Demokrat: Korupsi Tak Bisa Ditangani dengan Restorative Justice karena Extra Ordinary Crime!

JAKARTA – Angka tindak pidana korupsi di dalam negeri masih tinggi beberapa tahun terakhir ini. Alasan itu pula Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto tidak sepakat menyelesaikan persoalan korupsi dengan restorative justice atau keadilan restoratif.

Sebagai informasi, keadilan restoratif yakni cara menyelesaiakan pelanggaran atau konflik hukum dengan menggunakan pendekatan mediasi bersama-sama antara korban dan terdakwa. Jika langkah restorative justive ditempuh, kadang melibatkan perwakilan dari masyarakat.

Bacaan Lainnya

Kembali ke Didik, baginya pelaku tindak pidana korupsi tak layak diselesaikan dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Alasannya cukup logis, mengingat korupsi bukan tindak pidana biasa-biasa saja tapi sangat luar biasa karena korupsi telah terbukti merusak sendi bernegara dan berbangsa di Indonesia.

Ketua DPP Partai Demokrat ini menjelaskan, tak semua pelanggaran hukum bisa menggunakan restorative justice. Karena restorative justice hadir sebagai produk hukum peralihan dari positivisme ke progresif yang hanya berisi pemulihan hak korban.

“Kita perlu tahu bahwa tak semua tindak pidana itu bisa diselesaikan dengan restorative justice. Karena hemat saya, banyak hal yang perlu dipertimbangkan pada proses pendalaman kasus pada penerapannya,” ujar Didik seperti rilis diterima wartawan, Rabu (2/11/2022).

Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Rugby Union Indonesia ini, kasus korupsi perlu dilakukan pengecualian pada proses menyelesaikan kasusnya dengan pola keadilan restoratif. Alasannya, korupsi digolongkan sebagai tindak pidana yang luar biasa atau extra ordinary crime yang memerlukan upaya luar biasa pula

Ketua Umum Penegak Hukum dan HAM ini menyebut bahwa kasus korupsi harus dikecualikan dari tindak pidana yang bisa diselesaikan dengan restorative justice. Sebab, kata dia, korupsi termasuk extra ordinary crime atau tindak pidana luar biasa yang membutuhkan upaya luar biasa pula menanggulanginya.

“Kenpa kita tidak mengecualikan ini kasus korupsi ini? Karena korupsi itu jelas-jelas merusak sendi-sendi tatanan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa kita yang berdampak luas pada korbannya yakni masyarakat ini. Masyarakat ini kan banyak, tak mungkin para korban ini yang dikenal sangat banyak sebagai masyarakat Indonesia dapat kita diidentifikasi satu per satu. Sehingga kita damaikan dengan pelaku yang kemudian kepentingan dari korban ini seumpamanya diganti oleh pelaku,” jelas Didik.

“Apalagi dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 4 menyebutkan ada upaya pengembalian kerugian negara yang tidak menghilangkan penuntutannya. Itu artinya, proses penuntutan tidak ada masalah, tetap dilanjutkan jiki pelaku ini telah mengakui perbuatan dibuktikan dengan mengembalikan hasil kejahatannya itu,” sambung Didik.

Ketua Umum pengurus nasional Karang Taruna (PNKT) ini menyampaikan, penerapan restorative justice perlu mempertimbangkan sejumlah hal seperti tak menimbulkan penolakan, apalagi keresahan di tengah masyarakat yang berefek pada konflik sosial. Tak hanya itu, keadilan restoratif ini perlu mencegah agar pelanggaran hukum itu tidak berpotensi mengganggu keamanan negara, dan tidak memecah belah bangsa seperti paham radikalisme, separatisme, terorisme dan bukan perilaku esidivis.

“Ideal sekali jika keadilan restoratif ini bisa dijalankan pada penegakan hukum pidana umum ringan yang didasarkan pada perdamaian di antara dua kelompok dengan mengandung pemenuhan hak-hak korban yang bertanggung jawab pelaku agar korban beserta keluarga mendapatkan keadilan,” ujar Didik.

Didik menjelaskan korban tindak pidana korupsi tidak bisa diwakili oleh aparat penegak hukum. Karena restorative justice bukan perdamaian antara penegak hukum dengan pelaku, tapi pelaku dengan korban.

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *