Jakarta – Jaringan Aktivis Muda Indonesia (JAMI) menyampaikan keprihatinan dan kecaman keras atas peristiwa meninggalnya salah satu tahanan di ruang tahanan Badan Narkotika Nasional Provinsi Sulawesi Tenggara (BNNP Sultra), yang ditemukan dalam kondisi terlilit oleh celana panjang.
Peristiwa ini sangat tidak rasional dan memunculkan dugaan kuat adanya kelalaian dan pelanggaran Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam sistem pengawasan tahanan, mengingat bahwa SOP BNN secara tegas melarang penggunaan celana panjang bagi tahanan untuk mencegah risiko penyalahgunaan atau tindakan membahayakan diri sendiri.
Kematian tahanan di bawah pengawasan negara bukan hanya kegagalan administratif, tetapi juga bentuk pelanggaran terhadap hak dasar tahanan sebagaimana dijamin oleh konstitusi dan hukum nasional.
Oleh sebab itu, BNNP Sultra harus bertanggung jawab secara moral dan hukum atas insiden ini.
Jaringan Aktivis Muda Indonesia (JAMI), menyampaikan desakan tegas kepada Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN RI) agar segera:
1. Membentuk Tim Investigasi Independen yang melibatkan unsur eksternal seperti Komnas HAM, Ombudsman RI, dan Kepolisian Republik Indonesia, untuk menyelidiki penyebab kematian tahanan secara transparan dan profesional.
2. Menindak tegas seluruh oknum petugas BNNP Sultra yang terbukti lalai, menyalahgunakan kewenangan, atau melanggar SOP pengawasan tahanan, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
3. Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem keamanan dan pengawasan ruang tahanan BNN di seluruh Indonesia, guna memastikan peristiwa serupa tidak kembali terjadi.
4. Memberikan keadilan bagi keluarga korban melalui proses hukum yang terbuka, serta pemberian kompensasi atau restitusi apabila terbukti adanya unsur kelalaian atau pelanggaran dari pihak BNNP Sultra.
5. Menyampaikan hasil investigasi secara terbuka kepada publik sebagai wujud akuntabilitas lembaga negara dan tanggung jawab moral terhadap masyarakat.
Tuntutan ini berlandaskan pada:
• Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 4 dan Pasal 33, yang menjamin hak atas hidup dan perlindungan terhadap penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia.
• Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, khususnya Pasal 70 ayat (1), yang menegaskan bahwa petugas BNN wajib menjamin keselamatan dan keamanan tahanan selama proses hukum berlangsung.
• Peraturan Kepala BNN Nomor 6 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pengelolaan dan Pengawasan Tahanan di Lingkungan BNN, yang mengatur larangan penggunaan atribut atau pakaian yang dapat digunakan untuk melukai diri sendiri.
• Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menegaskan kewajiban aparat penegak hukum untuk melindungi hak-hak tersangka atau tahanan selama proses hukum.
Ketua Umum JAMI, La Ode Yasir Mukadir, menegaskan bahwa peristiwa ini tidak bisa dianggap sebagai kasus biasa.
“Ketika seseorang meninggal di dalam tahanan, tanggung jawab penuh ada pada negara melalui institusi yang menahannya. Tidak ada alasan pembenaran apa pun. Ini bentuk kelalaian fatal yang harus diusut secara hukum,” tegas Yasir dalam keterangannya, Selasa (21/10/25).
JAMI menilai, kejadian ini bukan hanya mencederai rasa keadilan publik, tetapi juga mencoreng integritas lembaga penegak hukum yang seharusnya menjadi pelindung hak asasi manusia.
Sebagai bentuk tanggung jawab moral dan sosial, JAMI akan melaporkan kasus ini secara resmi kepada BNN RI dan mendorong Komnas HAM serta Ombudsman RI untuk turut memantau jalannya proses investigasi agar transparan dan akuntabel.
JAMI menegaskan bahwa setiap nyawa tahanan adalah tanggung jawab negara.
Kegagalan dalam melindungi tahanan berarti kegagalan dalam menegakkan prinsip keadilan dan kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh konstitusi.
“Kami menyerukan agar BNN RI menunjukkan komitmennya dalam penegakan hukum yang berkeadilan dengan segera menindaklanjuti kasus ini secara transparan, terbuka, dan berintegritas,” pungkasnya.






