Kebijakan Cerdas Berbudi Luhur

Oleh: Dr. Rusdiyanta, M.Si, Kepala Pusat Studi Kebijakan Publik, Universitas Budi Luhur

Tulisan ini signifikan untuk dibahas mengingat akhir-akhir ini banyak kebijakan public yang berorientasi kepentingan keluarga dan kroni-kroninya, kurang berorientasi pada nilai dan kepentingan publik.

Bacaan Lainnya

Padahal Kebijakan public memiliki pengaruh dan dampak luas bagi masyarakat. Ada kebijakan tanpa partisipasi public bermakna, tanpa kajian mendalam, tanpa data yang valid, melanggar norma konstitusi, kurang memperhatikan HAM, lingkungan hidup, hak public, dan sebagainya. Akibatnya kebijakan tidak memberikan solusi bagi masalah public, justru berpotensi menimbulkan masalah baru.

Kemajuan dan kesejahteraan masyarakat sangat dipengaruhi kebijakan pemerintah dan kepemimpinan nasional. Kebijakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip cerdas berbudi luhur pasti akan baik dan benar, yang akhirnya akan memberi manfaat kepada semua ciptaan Tuhan.

Masyarakat damai dan sejahtera, lingkungan hidup dan ekosistem lestari dan berkelanjutan. Dalam jangka panjang, menjadi negara yang gemah ripah loh jinawi (negara yang rakyatnya hidup makmur)

Kebijakan Publik
Banyak pengertian kebijakan public dikemukakan oleh para ahli seperti Anderson (2011), Birkland (2016), Dye (2017), Dunn (2018), Kraft & Furlong (2021) dan lain-lain. Anderson (2011) mendefinisikan kebijakan public untuk wacana biasa dan analisis sistematis.

Untuk wacana biasa, istilah kebijakan menunjuk pada perilaku beberapa aktor atau sekelompok aktor, seperti aktivitas pejabat, lembaga pemerintah, atau legislatif seperti transportasi umum atau perlindungan konsumen. Sementara itu, definisi untuk melakukan analisis sistematis kebijakan publik, kebijakan didefinisikan sebagai tindakan yang relatif stabil dan bertujuan yang diikuti oleh aktor atau sekumpulan aktor dalam menangani suatu masalah atau hal yang menjadi perhatian.

Definisi ini berfokus pada apa yang sebenarnya dilakukan daripada apa yang hanya diusulkan atau diinginkan dan memandang kebijakan sebagai sesuatu yang terbentang dari waktu ke waktu, dan dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah (aktor dan faktor non-pemerintah tentu saja dapat memengaruhi pengembangan kebijakan publik.).

Singkatnya, kebijakan publik adalah kebijakan yang dihasilkan oleh pejabat dan lembaga pemerintah, biasanya memengaruhi sejumlah besar orang atau masyarakat.

Kebijakan adalah suatu pernyataan pemerintah (semua tingkat, apapun bentuknya) yang dimaksudkan untuk melakukan sesuatu terkait dengan masalah publik (Birkland, 2016). Kebijakan publik juga dapat dilihat sebagai apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan (Dye, 2017).

Senada dengan Dye, Kebijakan publik adalah apa yang pejabat publik dalam pemerintah, dan sebagai perluasan warga negara yang diwakili, memilih untuk melakukan atau tidak melakukan tentang masalah publik (Kraft & Furlong, 2021). Dari berbagai definisi para ahli, dapat diidentifikasi bahwa kebijakan dibuat untuk merespons berbagai masalah masyarakat yang membutuhkan perhatian, berorientasi pada tujuan, dibuat atau diprakarsai oleh pemerintah, dan diimplementasikan oleh aktor publik dan swasta.

Dalam wujud nyata, kebijakan dapat berupa pernyataan, sikap dan perbuatan actor tersebut seperti janji-janji, keputusan, instruksi, peraturan pemerintah, peraturan presiden, undang-undang, dan konstitusi.

Cerdas Berbudi Luhur
Cerdas artinya menggunakan pikiran secara tajam dalam setiap ucapan, sikap, dan tindakan. Cerdas bermakna menggunakan budi/akal untuk melakukan analisis kebijakan secara cermat, apakah niat/tujuan kebijakan, formulasi kebijakannya, implementasinya dan yang terpenting adalah evaluasi hasil dan dampak/akibat dari kebijakan tersebut.

