HMI 74 Tahun, Kisah Masa Lalu dan Masa Depan

HMI ini rupanya sudah 74 tahun. Seumur dengan Ibu Megawati. Madam paling berkuasa saat ini di Indonesia. Hanya selisih 13 hari. Ibu Mega lebih tua sedikit.

Kalau mau lihat bagaimana tuanya HMI, mungkin kita bisa lihat Ibu Mega. Cuma saja, Ibu Mega sudah pernah jadi Presiden dan sampai sekarang masih berpengaruh di Indonesia. HMI, maksud saya, kader-kadernya belum pernah kesampaian jadi Presiden. Padahal saya tahu pasti, kedudukan puncak itu, mereka dambakan. Malahan pada beberapa politisi dan aktivisnya, hampir-hampir menjadi obsesif.

Saya sih alhamdulillah saat ini tidak. Obsesi saya bagaimana masyarakat makin sadar pentingnya hidup yang terbaik. Terbaik kualitas kesejahteraannya di dunia, plus kehidupan nanti di sepeninggal kita manusia mati.

Megah, pintar, terkenal, kaya dan berkuasa pun di dunia, tetapi kalau ternyata kekuasaan dan kemegahan itu membuat hidup banyak orang terdampak sakit dan sengsara atau melanggar jalan Tuhan, apa hebatnya? Paling kalau kita seperti itu, setelah kita mati, kalau bukan dikutuki sejarah, dijadikan bahan iktibar agar manusia tidak mencontoh aspek kita yang tidak mereka sukai.

Sebetulnya saya tidak menyinggung siapa-siapa. Sebab begini, entah kenapa, saya sulit menyangkal bahwa komunitas HMI ini merupakan komunitas pemburu kemegahan, pengincar kekuasaan, pencari kemasyhuran dan tentu saja, seperti manusia pada umumnya, pengejar kekayaan.

Oleh karena itu, saya lagi-lagi sulit membantah, bahwa keempat kualitas itulah yang penting di dalam pergaulan sesama HMI. Lho, kok bisa? Ya…. bagaimana lagi. Itulah kenyataan yang amat sukar kita sangkal.

Jadi kalau kamu berkuasa – punya jabatan, pengaruh dan wewenang penting -, terkenal, kaya, dan tidak boleh lupa, juga pintar, entah bagaimana ceritanya, tapi begitulah adanya, akan dijadikan idaman di dalam komunitas yang sudah meluas ke seluruh lapisan masyarakat ini. Mau kita tolak kecenderungan faktual ini, tidak mungkin.

Toh juga menurut saya tidak masalah. Selama baik-baik saja buat umat dan bangsa. Tapi kalau sudah menjurus kepada penyimpangan standard tujuan HMI, baru penting dipersoalkan.

Yah namanya juga suatu organisasi semi borjuis – saya mohon maaf, tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan istilah itu untuk menggambarkan obsesi hal di atas – maka kecenderungan semacam itu hanya konsekuensi saja.

HMI memang lahir di antara realitas modernitas, sisa-sisa masyarakat feodal, obsesi revivalisme dan modernisme Islam, halmana satu sisi tidak ingin kehilangan akar kekhasan lokal kuktural keindonesiaannya, tapi saat yang sama, obsesif juga ingin menjadi manusia modern, namun saleh dan islami. Itulah yang bergelayut di alam pikiran cita-cita orang-orang HMI.

Dalam hal ini, kita mengenang dan membaca citra manusia HMI seperti Lafran Pane, Deliar Noer, Dahlan Ranuwihardjo, Sulastomo, Cak Nur, Akbar Tandjung, Fahmi Idris, Imaduddin Abdurrahim, Ridwan Saidi, Endang Saefuddin Ansari, Adi Sasono, Abdullah Hehamahua, Harry Azhar Aziz, Eggi Sudjana, Anas Urbaningrum, Anies Baswedan, dan masih banyak lagi dengan beragam tipologi dan kiprah.

Figur-figur itu tentu tidak sepenuhnya mewakili realitas manusia HMI. Ada juga pemilik sekolah SDIT, arsitek, pengacara, penerbit, bankir, dosen karir, dokter pemilik klinik, bahkan driver Gojek dan Grab. Jangan tanya aktivis LSM, PNS karir, malah lebih ramai.

Saya kira kita tidak ragu, semua terhubung oleh suatu komitmen ganda sekaligus: komitmen religius keislaman dan komitmen nasional keindonesiaan. Dan satu hal juga, komitmen pada pilihan hidup dan karir profesional mereka.

Memang dua gelombang ideologi inilah yang senantiasa menggoyang-goyang perahu HMI. Mau HMI mana pun, sama, kok. Sama nasionalisnya. Semua menyadari urgensinya eksistensi Indonesia sebagai nation state bagi alat untuk perbaikan kualitas kehidupan umat dan bangsa.

Selamat merefleksikan 74 tahun HMI hadir di negeri kepulauan ini, di tengah tantangan munculnya beragam gejala lama kemasan baru. Semoga pengalaman panjang HMI yang turut ambil bagian dalam proses historis di negeri ini, makin membikin terang mana pangkal mana ujung.

Syahrul Efendi Dasopang, Mantan Ketua Umum PB HMI

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.