Ketimun Rebus: Legenda Hidagan Buka Puasa Masyarakat Betawi

Oleh; Bang Fahmi, Tukang telur puyuh keliling

Ini adalah legenda dari sekian legenda hidangan di bulan puasa khusus, khususnya masyarakat Betawi Pondok Pinang. Kenapa aku katakan khusus masyarakat Betawi Pondok Pinang ? Yang jelas aku sebagai penutur kalimat ini adalah pelaku sekaligus penikmat.

Status whatshap temanku Maryati yang bertempat tinggal di Pondok Pinang sebelah selatan, bertetanggaan dengan Lebak Bulus. Itu verifikasinya. Dalam tarap falsifikasi, aku coba tanyakan kepada kakak iparku, orang Betawi Gandaria tentang menu ketimun rebus saat sahur. Dia bilang tidak ada. Baru dia temukan saat sahur bareng keluarga besar kami yang didominasi masakan ala Pondok Pinang.

Kita semua mafhum, bulan ramadhan memiliki ritme dan irama sendiri dalam beberapa aspek : ibadah, kondisi sosial, dan kuliner. Ketiga hal ini kondisinya saling berbanding terbalik dengan harapan capaian pahala dan keutamaan ibadah di bulan romadhon.

Di hari-hari pertama bulan puasa suasana sangat meriah. Masjid dan musolla serta tempat-tempat penyelenggaraan salat tarawih dipenuhi jamaah. Yang tidak biasa salat berjamaah di masjid saat itu tidak mau ketinggalan.

Salatnyapun di shaf pertama. Memasuki hari ketiga dan seterusnya jamaah mulai berkurang satu persatu. Berkurangnya jamaah terjadi secara drastis pada pekan kedua. Hitungannya muka jumlah orang perorang, tapi jumlah shaf. Pekan terakhir tinggal satu baris.

Itu pun isinya kakek-kakek dan nenek-nenek. Ke mana larinya para jamaah yang lain. Ke berbagai tempat sesuai habitat asalnya. Yang tukang nongkrong di warkop, kembali ke warkop. Yang suka nongkrong di pinggir kali, kembali nongkrong di pinggir kali. Youtuber dan penggiat medsos kembali ke dunia maya.

Kondisinya berbalik dengan kondisi keramaian di masyarakat dan di jalan. Pekan pertama suasana terasa sekali. Jalanan tidak terlalu ramai. Mungkin karena berbarengan dengan libur sekolah di awal ramadhan. Rumah-rumah makan juga masih tutup. Penjaja makan juga belum berjualan. Memasuki pekan kedua suasana sudah biasa lagi.

Jalanan ramai lagi, rumah-rumah makan sudah mulai buka pelayanan setengah kaki (karena cuma kakinya saja yang terlihat), penjual makanan sudah mulai berdagang, dan orang makan, minum, dan merokok juga sudah bebas lagi. Itu bisa menjadi pertanda yang tidak berpuasa banyak sekali.

Yang juga tidak bisa dipisahkan dari ritme ini adalah kuliner. Hari-hari pertama hidang berbuka dan sahur sangat istimewa. Apalagi hari pertama. Sahur pertama menu daging sapi minimal daging ayam bisa ditemukan di banyak keluarga. Hari-hari selanjutnya mengalami penurunan.

Biasanya di pekan kedua mulai muncullah menu mie rebus plus telur ayam, sarden, dan telur dadar. Di waktu-waktu ini orang sudah mulai malas masak, bangun sahur, bahkan mungkin malas untuk puasa juga.

Bagi kami orang Pondok Pinang, di saat itu juga muncullah menu yang legendaris dan ngangenin. Hanya hadir di bulan ramadhan. Namanya ketimun rebus. Menu ini hadir sebagai lalapan sekaligus sayur. Dinamakan lalapan karena tanpa bumbu seperti halnya sayur.

Dikatakan sayur karena dimasak terlebih dahulu dan ada air sebagai kuahnya, tapi tidak terlalu banyak. Adapun garam, itu tergantung selera. Ada yang menggunakan garam, ada juga yang tidak.

Menu yang satu ini mengingatkanku kepada almarhum ayahku. Saat ayahku masih ada menu ini selalu hadir. Setelah beliau wafat, menu ini tidak hadir juga. Hanya sesekali aku hidangkan sebagai pengingat kenangan sahur bersama ayahku tempo dulu. Kalaupun aku hidangkan cuma aku saja yang menyantapnya. Yang lain tidak ada yang suka. Makanya aku memasaknya paling banyak dua buah mentimun saja, supaya tidak terbuang.

Penurunan dimensi-dimensi lahiriah ini sebenarnya berbanding terbalik dengan dimensi spiritual bulan ramadhan. Kita tahu bahwa sepuluh hari terakhir bulan ramadhan adalah babak final dari rangkaian ibadah ramadhan. Di sepuluh hari terakhir ini Nabi SAW menganjurkan untuk mengecangkan ikat pinggang untuk beribadah kepada Allah SWT.

Puasa tentu saja jangan sampai ditinggalkan. Ibadah sunnah makin harus bertambah. I’tikaf sangat dianjurkan. Di sepuluh hari terakhur ini kita semestinya memindakan aktivitas kita ke masjid untuk i’tikaf.

Kenapa kita dianjurkan untuk menancapkan gas untuk ibadah ? Karena di sepuluh hari terakhir ini ada malam yang lebih mulia dari seribu bulan, yaitu malam lailatul qadr. Malam yang Allah SWT khususkan hanya untuk ummat Nabi Muhammad SAW sebagai media pengangkat derajat umatnya di atas umat lainnya. Kekhususan malam ini juga sejalan dengan kekhususan ibadah puasa di bulan romadhon bagi umat Nabi Muhammad SAW.

Rasanya sangatlah merugi kalau kita lewatkan hari-hari terakhir bulan ramadhan ini. Ada yang lebih penting dari THR dan pakaian baru di hari raya nanti, yaitu iman yang baru hasil gemblengan ibadah ramadhan. Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah berkata :

ليس العيد لمن لبس الحديد انماالعيد لمن خاف يوم الوعيد

” Bukanlah disebut ied orang yang memakai pakaian baru. Sesungguhnya ied itu adalah orang yang takut terhadap hari pembalasan ”

Wallahu a’lam bis shawab

Pos terkait