Kenapa Rakyat Terkesan Diam?

Mengapa kaum miskin kita tak memberontak saat mereka makin dimiskinkan dan melihat kaum kaya makin serakah? Ini soal penting sebab jangan-jangan cara bernegara infrastruktur, menumpuk hutang dan abai bangun jiwa itu jawaban elite tapi bukan “kebutuhan bernegara sesungguhnya.”

Rakyat banyak sepertinya diam cuek terhadap upaya-upaya sistematis untuk menghancurkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka membiarkan berbagai bentuk ancaman yang merongrong Pancasila sebagai dasar kita bernegara. Paling banter, mereka ngedumel.

Coba lihat, saat mereka tercekik, elit pajak pamer kemewahan; saat mereka sakit, layanan kesehatan makin amburadul; saat mereka ingin belajar, sekolah-sekolah makin tak terjangkau; saat mereka irit dan selektif, KKN bin pungli makin merajalela.

Singkatnya, mereka diam padahal hidup di tahun kegentingan nasional, saat elite hidup di tahun keserakahan nasional. Mereka hidup dalam suasana genting karena menghadapi dua jenis eksploitasi, “explotation der l’homme par l’homme” (exploitasi oleh manusia atas manusia) dan “exploitation der l’nation par l’nation” (explotasi oleh bangsa atas bangsa).

Menjawab soal sulit itu penting karena rakyat sesungguhnya subjek paling vital bagi keberadaan negara. Tanpa mereka, negara tak ada. Maka, menghadapi keadaan itu, rakyat memerlukan kesadaran dan kewaspadaan nasional yang sudah mulai berkurang, diterjang oleh kebejatan nasional.

Sesungguhnya, inilah alarm dari peristiwa vivere pericoloso (zaman penting dan genting) karena kehidupan negara Indonesia mestinya berjalan ke arah lebih baik, lebih manusiawi, lebih adil, lebih sentosa, lebih spiritualis.

Dalam logika peningkatan kapasitas kenegaraan inilah, menyadarkan rakyat untuk kritis dan melawan agar haknya tak dirampas menjadi keniscayaan. Tentu, agar cita-cita proklamasi makin nyata dalam kenegaraan kita. Tentu, agar menjadi kebaikan dan keindahan bersama serta menyemesta.

Tentu saja agar kita bisa hidup dalam negara tanpa duabelas kerusakan: Tanpa Korupsi, Tanpa Kolusi, Tanpa Nepotisme, Tanpa Kemiskinan, Tanpa Kesenjangan, Tanpa Kesakitan, Tanpa Amoralisme, Tanpa Kebodohan, Tanpa Penjajahan, Tanpa Kerakusan, Tanpa Pengkhianatan, dan Tanpa Penipuan.

Diam dan “pasrahnya” rakyat pada problema yang dihadapi sangat mungkin karena kita semua mengidap penyakit mental kolonial warisal kolonial purba yang dilanggengkan neokolonial. Mental ini menghasilkan cultural poverty (kemiskinan kultural), academic poverty (kemiskinan akademis), moral poverty (kemiskinan moral) serta absolute poverty (kemiskinan absolut). Dalam rangkaian kemiskinan itulah, yang tersisa hanya pasrah atau ikut serta dalam barisan kejahatan.

Pada hari-hari penuh cerita derita ini, kaum muda jeniuslah yang harus bertanggungjawab dalam mengemban amanah keilmuannya. Untuk bangkit dan menggerakan. Melawan segala macam bentuk penjajahan yang tak berprikemanusiaan dan berprikeadilan. Tetapi, di manakah mereka kini? Aku terus mencarinya di setiap tempat dan waktu walau belum bertemu.

Saat bersamaan, mereka harus mulai mereformasi komunitas sekolah, kurikulum dan sekitarnya untuk menyemai dan menetaskan agensi dan barisan agar tumbuh membesar menjadi patriot negara-bangsa Indonesia. Menjadi pembelanya. Tentunya berdasarkan potensi tatanan hidup yang ada; lokal jenius dan subtansi modernitas.

Pada komunitas epistemik itu diperhitungkan juga budaya, ekologi, nilai perlambang, kecerdasan silam dan semiotika lainnya. Tentu agar semua ornamen bangunan jiwa raganya membawa makna. Sebab, itulah bagian dari kekayaan bangsa Nusantara, republik Atlantik dan gen Lemurian yang tidak hanya bersandar pada pena kaum penjajah semata, serta kisah-kisah ilutif para dukun.

Oleh: Yudhie Haryono, Direktur Eksekutif dan Rektor Universitas Nusantara

Pos terkait