW. Dalam Hadits Riwayat Bukhari:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرْعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ”
“Orang yang kuat bukanlah orang yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”
Hadits ini menekankan bahwa kekuatan sejati terletak pada kemampuan mengendalikan diri saat marah. Ini menunjukkan bahwa pengendalian diri adalah aspek penting dalam mencapai kesejahteraan pribadi dan sosial.
Dengan demikian, memahami dan mengendalikan marah bukan hanya penting untuk kesehatan fisik dan mental, tetapi juga esensial untuk menjaga hubungan sosial dan menciptakan masyarakat yang harmonis dan damai.
Upaya ini memerlukan ketekunan, kesabaran, dan kesadaran diri yang tinggi, serta bimbingan dari ajaran agama dan teladan Nabi Muhammad SAW.
Ciri-ciri Orang Marah
Marah adalah salah satu bentuk emosi yang dapat dikenali melalui berbagai ciri fisik, emosional, dan perilaku. Berikut adalah uraian mendalam tentang ciri-ciri orang marah:
1. Ciri Fisik
Detak Jantung Meningkat:
Saat seseorang marah, sistem saraf simpatis merespons dengan meningkatkan detak jantung dan tekanan darah. Ini adalah reaksi tubuh untuk mempersiapkan diri menghadapi ancaman atau bahaya.
Peningkatan Tekanan Darah:
Tekanan darah meningkat sebagai bagian dari respons tubuh terhadap stres atau marah, memberikan energi tambahan untuk bertindak.
Napas Menjadi Cepat dan Pendek:
Marah dapat menyebabkan seseorang bernapas lebih cepat dan pendek, sebagai bagian dari respons “fight or flight”.
Otot Menegang:
Otot-otot tubuh, terutama di wajah, leher, dan bahu, menjadi tegang saat marah. Ini adalah reaksi alami tubuh sebagai persiapan untuk menghadapi konfrontasi fisik.
Allah SWT. Didalam QS. Ali ‘Imran: 134:
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Ayat ini menekankan pentingnya menahan amarah. Secara implisit, ini mengakui bahwa amarah dapat memicu reaksi fisik yang perlu dikendalikan untuk mencapai kebajikan.
C. Ciri Emosional
Rasa Frustasi atau Kecewa yang Mendalam:
Seseorang yang marah seringkali merasa frustasi atau kecewa karena harapannya tidak terpenuhi atau merasa diperlakukan tidak adil.
Kebencian atau Kemarahan yang Kuat:
Emosi kebencian atau kemarahan yang kuat terhadap seseorang atau sesuatu merupakan ciri emosional yang menonjol saat marah.
Hadits Riwayat Bukhari:
“لَا تَغْضَبْ” فَرَدَّدَ مِرَارًا قَال لَا تَغْضَبْ”
“Jangan marah!” Beliau mengulanginya tiga kali.
Rasulullah SAW memberikan nasihat untuk menghindari marah. Ini menunjukkan bahwa mengendalikan emosi negatif seperti frustasi dan kebencian adalah penting dalam Islam.
3. Ciri Perilaku
Berteriak atau Berbicara dengan Nada Tinggi:
Orang yang marah sering kali meningkatkan volume suara mereka, berteriak, atau berbicara dengan nada tinggi sebagai ekspresi kemarahan mereka.
Melakukan Tindakan Agresif:
Tindakan agresif, seperti memukul, merusak benda, atau bahkan menyakiti orang lain, adalah perilaku umum yang sering muncul saat marah.
Sikap Defensif atau Konfrontatif:
Seseorang yang marah mungkin bersikap defensif atau konfrontatif, siap untuk berdebat atau berkelahi untuk mempertahankan posisi atau pandangan mereka.
Rasulullah SAW. Telah menyampaikan dalam sabdanya Hadits Riwayat Ahmad:
“لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرْعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ”
“Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”
Rasulullah SAW mengajarkan bahwa kekuatan sejati adalah kemampuan mengendalikan diri, termasuk menghindari perilaku agresif dan konfrontatif saat marah.
Ibn Qayyim menjelaskan bahwa marah adalah penyakit hati yang dapat menghancurkan akhlak dan ketenangan jiwa. Ia menekankan pentingnya tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) untuk mengendalikan marah.
