Bismillah
Syahdan, waktu itu belum ada Pancasila. Di alam ide saja belum. Soekarno pun masih anak-anak. Mimpi bernegara non monarki yang lepas dari Belanda pun masih seperti angan-angan. Tapi ide Tjokroaminoto tentang zelfbestoor, sudah menggema.
Umar Said Tjokroaminoto adalah mata air dari semua aliran politik di Republik Indonesia hari ini. Tentu saja Tjokro mengimpikan bila suatu saat negara berdiri pasca penjajahan Belanda, yaitu dengan sifat Republik. Bukan monarki. Sarekat Islam, organisasi perjuangan politiknya, memang menerapkan prosedur republik itu.
Tjokro mengandalkan ajaran Islam dan orang Islam sebagai tumpuan dan andalan aktivitas politiknya. Tidak ada yang lain. Sebab, orang Slam atau penduduk beragama Islamlah yang paling tertindas dari sistem kolonial saat itu. Terutama di Jawa.
Sistem kolonial mengklasifikasi secara hukum penduduk Hindia Belanda dalam tiga kasta. Waktu itu belum ada secara hukum, nomenklatur Indonesia. Baru dalam wacana.
Golongan penduduk Hindia Belanda terbagi pada tiga. Golongan Eropa. Golongan Timur Asing. Di dalamnya ada China, ada Arab. Golongan paling bawah, ialah pribumi atau inlander. Lazim disebut orang Slam. Itu terdapat pada Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling).
Orang Inlander atau pribumi yang beragama Kristen status mereka sama dengan golongan Eropa. Dalam hal kelahiran dan perkawinan, golongan Eropa dan Inlander (Pribumi) Kristen, mereka tunduk pada Hukum Eropa (Burgerlijk Wetboek) dan lembaga yang mengurusinya adalah Burgerlijk Stand (Catatan Sipil). Orang Tionghoa Kristen juga sama.
Yusril Ihza menuliskan, bagi Inlander Muslim atau Hindu/Buddha tunduk pada hukum adat masing-masing dan tidak ada lembaga negara jajahan Hindia Belanda yang mengurusinya.
Status sosial, ekonomi dan hukum bagi ketiga golongan ini berbeda. Yang berkuasa, adalah golongan Eropa yang menguasai pos-pos kekuasaan politik dan administrasi penjajahan. Di bawahnya, golongan Timur Asing. Golongan yang kedua ini diizinkan menguasai ekonomi selama tidak menyebabkan ancaman politik bagi penjajah. Adapun pribumi, memang objek dari penjajahan itu. Demikianlah tingkat kemakmuran pada umumnya pada setiap golongan penduduk Hindia Belanda tersebut, mencolok kesenjangannya. Baik dari segi lokasi permukiman, maupun tingkat pendidikannya. Orang Eropa, tinggal di kawasan elit seperti kawasan lapangan banteng, menteng dan jatinegara. Di kawasan pasar dan pecinan, tinggal orang timur asing. Adapun pribumi, tinggal di kampung-kampung yang terdapat di luar kawasan elit.
***
Tjokro berjuang membangun kesadaran politik orang-orang Islam. SI berkembang pesat dan menjangkau hingga keluar Jawa. Di saat yang sama, dunia Islam bergolak secara pemikiran. Reformisme dan modernisme Islam merupakan jawaban atas kemajuan Eropa. Para penganjur dan pemikir reformis Islam menuding bahwa kekalahan Islam terhadap eropa akibat kejumudan pemikiran keagamaan yang menolak rasionalisme dan metode ilmiah. Untuk itu, Islam harus mengubah sikapnya terhadap Eropa, dari musuh menjadi guru. Serentak dengan itu, pemahaman baru Islam harus mengikis mitos-mitos dan paham yang dituding membuat Islam stagnan dan kolot. Tahyul, khurafat, bid’ah dan tradisi keagamaan yang tercipta sepanjang ribuan tahun perkembangan peradaban Islam, harus dilenyapkan dengan memperkenalkan cara dan pemikiran baru keagamaan yang adaptif dan sesuai semangat zaman modern dengan tidak mencampakkan agama dari kehidupan seorang Muslim. Agama dihidupkan, tapi semangat, cara, dan pandangan barunya diubah dan disesuaikan.
Mengalir dari gerakan pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani, disokong oleh Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, ditunjang oleh gerakan pemurnian Islam dari pengaruh syirik yang sudah bergolak sebelumnya, di Nejed oleh Muhammad bin Abdul Wahhab. Semua pergolakan pemikiran keagamaan tersebut tersulut oleh faktor eksternal, yaitu realitas penjajahan dan keunggulan Eropa ke dalam dunia Islam. Dan makin memuncak saat imperium Turki Utsmani yang lemah dan korup itu, sebagai simbol kekuatan dunia Islam, perlahan rontok dan runtuh, dan akhirnya berganti sifat menjadi republik sekuler, mengadopsi sistem kenegaraan Barat.
Pengaruh gerakan reformis yang bercampur misi pemurnian Islam itu merembes dan meluas ke Hindia Belanda. KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, Haji Rosul ayahnya Hamka pendiri Sekolah Islam modern Sumatra Thawalib, A. Hassan pendiri Persis, Ahmad Surkati pendiri Al-Irsyad, di antara daftar tokoh terkenal yang memperjuangkan gerakan ini. Selain tokoh, lembaga-lembaga reformis dan purifikasi Islam juga dibentuk untuk memperluas pengaruh. Muhammadiyah di antara yang paling terkenal. Tentu saja, Al-Irsyad, Persis, tak bisa tidak harus disebut.
Garis reformis dan purifikasi ini bukan tidak menimbulkan reaksi dari dalam masyarakat elit Islam sendiri. Di Jawa Timur muncul Nahdlatul Ulama yang merasa perlu ada bagian-bagian dari tradisi Islam yang perlu dilindungi. Di Sumatera lahir Perti, Alwashliyah, dan di Lombok kemudian hari, lahir pula Nahdlatul Watan.
Dalam gemuruh semangat reformis dan purifikasi Islam yang melanda banyak wilayah dunia Islam, dan di tiap lokal dunia Islam, bergolak pula perlawanan terhadap kolonialisme, mengalir pulalah ideologi perlawanan terhadap kolonialisme, baik dari aliran nasionalisme maupun marxisme.
SI, dimana Tjokro mengkonsolidasi kekuatan rakyat dalam menentang penjajahan, tumbuh dan bercampur setiap ideologi besar perlawanan.
Reformis Islam, tentu memiliki tempat utama dalam SI, yang direpresentasikan oleh Agus Salim. Nasionalisme, juga mekar, baik pada Tjokro sendiri maupun tokoh-tokoh seperti Abdul Muis, dan lain-lain. Siapa bisa menyangkal bahwa Agus Salim bukan seorang nasionalis?
Sungguh mengherankan juga, dalam personalia Pengurus Besar SI, tokoh-tokoh berasal dari Minangkabau, seperti Agus Salim dan Abdul Muis, memiliki peranan signifikan. Abdul Muis sendiri merupakan perwakilan SI di volksraad, lembaga perwakilan rakyat, zaman Hindia Belanda.
Selain reformis Islam dan nasionalis, di tingkat cabang SI di Semarang, hidup dan berpengaruh juga ideologi marxis – komunis. Tokohnya waktu itu adalah Tan Malaka dan Semaun. Saat itu, Soekarno belum apa-apa.
Soekarno mungkin akhirnya menyadari apa yang terjadi di dalam SI, merupakan cerminan dari pergumulan ideologi dalam spektrum Hindia Belanda yang lebih luas. Apakah karena itu, sehingga dia menulis suatu artikel yang legendaris, Nasionalisme, Islamisme, Marxisme. Soekarno sendiri merupakan kader binaan Tjokroaminoto di rumahnya, Jalan Peneleh, di Surabaya. Bahkan akhirnya pun, Soekarno menjadi menantu Tjokroaminoto sendiri.
Jadi, di masa itu sebenarnya, sudah terjadi pertempuran tiga arus. Arus Islam yang reformis, arus marxis dan arus nasionalis. Dua yang pertama, diilhami dari luar dan memiliki cakupan secara global. Yang terakhir, didorong oleh kebutuhan lokal dan diilhami oleh pandangan modernis. (bersambung)
~ Syahrul Efendi Dasopang, Mantan Ketua Umum PB HMI