Polemik tentang masa jabatan kepala desa kian hangat, terbaru kepala desa dari berbagai daerah di Indonesia melakukan demonstrasi di depan Gedung DPR RI, salah satu tuntutannya adalah meminta perpanjangan masa jabatan yang awalnya 6 tahun menjadi 9 tahun untuk setiap periode. Jauh sebelum demonstrasi ini terjadi, wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa sudah mulai ditiupkan di ruang publik. Ada alasan yang dijadikan dalih untuk memperpanjang masa jabatan kepala desa, beberapa diantaranya adalah suasana politik yang tidak langsung cair pasca pemilihan kepala desa, kepala desa dinilai membutuhkan waktu paling tidak satu tahun untuk mencairkan suasana politik yang dinilai menghambat program kepala desa terpilih. Hal lain yang menjadi alasan bahwa bagi kepala desa yang akan kembali bertarung dalam pemilihan kepala desa maka dua tahun sebelum jabatannya berakhir yang bersangkutan sudah mulai mempersiapkan diri untuk maju kembali, sehingga kepala desa hanya bisa bekerja maksimal sekitar dua sampai tiga tahun saja. Masa jabatan enam tahun dianggap tidak cukup untuk digunakan kepala desa bekerja secara maksimal. Jika dicermati dengan baik, terlihat alasan yang digunakan untuk memperpanjang masa jabatan kepala desa tidak memiliki landasan yang kuat, bahkan cenderung dipaksakan. Jika dikhawatirkan masa jabatan enam tahun tidak cukup bagi kepala desa untuk bekerja secara maksimal, karena sebagian waktunya tersita untuk mencairkan kebekuan politik di desa pasca pilkades dan mempersiapkan diri untuk maju kembali dalam pilkades, maka alasan itu perlu diluruskan. Kedua alasan tersebut tidak bisa dijadikan dalih memperpanjang masa jabatan. Justru seorang kades sejak terpilih dituntut untuk fokus menjalankan program pembangunan desa, tugas kepala desa adalah membangun desa, bukan mengurus kebekuan politik pasca pilkades, bila mengerahkan energi mengurus kebekuan politik pasca pilkades berarti sejak awal kepala desa bersangkutan tidak fokus menjalankan agenda membangun desa. Jadi ini adalah persoalan kemauan untuk fokus pada tugas, termasuk harus tetap fokus pada tugas walaupun punya niat untuk mencalonkan kembali, jika fokus membangun desa maka secara otomatis hasilnya akan terlihat, hasil tersebut merupakan modal baik bagi petahana kades untuk maju kembali tanpa harus melalaikan tugasnya karena sibuk menghadapi Pilkades. Dalih bahwa masa jabatan enam tahun tidak cukup untuk membangun desa secara maksimal juga perlu dikoreksi, sebenarnya ini bukan persoalan masa jabatan yang tidak cukup, tetapi lebih pada kompetensi seorang kades, apakah figur yang terpilih memang memiliki kompetensi untuk memimpin di desa atau tidak, bila memang memiliki kompetensi maka berapapun waktu yang tersedia pasti bisa dimaksimalkan untuk membangun desa. Sebaliknya bila aslinya tidak memiliki kompetensi sebagai kades maka walaupun masa jabatannya ditambah hingga beberapa tahun tetap saja kepala desa bersangkutan tidak akan bisa bekerja maksimal membangun desa. Jadi semestinya yang perlu dibenahi adalah kompetensinya, bukan masa jabatannya. Aspirasi penambahan masa jabatan kepala desa memang tidak bisa dilarang karena itu bagian dari dinamika demokrasi, tetapi kita perlu mengingatkan bahwa wacana tersebut memiliki konsekuensi negatif, karena dengan saling mengingatkan untuk kepentingan bersama maka demokrasi akan semakin hidup. Penulis: Zaenal Abidin Riam, Pengamat Kebijakan Publik/Koordinator Presidium Demokrasiana Institute
Bambang Soesatyo | Anggota DPR RI/Ketua MPR RI ke-15/Ketua DPR RI ke-20/Ketua Komisi III DPR RI ke-7/Dosen Tetap […]
Berita Terkait
Headlines
Kategori: Opini
Cerpen: Akhirnya Engkau Tak Menjelma