Al-Ghazali dalam kitab “Ihya’ Ulumuddin” menjelaskan bahwa marah adalah api yang membakar akal dan hati manusia. Ia mengajarkan untuk selalu berzikir dan mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai cara untuk mengendalikan marah.
Marah adalah emosi yang dapat dikenali melalui berbagai ciri fisik, emosional, dan perilaku. Dalam Islam, marah yang tidak terkendali dianggap sebagai sifat buruk yang harus dihindari. Al-Qur’an dan hadits Nabi memberikan panduan untuk menahan marah dan mengendalikan emosi, serta menganjurkan sikap sabar dan pemaaf. Dengan memahami ciri-ciri marah dan dalil-dalil yang menyertainya, kita dapat lebih bijak dalam mengelola emosi dan menjaga hubungan harmonis dengan orang lain.
Sebab-sebab Orang Marah
Marah adalah emosi yang kompleks dan dapat dipicu oleh berbagai faktor. Mengetahui sebab-sebab marah membantu kita mengidentifikasi pemicunya dan mencari cara untuk mengatasinya. Berikut adalah uraian mendalam tentang sebab-sebab orang marah, dilengkapi dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an, hadits Nabi, serta pandangan ulama.
1. Ketidakadilan dan Ketidakpuasan
Ketidakadilan:
Ketidakadilan atau merasa diperlakukan tidak adil adalah salah satu penyebab utama marah. Manusia secara alami merasa marah ketika hak-haknya dilanggar atau diperlakukan tidak adil.
Allah Rabbul jalil didalam QS. An-Nisa: 58
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Ayat ini menekankan pentingnya keadilan dalam semua aspek kehidupan. Ketidakadilan adalah penyebab utama kemarahan karena manusia memiliki naluri alami untuk mencari keadilan.
Ketidakpuasan:
Ketidakpuasan terhadap keadaan atau hasil tertentu juga dapat memicu marah. Ini termasuk ketidakpuasan terhadap diri sendiri atau orang lain.
Allah SWT didalam QS. Al-Fajr: 15-16*
فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
“Adapun manusia, apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: ‘Tuhanku telah memuliakanku.’ Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata: ‘Tuhanku menghinakanku.’”
Ayat ini menggambarkan sikap manusia yang mudah merasa puas atau tidak puas dengan keadaan yang dihadapinya, yang dapat menyebabkan kemarahan ketika harapan tidak terpenuhi.
2. Kehilangan Kontrol dan Kesabaran
Kehilangan Kontrol Diri:
Kehilangan kontrol atas diri sendiri atau situasi tertentu dapat menyebabkan marah. Ini sering kali terjadi ketika seseorang merasa tidak berdaya atau terjebak dalam situasi yang tidak diinginkan.
Nabi kita Muhammad SAW dalam satu kesempatan bersabda dalam Hadits Riwayat Bukhari:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرْعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”
Rasulullah SAW menekankan pentingnya mengendalikan diri ketika marah. Kehilangan kontrol diri adalah penyebab umum marah, dan mengendalikannya adalah tanda kekuatan sejati.
Kehilangan Kesabaran:
Ketidaksabaran dalam menghadapi situasi sulit atau menantang juga dapat memicu marah. Kesabaran adalah kunci untuk mengatasi situasi dengan tenang dan bijaksana.
Allah SWT. Berfirman didalam QS. Al-Baqarah: 153
Mيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Ayat ini mengajarkan pentingnya kesabaran dalam menghadapi cobaan. Kehilangan kesabaran dapat menyebabkan marah, sementara kesabaran adalah solusi untuk mengatasi marah.
3. Provokasi dan Penghinaan
Provokasi:
Provokasi dari orang lain, seperti ejekan atau penghinaan, dapat memicu marah. Manusia cenderung merespons dengan marah ketika merasa dihina atau dipermalukan.
Allah SWT. Telah berfirman didalam QS. Al-Furqan: 63
وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”
Ayat ini mengajarkan sikap rendah hati dan tidak merespons provokasi dengan marah. Provokasi adalah penyebab umum marah, tetapi respons yang tenang adalah tanda kebijaksanaan.
Penghinaan:
Penghinaan atau perlakuan tidak hormat dapat memicu marah. Merasa dihina atau diremehkan adalah salah satu penyebab utama marah.
Rasulullah SAW. Bersabda dalam Hadits Riwayat Muslim:
مَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ رَفَعَهُ اللَّهُ
“Barangsiapa yang merendahkan dirinya karena Allah, maka Allah akan mengangkatnya.”
Hadits ini mengajarkan pentingnya kerendahan hati dan tidak membalas penghinaan dengan marah. Allah akan mengangkat derajat orang yang merendahkan dirinya karena Allah.
Al-Ghazali dalam “Ihya’ Ulumuddin” menekankan pentingnya mengenali penyebab marah untuk mengendalikannya. Menurutnya, ketidakadilan, ketidakpuasan, kehilangan kontrol, dan provokasi adalah penyebab umum marah yang harus diatasi dengan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa).
Ibn Qayyim dalam “Madarij al-Salikin” menyatakan bahwa marah adalah penyakit hati yang dapat diatasi dengan meningkatkan kesabaran, ketakwaan, dan memperkuat hubungan dengan Allah SWT. Ia mengajarkan bahwa marah dapat dicegah dengan dzikir
Marah dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk ketidakadilan, ketidakpuasan, kehilangan kontrol, kehilangan kesabaran, provokasi, dan penghinaan. Al-Qur’an dan hadits Nabi memberikan panduan untuk mengenali dan mengatasi penyebab-penyebab marah tersebut. Dengan memahami penyebab marah dan mengamalkan ajaran Islam, kita dapat mengendalikan emosi dan menjaga hubungan harmonis dengan orang lain.
Bahaya Orang Marah dan Efeknya pada Individu dan Sosial
Marah yang tidak terkendali membawa dampak negatif baik bagi individu maupun masyarakat. Berikut adalah uraian mendalam tentang bahaya marah dan efeknya, dilengkapi dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an, hadits Nabi, serta pandangan ulama.
1. Bahaya Bagi Individu
Marah yang tidak terkendali memiliki berbagai dampak negatif pada kesehatan fisik, mental, dan spiritual individu.
a. Dampak Kesehatan Fisik
Marah yang berlebihan dapat memicu berbagai masalah kesehatan seperti tekanan darah tinggi, sakit jantung, dan masalah pencernaan.
Rasulullah SAW. Dalam sebuah Hadits Riwayat Ahmad:
“إِنَّ الغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ، وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنَ النَّارِ، وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ، فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ”
“Sesungguhnya marah itu berasal dari setan, dan setan diciptakan dari api, dan api hanya bisa dipadamkan dengan air. Oleh karena itu, jika salah seorang dari kalian marah, maka hendaklah ia berwudhu.”
Hadits ini menunjukkan bahwa marah berhubungan dengan kondisi fisik yang dapat mempengaruhi kesehatan. Wudhu dianjurkan untuk menenangkan diri dan mencegah dampak negatif marah.
b. Dampak Kesehatan Mental
Marah yang tidak terkendali dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi.
Allah swt. Berfirman didalam QS. Al-Furqan: 63
“وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا”
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”
Ayat ini mengajarkan sikap tenang dan tidak terpancing emosi. Merespons dengan tenang membantu menjaga kesehatan mental dan mencegah stres akibat marah.
C. Dampak Spiritual
Marah yang berlebihan dapat mengurangi ketenangan batin dan kedekatan dengan Allah SWT.
Firman Allah swt QS. Ali Imran: 134
“الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ”
“Orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Ayat ini menunjukkan bahwa menahan marah adalah tindakan yang dicintai Allah dan membawa ketenangan spiritual. Marah yang berlebihan mengganggu hubungan dengan Allah.
2. Bahaya Bagi Sosial
Marah yang tidak terkendali juga membawa dampak negatif bagi hubungan sosial dan lingkungan masyarakat.
a. Kerusakan Hubungan Sosial
Marah yang tidak terkendali dapat merusak hubungan dengan keluarga, teman, dan rekan kerja.
“Hadits Riwayat Bukhari:
“لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا”
“Jangan saling dengki, jangan saling benci, jangan saling membelakangi, dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.”
Hadits ini menekankan pentingnya menjaga hubungan baik dengan orang lain. Marah yang berlebihan merusak hubungan sosial dan menciptakan permusuhan.
b. Penyebab Konflik dan Kekerasan
Marah yang tidak terkendali seringkali menjadi penyebab konflik dan kekerasan dalam masyarakat.
Allah swt . Berfirman QS. Al-Ma’idah: 2
“وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ”
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Ayat ini mengajarkan pentingnya bekerja sama dalam kebaikan dan mencegah kejahatan. Marah yang tidak terkendali memicu konflik dan kekerasan, bertentangan dengan prinsip kerja sama dalam kebaikan.
c. Merusak Keharmonisan Masyarakat
Marah yang tidak terkendali dapat menciptakan ketidakstabilan dan ketidakharmonisan dalam masyarakat.
AlQuran didalam QS. Al-Hujurat: 11
“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ”
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, boleh jadi mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok, dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita lain, boleh jadi wanita yang diolok-olok lebih baik dari wanita yang mengolok-olok. Janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan julukan yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Ayat ini menekankan pentingnya menjaga keharmonisan dan saling menghormati. Marah yang tidak terkendali menyebabkan perpecahan dan ketidakharmonisan dalam masyarakat.
Imam Al-Ghazali dalam “Ihya’ Ulumuddin” menekankan bahwa marah adalah penyakit hati yang harus dihindari. Menurutnya, marah merusak akhlak dan membawa dampak negatif bagi individu dan masyarakat.
Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah dalam “Madarij al-Salikin” menyatakan bahwa marah adalah salah satu bentuk gangguan emosi yang paling berbahaya. Ia mengajarkan bahwa marah harus diatasi dengan tazkiyatun nafs dan peningkatan ketakwaan.
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, bahwa marah yang tidak terkendali membawa dampak negatif yang besar bagi individu dan masyarakat.
Bahaya bagi individu meliputi dampak kesehatan fisik, mental, dan spiritual, sementara bahaya bagi sosial mencakup kerusakan hubungan sosial, konflik, dan aneka kekerasan yang bisa berakibat Fatal bagi kehidupan dan interaksi sosial.
Langkah-langkah Solutif dalam mengatasi Marah
Untuk mengatasi marah, penting bagi individu untuk mengendalikan emosi mereka dengan cara yang diajarkan oleh Islam. Berikut adalah beberapa cara efektif untuk mengatasi marah, dilengkapi dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an, hadits Nabi, serta pandangan ulama.
1. Meningkatkan Ketakwaan
Ketakwaan kepada Allah SWT adalah kunci utama untuk mengendalikan marah. Dengan memiliki ketakwaan yang kuat, seseorang akan lebih mampu mengendalikan emosinya.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Imran: 133-134:
“وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ * الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ”
Artinya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Ayat ini menekankan pentingnya menahan marah dan memaafkan kesalahan orang lain sebagai bentuk kebajikan yang dicintai Allah. Ketakwaan akan memampukan seseorang untuk lebih sabar dan bijaksana dalam menghadapi situasi yang memicu marah.
2. *Memperbanyak Dzikir dan Doa*
Dzikir dan doa adalah cara efektif untuk menenangkan hati dan mengendalikan marah. Dengan selalu mengingat Allah, seseorang akan lebih tenang dan mampu mengendalikan emosinya.
Rasulullah SAW bersabda dalam hadits riwayat Ahmad:
“إِنَّ الغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ، وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنَ النَّارِ، وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ، فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ”
Artinya: “Sesungguhnya marah itu berasal dari setan, dan setan diciptakan dari api, dan api hanya bisa dipadamkan dengan air. Oleh karena itu, jika salah seorang dari kalian marah, maka hendaklah ia berwudhu.”
Hadits ini menunjukkan bahwa marah berhubungan dengan kondisi fisik yang dapat mempengaruhi kesehatan. Wudhu dianjurkan untuk menenangkan diri dan mencegah dampak negatif marah.
3. Menghindari Situasi yang Memicu Marah
Menghindari situasi atau orang yang dapat memicu marah adalah salah satu cara efektif untuk mengendalikan emosi.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Furqan: 63:
“وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا”
Artinya: “Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”
Ayat ini mengajarkan sikap rendah hati dan tidak merespons provokasi dengan marah. Menghindari situasi yang memicu marah adalah langkah bijaksana untuk menjaga ketenangan hati.
4. Melatih Kesabaran
Kesabaran adalah kunci untuk mengendalikan marah. Dengan melatih kesabaran, seseorang akan lebih mampu menghadapi situasi sulit dengan tenang dan bijaksana.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 153:
“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ”
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Ayat ini mengajarkan pentingnya kesabaran dalam menghadapi cobaan. Kesabaran adalah solusi untuk mengatasi marah dan menjaga hubungan baik dengan orang lain.
5. Memaafkan Kesalahan Orang Lain
Memaafkan kesalahan orang lain adalah cara efektif untuk mengendalikan marah dan menciptakan hubungan yang harmonis.
Rasulullah SAW bersabda dalam hadits riwayat Bukhari:
“مَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ رَفَعَهُ اللَّهُ”
Artinya: “Barangsiapa yang merendahkan dirinya karena Allah, maka Allah akan mengangkatnya.”
Hadits ini mengajarkan pentingnya kerendahan hati dan tidak membalas penghinaan dengan marah. Allah akan mengangkat derajat orang yang merendahkan dirinya karena Allah.
Al-Ghazali dalam “Ihya’ Ulumuddin” menjelaskan bahwa untuk mengatasi marah, seseorang harus memperbanyak dzikir, meningkatkan ketakwaan, dan selalu berusaha untuk memaafkan kesalahan orang lain. Ia juga mengajarkan untuk selalu berdoa kepada Allah agar diberikan kesabaran dan ketenangan hati.
Ibn Qayyim dalam “Madarij al-Salikin” menekankan pentingnya tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) untuk mengendalikan marah. Ia mengajarkan bahwa marah dapat diatasi dengan meningkatkan kesabaran, ketakwaan, dan memperbanyak amalan kebajikan.
Dengan demikian, mengatasi marah memerlukan ketekunan, kesabaran, dan kesadaran diri yang tinggi, serta bimbingan dari ajaran agama dan teladan Nabi Muhammad SAW. Dengan memahami dan mengendalikan marah, kita dapat menjaga kesehatan fisik, mental, dan spiritual, serta menciptakan hubungan harmonis dengan orang lain.
Kisah Sahabat Nabi Muhammad SAW: Umar bin Khattab dan Pemuda yang Kasar
Salah satu kisah yang sangat menginspirasi tentang menahan marah adalah kisah Khalifah Umar bin Khattab RA ketika menghadapi seorang pemuda yang bersikap kasar kepadanya. Kisah ini mengajarkan banyak hikmah dan manfaat, serta menunjukkan keutamaan menahan marah dari sisi Allah SWT.
Kisah Umar bin Khattab RA:
Suatu hari, Umar bin Khattab RA, yang dikenal sebagai seorang yang tegas dan berani, sedang berjalan di pasar. Seorang pemuda mendekati beliau dan berbicara dengan nada kasar serta menghinanya. Orang-orang di sekitar Umar menahan napas, menunggu bagaimana reaksi sang khalifah terhadap pemuda tersebut.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya dari apa yang mereka duga. Umar bin Khattab RA menahan amarahnya dan berbicara dengan lembut kepada pemuda itu. Umar berkata, “Jika apa yang kamu katakan benar, semoga Allah mengampuni aku. Jika yang kamu katakan salah, semoga Allah mengampuni kamu.”
Allah SWT. Berfirman QS. Al-Furqan: 63
“وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلْجَٰهِلُونَ قَالُوا۟ سَلَٰمًا”
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.”
Ayat ini menunjukkan bahwa hamba Allah yang sejati adalah mereka yang bersikap rendah hati dan menahan diri dari amarah, terutama saat dihadapkan dengan orang yang bersikap kasar atau jahil.
Pengajaran dan Hikmah:
1. Kesabaran dan Pengendalian Diri:
Umar bin Khattab RA menunjukkan kesabaran dan pengendalian diri yang luar biasa saat menghadapi pemuda yang kasar tersebut. Beliau memilih untuk tidak merespon dengan marah, melainkan dengan doa dan pengampunan.