Kebijakan yang cerdas seharusnya menggunakan pendekatan teknokratik, yakni dilakukan oleh ahli teknis, menggunakan metode ilmiah, empiric, serta berbasis data dan informasi. Cerdas juga bermakna kreatif dan inovatif, berpikir out of the box, di luar pemikiran arus utama sehingga kebijakan public harus memberikan solusi alternative masalah yang dihadapi masyarakat seperti kemiskinan, stunting, mahalnya biaya pendidikan, meningkatnya pengangguran, meningkatnya deforestasi, penegakan hukum yang adil, penegakan HAM dan sebagainya.

Kebijakan yang cerdas harus agile yakni mampu beradaptasi, merasakan dan merespons dengan cepat, tepat, efisien dan efektif terhadapat perubahan yang tak terduga, tak menentu, kompleks dan ambigu (VUCA) untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang semakin berubah. mampu menganalisis masalah dan menganalisis solusi.

Analisis masalah terdiri dari kemampuan memahami masalah, menetapkan tujuan, dan memilih metode yang solutif. Sedang analisis solusi berarti dapat menetapkan alternative solusi dan rekomendasi aksi.
Budi luhur merupakan konsep ideal, bernilai sangat tinggi dan akan dicapai setiap orang. Hakikat budi luhur adalah menjadi orang baik yang dibedakan Tuhan dan memberi manfaat kepada sesame ciptaan-Nya.

Menurut Djaetun HS (2023), Budi Luhur adalah sikap mental yang memiliki level sangat tinggi atau baik sehingga tidak ada yang melampauinya. Sikap mental sendiri terdiri atas pikiran, ucapan, Bahasa tubuh/sikap dan perbuatan. Orang-orang berbudi luhur dibimbing oleh kecerdasan intelektual, emosional dan spiritualnya sehingga ia selalu dalam jalan yang benar dan baik.

Frans Magnis-Suseno (1984) mengatakan bahwa orang berbudi luhur seolah-olah dalam dirinya menyinarkan kehadiran Tuhan kepada sesama dan lingkungannya. Ciri orang berbudi luhur adalah adil, jujur, sabar, bersyukur, jujur, empati, menepati janji, rendah hati, obyektif, tanggung jawab, mendahulukan kewajiban daripada hak, menghargai orang lain dan sebagainya.

Nilai-nilai ini bersifat universal dan relevan dengan nilai-nilai publik yang lebih altruistik seperti kesetaraan, imparsial, keadilan, kejujuran, kesinambungan, kerahasiaan, akuntabilitas, transparansi, daya tanggap, dan sebagainya.
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka kebijakan publik cerdas berbudi luhur adalah setiap bentuk tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pejabat publik dalam pemerintahan atau bersama wakil rakyat, terhadap masalah publik dengan pemikiran tajam, secara ilmiah, berbasis data dan informasi valid dan merujuk pada sikap mental terbaik (pikiran, ucapan, sikap, dan tindakan).

Kebijakan ini dibimbing oleh nur Ilahi sehingga selalu di jalan yang benar dan baik serta bermanfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan hidup.

Kebijakan Rezim Jokowi?
Pada awal pemerintahan rezim Jokowi, public mempunyai harapan besar terhadap rezim ini yang dianggap reformis. Karena Jokowi berasal dari rakyat biasa, bukan petinggi partai, tidak terkait dengan masa lalu Orde Baru, memiliki pengalaman pemerintahan dari walikota Solo, dan Gubernur DKI Jakarta. Meskipun juga tidak ada catatan keterlibatnnya dalam perjuangan reformasi 1998.

Visi awal pemerintahan Jokowi adalah terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian berlandaskan Gotong-Royong. Untuk mencapai visi tersebut, dirumuskan Sembilan aksi sebagai agenda prioritas yang dinamakan Nawacita. Visi tersebut memberikan harapan public, dan sudah dijabarkan dalam RPJMN 2015-2019 dengan sangat apik.

Nawacita seharusnya diwujudkan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah melalui pernyataan, keputusan, peraturan, dan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Apalagi secara tegas pemerintahan Jokowi bertekad membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya dengan konsolidasi demokrasi melalui system kepartaian, pemilu dan lembaga perwakilan.

Menurut Survei Litbang Kompas pada Oktober 2019, tingkat kepuasan responden terhadap kinerja Jokowi-JK sebesar 58,8%, survei lembaga yang sama pada 27 Mei-2 Juni 2024 kepuasan public atas kinerja pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin sangat tinggi yakni 75,6 %. Jika didasarkan pada tingkat kepuasan, logikanya kebijakan pemerintahan ini sudah berada dalam jalan yang benar.

