Kasus Ijazah Palsu Cerminan Kualitas Bangsa

Dr. H. Baeti Rohman, MA, Ketua Umum DPN ISQI (Ikatan Sarjana Al-Qur’an Indonesia)

Ijazah merupakan simbol non akademik yang menandai pencapaian gelar seseorang dalam dunia pendidikan, legalitas yang menjadi penanda jenjang pendidikan yang berhasil diselesaikan. Untuk meraih ijazah tentu bukan perkara mudah, butuh perjuangan panjang yang menguras energi fisik dan psikis, oleh sebab itu tidak berlebihan bila seseorang merasakan kegembiraan sekaligus kebanggaan bila berhasil mendapatkan ijazah untuk jenjang pendidikan tertentu. Ijazah memang tidak otomatis menjadi standar kecerdasan, akan tetapi dalam pencapaian ijazah terkandung pengorbanan dan kemauan kuat menempuh jenjang pendidikan, namun pengorbanan tersebut akan terasa hampa bila ada individu tertentu yang senagaja memalsukan ijazah hanya karena mengejar ambisi pribadi dalam dunia politik, tindakan tersebut sungguh tidak menghargai perjuangan jutaan anak bangsa yang harus menghabiskan waktu bertahun-tahun hanya untuk selembar ijazah.

Perbincangan tentang ijazah palsu kembali hangat belakangan ini, khususnya setelah Bambang Tri Mulyono menggugat Presiden Jokowi atas dugaan ijazah palsu, walaupun belakangan gugatan tersebut dicabut karena Bambang Tri Mulyono sedang menghadapi kasus hukum berupa ujaran kebencian yang disangkakan kepadanya, namun kasus ini cukup menyita perhatian publik, debat antara pihak pro dan kontra ramai berdengung di tengah masyarakat. Pihak istana dan pendukungnya menuduh Bambang Tri Mulyono melakukan tindakan unfaedah, sementara itu pihak yang mendukung Bambang Tri Mulyono menilai langkah yang diambil pria asal Blora ini sudah tepat guna memastikan diskursus demokrasi berjalan sehat. Kasus dugaan ijazah palsu ini juga memaksa Rektor UGM tampil ke publik memberikan klarifikasi seputar ijazah Jokowi, hal ini mengingat UGM merupakan kampus dimana Jokowi pernah mengenyam pendidikan. Tampilnya Rektor UGM untuk klarifikasi tidak menyelesaikan keraguan publik, yang paling tepat ia semestinya menyampaikan kesaksian di ruang pengadilan karena gugatan ijazah palsu sudah di ranah pengadilan. Meski gugatan ijazah palsu telah dicabut karena penggugatnya disinyalir berada dalam tekanan kuat, nyatanya dugaan ijazah palsu seorang presiden akan menjadi “noda sejarah” bangsa ini seperti keraguan bangsa ini terhadap keberadaan selembar kertas Supersemar.

Bacaan Lainnya

Jika kita melihat fakta secara lebih luas, perbincangan tentang ijazah palsu bukan baru ramai belakangan ini, jauh sebelumnya, berbagai kepala daerah pernah terlilit kasus ijazah palsu, bahkan kasus ijazah palsu juga terjadi di tingkat desa, ada yang terbukti dan ada yang tidak terbukti hingga saat ini. Terlepas dari terbukti atau tidaknya, kasus ijazah palsu yang terjadi hingga ke tingkat desa merupakan cerminan betapa rusaknya praktik demokrasi di Indonesia. Kontestasi demokrasi yang semestinya mengedepankan prinsip kejujuran justru tidak terjadi, kebohongan seolah menjadi hal lumrah dalam upaya mencapai jabatan, bahkan kebohongan itu dilakukan pada ruang yang sangat terlarang, pemalsuan ijazah berada dalam ruang yang sangat terlarang itu.

Kasus ijazah palsu juga merupakan malapetaka dalam dunia pendidikan, penggunaan ijazah palsu merupakan usaha sadar yang yang sangat menghina institusi pendidikan, anehnya hingga kini kementerian yang mengurusi pendidikan tidak kunjung mampu menuntaskan masalah ini, semestinya kementerian bisa melakukan tindakan pencegahan agar kasus ini tidak terjadi. Tindakan pemalsuan ijazah juga merupakan cerminan dari rendahnya kualitas pendidikan, para pelaku biasanya adalah orang yang berpendidikan rendah tapi ingin tampil sebagai orang dengan gelar pendidikan yang tinggi, hal ini menandakan nilai pendidikan yang berupaya ditanamkan saat mereka masih duduk di bangku sekolah tidak mampu merubah prilaku mereka, pendidikan yang diharapkan mampu memanusiakan manusia justru mengalami kegagalan pada banyak sisi, kasus ijazah palsu adalah salah satu sisi kegagalan tersebut.

Pos terkait