2. Kelembutan dalam Merespon:
– Respon lembut Umar menunjukkan bahwa kelembutan dapat meredam amarah dan membawa kedamaian. Ini juga mencerminkan ajaran Rasulullah SAW yang selalu mengedepankan kelembutan dalam segala situasi.
3. Mengutamakan Pengampunan:
Umar lebih memilih untuk memohon ampunan dari Allah baik untuk dirinya sendiri maupun untuk pemuda tersebut. Ini menunjukkan betapa pentingnya mengutamakan pengampunan dan tidak memperpanjang permusuhan.
4. Pahala Menahan Amarah:
Menahan amarah dan merespon dengan lembut adalah tindakan yang sangat dicintai Allah. Umar bin Khattab RA mendapatkan kedudukan yang mulia di sisi Allah karena sikapnya yang sabar dan penuh pengampunan.
5. Menunjukkan Keteladanan:
Kisah ini menunjukkan bahwa Umar bin Khattab RA adalah teladan yang harus kita ikuti. Meskipun beliau adalah khalifah yang memiliki kekuasaan besar, beliau tetap menunjukkan sikap rendah hati dan pengendalian diri.
Manfaat dari Menahan Marah:
1. Ketenangan Batin:
– Menahan marah membantu menjaga ketenangan batin dan menghindari stres yang berlebihan.
2. Hubungan yang Harmonis:
Sikap lembut dan pengendalian diri membantu menjaga hubungan yang harmonis dengan orang lain.
3. Kebijaksanaan dalam Tindakan:
Dengan menahan marah, kita dapat berpikir lebih jernih dan mengambil tindakan yang bijaksana.
4. Pahala dari Allah:
– Menahan marah adalah tindakan yang mendapat pahala besar di sisi Allah, seperti yang dijanjikan dalam banyak hadits dan ayat Al-Qur’an.
Fadhilah dari Menahan Marah:
Hadits Rasulullah SAW:
“لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرْعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ” (رواه البخاري ومسلم)
“Orang kuat itu bukan yang pandai bergulat, tetapi orang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada fisik, tetapi pada kemampuan seseorang untuk mengendalikan amarahnya. Ini adalah fadhilah besar yang mendapatkan pujian dari Rasulullah SAW.
Kisah Umar bin Khattab RA dan pemuda yang kasar ini memberikan inspirasi yang mendalam tentang pentingnya menahan marah dan bersikap lembut dalam segala situasi. Dengan mengikuti teladan para sahabat, kita dapat mencapai ketenangan batin, menjaga hubungan yang harmonis, dan meraih pahala besar dari Allah SWT.
Penutup dan Kesimpulan
Marah adalah emosi yang jika tidak terkendali dapat menyebabkan berbagai bahaya baik bagi individu maupun masyarakat. Secara individual, marah yang tidak terkendali dapat merusak kesehatan fisik, seperti meningkatkan risiko tekanan darah tinggi, masalah jantung, dan gangguan pencernaan. Secara mental, marah yang berlebihan dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi, serta mengganggu kesehatan spiritual dengan mengurangi kedekatan dengan Allah SWT.
Dampak sosial dari marah yang tidak terkendali juga sangat merusak. Hal ini dapat merusak hubungan sosial, meningkatkan konflik dan kekerasan, serta mengganggu keharmonisan dan stabilitas masyarakat. Dalam Islam, Al-Qur’an dan hadits Nabi memberikan banyak panduan untuk mengendalikan marah dan menjaga hubungan baik dengan orang lain, seperti dalam QS. Ali ‘Imran: 134 yang menganjurkan untuk menahan marah dan memaafkan kesalahan orang lain, serta hadits Nabi yang menekankan pentingnya mengendalikan diri saat marah.
Dengan memahami dan mengendalikan marah, kita tidak hanya menjaga kesehatan fisik dan mental kita, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang harmonis dan damai. Hal ini memerlukan usaha dan kesadaran diri yang tinggi, serta mengikuti bimbingan ajaran agama Islam dan teladan Nabi Muhammad SAW.????
SEMOGA BERMANFAAT