Nawacita sudah diimplementasikan dengan baik, misalnya korupsi menurun, hutang berkurang, pengangguran berkurang, hokum semakin adil, demokrasi semakin meningkat, penegakan HAM meningkat, lingkungan hidup lestari, stunting menurun, yang pada gilirannya tujuan nasional dapat dicapai yakni penjajahan dunia dihapuskan, warga negara terlindungi, kehidupan bangsa makin cerdas, rakyat makin sejahtera, dan makin berperan dalam perdamaian dunia. Sesuai pemikiran Bung Karno, yakni semakin berdaulat secara politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Selama memimpin Indonesia selama hamper sepuluh tahun, rezim Jokowi memang tidak bisa dinafikkan terutama kebijakan pembangunan dalam bidang infrastruktur sehingga dianugerahi Bapak Infrastruktur, Konstruksi dan Investasi.

Namun dalam beberapa kebijakan rezim saat ini mendapat kritik tajam dari banyak pihak, bahkan termasuk para pendukungnya selama ini. Kritik terhadap kebijakan rezim ini dilakukan oleh banyak kalangan, dari para Guru Besar, tokoh agama, Purnawirawan Jenderal TNI/POLRI, mantan pejabat, para ahli, advokat, aktivis LSM, mahasiswa, buruh, dan masyarakat termasuk insan media.

Bentuknya bermacam-macam, mulai pernyataan sikap, demonstrasi, pengaduan konstitusional (constitutional complaint), menulis opini, seminar, laporan khusus, podcast, dan sebagainya. Menurut majalah Tempo edisi Khusus 10 Tahun Jokowi menguraikan Nawadosa Jokowi secara lugas dan tegas. , “selama Jokowi Berkuasa, Nawacita Jokowi berubah menjadi nawadosa ganda”. Dalam tulisan ini, ada beberapa kebijakan yang penulis pandang tidak sesuai kebijakan yang cerdas berbudi luhur.

Kebijakan rezim ini melakukan revisi UU No.30/2002 tentang KPK menjadi UU No.19/20019 berdampak pelemahan independensi KPK, karena pegawai KPK menjadi ASN, dan KPK sebagai lembaga eksekutif dibawah Presiden.

Hal ini rawan karena KPK dapat digunaan sebagai instrumen politik presiden. Selain itu, UU No. 11/2020 tentang Ciptaker yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK karena penyusunannya cacat formil, yakni penyusunannya tidak sesuai proses pembentukan UU berdasarkankan UUD 1945 dan ada perubahan penulisan setelah disepakati. Selain itu, kurang partisipasi masyarakat secara maksimal.

Setelah diberi waktu 2 tahun untuk memperbaiki, pemerintah tidak memanfaatkan untuk melakukan perbaikan namun justru mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) No.2/2022 tentang Ciptaker. Meskipun Perpu menutup rapat partisipasi public yang bermakna dalam penyusunan UU, akhirnya disahkan juga oleh DPR bersama Presiden menjadi UU No.6/2023.

Masih banyak kebijakan yang tidak sesuai dengan cita-cita reformasi yang sudah diperjuangkan. Selain itu, kurang berorientasi pada nilai public, kepentingan public dan penyelesaian masalah public. Normalisasi korupsi, kolusi dan nepotisme, pembangunan Rempang Eco City, Masalah Bandara Kulon Progo, Reklamasi Teluk Jakarta, hutang meningkat tajam, subsidi kurang tepat sasaran, politik gentong babi, dan sebagainya.

Kebijakan pemerintah berjalan nyaris tanpa control, tanpa check and balances karena DPR tidak mampu menjalankan fungsi pengawasannya. Kekuatan kritis ekstra parlementer juga tiarap karena dapat dikriminalisasi menggunakan instrumen hukum seperti UU ITE. Maka, sangatlah wajar kemudian menurut Freedom House, indeks demokrasi kita mengalami terjun bebas dari 62 menjadi 53 pada 2019-2023. Data Transparency International menjukkan bahwa indeks persepsi korupsi kita juga turun dari 38 tahun 2021 menjadi 34 tahun 2022, perikat 110 dari 180 negara.

Hutang pemerintah naik drastic empat kali lipat dari Rp2.178,36 triliun (Maret 2023) masa SBY, menjadi Rp.833,43 triliun (April 2024). Banyak kepentingan dan hak masyarakat luas kurang diperhatikan, namun segelintir orang mendapat banyak keuntungan dari kebijakan. Kebijakan cerdas berbudiluhur hendaknya kebijakan teknokratik yang memberi manfaat seluas-luasnya bagi masyarakat sebagai pemilik saham republic ini.

Insya Allah bulan Oktober 2024 akan terjadi pergantian pemerintahan baru, semoga terjadi hijrah kebijakan menuju nilai dan kepentingan public. wallahu a’lam bishawab. 

 

Pos terkait