Aku positif. Berbaik sangka. Dan, dari jendela di balik kaca ini, aku membaca buku sambil menulis untukmu saat kulihat kau masih berdiri. Tidak berlari. Sebab di situ, saat kubayangkan tanganku mengkepang rambutmu yang terurai syahdu. Hujan tak menghentikan lambaian tanganmu dan akhirnya membuat diriku, lara bin paria. Sisa hidup ini tumpukan dua itu tak bosan–bosan menghampiri, menggumuli diriku. Purwokerto. Kediri. Jogjakarta. Jakarta. Adalah kota–kota yang mengada. Di semua terbitlah bayang–bayang jiwa. Antara ada dan tiada. Senyum manismu membelenggu. Tipis–tipis kudengar suara tangis. Rasa bertambah resah. Tegar–tegar kumaki diriku. Bila ingat akan cintamu hanya untukku lewat sumpah serapahmu. Sampai kini. Bukan kamu tak cinta padaku. Tapi jiwamu seakan ilusi yang mendebu di buku-buku. Detik ini. Bukan kamu tak sayang diriku. Tapi harummu habis terbawa ombak setinggi ketakutan–ketakutan. Maka engkau tak menjelma kesungguhan dan kenyataan. Kasih. Jika di negaramu sudah dikirim virus, bencana, kehancuran moral dan kenajisan elite tetapi tidak ada tobat nasional; tidak ada revolusi; tidak ada kudeta dan rakyat tak anarkhis karena KKN jadi tradisi maka kiyamatlah yang akan menghentikannya. Kasih yang tak menjelma. Apa iya Indonesia masih tanah air beta? Negeri yang dulu menjadi pusaka abadi nan jaya. Apa iya Indonesia sejak dulu kala masih tetap dipuja–puja bangsa lain? Bukankah menjadi produsen budaknya budak bangsa–bangsa imperial dunia? Apa iya di sana tempat lahir beta? Negeri di mana kami dibuai dibesarkan bunda. Apa iya negeri itu masih tempat berlindung di hari tua? Rasanya kok makin gelap–gulita bersama penjajah lokal yang kencing di istana. Apa iya masih tempat akhir menutup mata kami yang dipalak elite setiap masa? Bukankah jargon saya indonesia saya pancasila hanya bualan saja? Aku rindu yang sebaliknya. Kasih yang entah di mana. Tanpamu aku berzina dengan buku. Tanpamu aku menyetubuhi perpustakaan. Menangis berbantalkan skripsi, tesis dan disertasi. Tanpamu aku memeluk jurnal–jurnal. Ya. Ini soal perasaan. Soal keberpihakan. Bersama para begundal, kamu ceria. Jalan berdampingan. Mesra mengutil dana rakyat; memalak warganegara. Indonesia kini terpuruk tak pernah ada tujuan kecuali menternak kebiadaban kaum kaya. Senyumku untukmu ini berisi analisa dan cara menikam mereka. Yang bukan hanya membelah malam; menguliti cara mereka mencuri; mengungkap cara mereka menipu kita semua. Tentu agar mendung yang selalu datang tak membuat banjir kepedihan; memelihara penghianatan dan keculasan. Oleh: Prof Yudhie Haryono, PhD, […]
Sistem Pemilu Wilayah Legislasi, Bukan Wilayah Kekuasaan Kehakiman
Judicial Review terkait system pemilu yang saat ini berlangsung di Mahkamah Konstitusi melahirkan pertanyaan mendasar […]
Perpu Cipta Kerja Itu Rompi Pengamanan Elit
Perppu Ciptakerja yang baru disyahkan tidak memenuhi unsur keterdesakan kondisi ekonomi untuk syarat terbitnya sebuah […]
Haruskah Capres Turut Mengedukasi Pemilih?
Selama ini tanggung jawab mengedukasi pemilih lebih dibebankan pada penyelenggara pemilu dan kelompok civil society […]
Urgensi Utusan Golongan di MPR RI
Oleh Jhohannes Marbun, M.A Peneliti Senior Nusantara Centre Jakarta Ada 2 (dua) permasalahan yang muncul […]
Ulang Tahun
Kebetulan tanggal ulang tahun saya persis satu hari sebelum ulang tahun PDI Perjuangan. Dan yang […]
Di Bawah Ketiadaan Utusan Golongan
Hari Minggu ini, 15/01/2023 kami dari YMNK (Yayasan Membangun Nusantara Kita) bekerjasama dengan DPDRI di […]
Waspadai Politik Gentong Babi Jelang Pemilu
Saat ini, Indonesia sudah sedang memasuki tahun politik. Konstestasi politik antar kandidat mulai mengumpulkan sumberdaya, […]
Akselerasi Ekonomi Pasca Resesi
Kondisi ekonomi tahun 2023 memasuki masa perfect strom narasi kondisi hari ini yang dibangun karena […]
Tidak Ada Pos Lagi.
Tidak ada laman yang di load.