Bukan juga untuk Satu Golongan Politik Saja Seperti Sekarang Ini
Pada notulen rapat tanggal 11-15 Juli BPUPKI dan rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 dapat kita ikuti perkembangan pemikiran tentang kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai penjelmaaan dari seluruh rakyat Indonesia yang memiliki konfigurasi sosial, ekonomi dan geografis yang amat kompleks.
Karena itu, MPR harus mencakup wakil-wakil rakyat yang dipilih, DPR, wakil-wakil daerah, serta utusan-utusan golongan dalam masyarakat. Dengan kata lain, MPR harus merupakan wadah multi-unsur, bukan lembga bi-kameral. Bentuk MPR sebagai Majelis Permusyawaratan Perwakilan Rakyat dipandang lebih sesuai dengan corak hidup kekeluargaan bangsa Indonesia dan lebih menjamin pelaksanaan demokrasi politik dan ekonomi untuk terciptanya keadilan sosial.
Bung Hatta menyebutnya, sebagai ciri demokrasi Indonesia. Dalam struktur pemerintahan Negara, MPR berkedudukan sebagai Supreme Power dan penyelenggara Negara yang tertinggi. DPR adalah bagian dari MPR yang berfungsi sebagai Legislative Councils atau Assembty. Presiden adalah yang menjalankan tugas MPR sebagai kekuasaan eksekutif tertinggi, sebagai mandataris MPR.
Konfigurasi MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tersebut dipandang para Bapak Bangsa sebagai ciri khas Indonesia dan dirumuskan setelah mempelajari keunggulan dan kelemahan dari sistem-sistem yang ada, Sistem majelis yang tidak bi-kameral dipilih karena dipandang lebih sesuai dengan budaya bangsa dan lebih mewadahi fungsinya sebagai lembaga permusyawaratan perwakilan.(sumber Sistem Negara Kekeluargaan Prof.Dr Soyan Efendi )
Reformasi dengan amandemen UUD 1945 telah telah mengkhianati Negara “semua buat semua “Oleh karena The Founding Fathers mendirikan Negara “Semua buat semua“ sistem yang dipilih adalah sistem MPR. Sebab, semua elemen bangsa akan duduk di lembaga tertinggi Negara ini untuk mengelolah bersama, memutuskan bersama, dengan cara musyawarah mufakat, negara ini ditangan rakyat, Kedaulatan tertinggi ditangan rakyat, rakyatlah yang menentukan pembangunan, rakyatlah yang menentukan kebutuhannya.
Oleh sebab itu, rakyatlah yang menyusun Garis Besar Haluan Negara (GBHN), setelah itu di carilah Presiden untuk menjalankan GBHN, disanalah kesinambungan Negara ini bisa terwujud sebab GBHN akan terus berkelanjutan, bukan seperti sekarang ini setiap Presiden menganggap dia punya Negara dia punya kekuasaan, keputusan Presiden terserah presiden, setiap ganti presiden ganti acara, dan rakyat hanya menjadi Obyek .
”Kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!”. (Sumber: Soekarno, Pidato di BPUPKI, 1 Juni1945)
”Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke! (Sumber: Soekarno, Pidato di Surabaya, 24 September 1955)
Para pengamandemen UUD 1945 telah lupa dan sengaja melupakan apa yang menjadi jatidiri bangsanya , menengelamkan sistem berbangsa dan bernegara, dengan menganti Demokrasi Liberal, demokrasi yang tidak berdasar pada Preambul UUD 1945, demokrasi yang menjadikan rakyat hanya sebagai kuda tunggangan, Rakyat hanya sebagai “tambal butuh“ yang hanya diberi sekedarnya, diberi sembako, setelah itu semua janji-janji manis di lupakan, akibatnya Amanat penderitaan rakyat terus akan berlanjut tanpa cita-cita.
Sementara penguasa bergelimang kemewahan, membangun dinasty politik, Anggota DPR dan DPD hanya sebuah pekerjaan untuk mencari kenikmatan kehidupan pribadi dan golongannya.
Oleh: Ir. Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila