Kisah Amien Rais Kembali ke Ummat dan Tembok Besar Oligarki

Kisah Amien Rais Kembali Ke Ummat dan Tembok Besar Oligarki

Bacaan Lainnya

Beberapa video di Youtube, Pak Amien Rais tampak lagi menyiapkan partai. Namanya Partai Ummat. Kenapa balik lagi ke ummat? Kan katanya baju ummat kekecilan?

Waktu dulu, ketika jaringan dan veteran Masyumi mau dirikan balik Partai Masyumi, Pak Amien dikabarkan mau didapuk sebagai ketuanya. Tapi yang bersangkutan menolak, dengan alasan, sudah tidak cocok bagi Pak Amien yang sudah merasa naik kelas melampaui sekat aliran. Katanya baju Islam kekecilan. Metaforanya begitu yang banyak diingat orang. Akhirnya, PAN berdiri dengan warna biru, warna seluas samudra. Tokoh lintas agama, aneka ideologi dan mazhab mengumpul di PAN. Singkat cerita, harapan jadi Presiden tidak kesampaia. Waktu berlalu puluhan tahun, tahu-tahu Pak Amien balik lagi ke habitat awalnya: Ummat.

Memang Pak Amien sejak muda berpikir dan berjuang untuk ummat. Semua orang tahu hakikat pemikiran politik Pak Amien. Mulai dari disertasinya tentang ummat di Timur Tengah, menerjemahkan buku Tugas Intelektual Muslim dari Ali Syariati, berkiprah membangun kader intelektual muslim di UGM, hingga menjadi Ketua Umum Muhammadiyah. Tapi karena obsesi mau menjadi Presiden menggoda betul Pak Amien, dia ganti sarungnya” dengan “jins biru”.

Kisah Pak Amien jadi pelajaran berharga. Di negeri hutan basah ini, yang menguasai informasi dan jaringan ekonomi dan politik adalah kaum oligarki. Menurut saya, saat sebelum Soeharto tumbang, kaum oligarki menggunakan Amien Rais untuk menjungkalkan Soeharto. Sembari mengipasi obsesi Amien Rais untuk menjadi Presiden, mereka menggiring Amien Rais ke jalur biru. Bukan jalur hijau. Mereka menanamkan pemahaman pada Amien Rais, jika Anda mau jadi Presiden, Anda keluar dari kotak ummat. Anda selayaknya menukar identitas politik menjadi lebih berwarna. Agaknya Amien Rais termakan ide tersebut. Padahal kaum oligarki itu juga paham, terlalu tua dan terlambat bagi seseorang yang sudah berumur untuk bertukar identitas pemikiran. Dan itu tidak mungkin. Tapi sebagai strategi, kaum oligarki memakai Amien Rais dan tenaganya untuk meraih hasil akhir skema mereka.

Hasil akhir yang mereka inginkan adalah UUD 1945 yang secara intrinsik membendung aksi politik mereka harus diubah menjadi UUD yang memastikan ruang hidup dan peranan politik oligarki. Itulah UUD 2002.

Sedangkan obsesi untuk jadi Presiden dari Amien Rais dikontrol agar tidak kesampaian. Lalu tiba-tiba Gus Dur-lah yang naik. Kemudian dengan proses luar biasa, Megawati sebagai Wapres menggantikan kedudukan Gus Dur. Dan Gus Dur sebagai presiden, tidak mempan maklumatnya.

Di masa Megawati tercapailah Pemilu, dan yang terpilih SBY-JK. Pasangan ini jelas melambangkan oligarki. Amien Rais sendiri makin tenggelam. Karena tugas sejarahnya sudah selesai bagi kaum oligarki. Dan akhirnya menjadi sempurnalah kekuasaan oligarki setelah Pilpres-langsung one man one vote diterapkan.

Pilpres langsung hakikatnya adalah pergeseran kontrol dari partai kepada cukong dan cukong itulah wujud aksi politik kaum oligarki. Pak Amien Rais pun redup namanya.

Sekarang mau bikin Partai Ummat. Bukannya lucu, tapi sebenarnya tragis. Apalagi yang dikais oleh Pak Amien Rais dari ummat, di tengah fragmentasi politik akibat konsolidasi politik yang ditinggalkannya dulu. Di tambah lagi rintangan dari UUD 2002 hasil dari kerja politik Pak Amien Rais sendiri yang melumpuhkan kekuatan ummat dan meningkatkan peranan oligarki yang kebanyakan non ummat, yang akhirnya, kita bertanya: mau apa lagi Pak Amien? Nasi sudah jadi bubur bagi ummat, kecuali buburnya diganti dengan nasi yang ditanak baru bagi ummat.

Kisah Pak Amien Rais ini menjadi pelajaran berharga bahwa terkadang skema mereka yang punya sumber daya ekonomi dan politik yang mumpuni dapat menunggangi obsesi tokoh yang sudah mereka deteksi, tetapi yang panen mereka.

Dari pada mengangkat ulang romantisme politik ummat, nanak nasi baru untuk ummat, yok, Pak Amien. Kita revisi UUD 2002 yang telah berfungsi jadi tembok besar bagi kaum oligarki itu.

Catatan Ringan Kelimabelas

Syahrul Efendi Dasopang, Penulis

Pos terkait