Selama ini tanggung jawab mengedukasi pemilih lebih dibebankan pada penyelenggara pemilu dan kelompok civil society pemerhati pemilu, ditambah parpol, walaupun yang terakhir disebut nampaknya masih susah mengingat tingginya pragmatisme politik di internal parpol.
Memang tidak salah mengharapakan tiga elemen tersebut melakukan pendidikan pemilih, namun tidak tepat pula bila hanya berharap kepada ketiganya untuk melakukan edukasi pemilih
Unsur lain yang semestinya memainkan peran penting dalam pendidikan pemilih namun selalu terlupakan adalah capres. Jika ingin melihat pemilih berkualitas maka semestinya capres turut memainkan peran penting dalam mengedukasi pemilih, minimal mengedukasi masyarakat yang menjadi pendukungnya.
Menjadi capres bukan sebatas memburu kursi kosong satu di Republik Indonesia, ini adalah tujuan yang terlalu berorientasi pendek, lebih penting dari semua itu yakni mendorong terwujudnya demokrasi berkualitas melalui pemilih yang berkualitas dalam pilpres.
Semua pihak mengetahui bahwa hingga detik ini belum ada capres yang resmi, belum ada paket capres cawapres yang disahkan Komisi Pemilihan Umum mengingat tahapan pemilu belum masuk ke jenjang tersebut.
Akan tetapi manuver dari beberapa figur yang berniat maju dalam pilpres kian nampak dan dipertontonkan secara terang-terangan. Mempersiapkan diri untuk maju capres merupakan hak setiap warga negara, hak itu tidak mungkin diamputasi, tetapi akan lebih elegan jika para figur tersebut dalam proses persiapan dirinya juga menyelipkan agenda edukasi pemilih.
Mereka paling tidak memberikan pemahaman kepada para pendukungnya agar bersama-sama mewujudkan demokrasi berkualitas, mengarahkan pendukungnya agar mensosialisasikan dirinya tanpa harus membuat framing buruk kepada figur lain yang juga mempersiapkan diri untuk maju sebagai capres, pendukung sebaiknya diarahkan agar lebih fokus menjual gagasan dan karya figur yang diusungnya dibandingkan mengurusi figur lawan.
Sudah bukan lagi masanya menggaet hati pemilih dengan modal amplop, cara inilah yang sekian lama sungguh merusak demokrasi kita. Figur yang menang dengan cara ini pasti akan langsung meninggalkan orang-orang yang memilihnya begitu ia dilantik sebagai pemimpin.
Usaha mengedukasi pemilih mesti muncul dari kesadaran capres, kita membutuhkan capres yang sadar untuk mengedukasi pemilih. Patut diakui bahwa tidak mudah memunculkan kesadaran tersebut. Hal ini mengingat praktik yang selama ini berkembang hanya mengarahkan capres untuk meraup suara sebanyak mungkin agar keluar sebagai pemenang, bahkan bila berkaca pada pilpres yang telah lewat, tidak jarang kita melihat praktik jual beli suara dilakukan secara terbuka oleh tim sukses kandidat.
Kesadaran untuk melakukan edukasi pemilih bisa tumbuh dalam diri capres bila figur bersangkutan meyakini bahwa kemenangan bisa diraih dengan cara yang benar dan jujur, keyakinan ini perlu muncul karena pada dasarnya edukasi pemilih adalah upaya untuk bertarung dan meraih kemenangan dalam pilpres tanpa melanggar aturan pemilu, edukasi pemilih bagi capres adalah ikhtiar untuk menang dalam pemilihan tanpa meninggalkan noda kelam bagi demokrasi di Indonesia.
Penulis: Zaenal Abidin Riam,
Pengamat Kebijakan Publik, Koordinator Presidium Demokrasiana Institute