Catatan Amoral Hakim MK, Terompet Keruntuhan Supremasi Konstitusi dan Kembalinya Kekuasaan Absolut

Oleh: Hikma Ma’ruf Asli | Jurnalis, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Andi Djemma Palopo

Pada akhirnya tak banyak yang dapat diharapkan dari sebuah peradilan konstitusi yang Agung dan penuh kemuliaan. Hanyalah mimpi besar jika berharap tagaknya hukum dan konstitusi negara yang dihormati siapun manusia di negeri bernama Indonesia.

Betapa tidak, Humas MK merilis hasil sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam laman resminya mengatakan jika lembaga penegak kehormatan MK itu memutuskan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran etik.

MKMK memberhentikan Hakim Konstitusi Anwar Usman dari jabatan Ketua MK. “Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Hakim Terlapor.”

Demikian dikatakan Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie dengan didampingi Anggota MKMK Wahiduddin Adams dan Bintan R. Saragih, dalam Pengucapan Putusan MKMK Nomor 02/MKMK/L/11/2023 yang digelar di Ruang Sidang Pleno Gedung I MK pada Selasa (7/11/2023).

Anwar Usman dinyatakan tidak berhak mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan MK sampai masa jabatannya berakhir. Anwar juga tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan.

Pertanyaan muncul, apa arti keberadaan Anwar Usman di lembaga yang penuh kemuliaan itu jika ia tak memiliki fungsi dan wewenang seperti yang diputuskan MK MK itu? Bukankah itu artinya sosok paman salah seorang cawapres mahakaryanya sendiri itu hanya menjadi beban negara dengan sejumlah fasilitas yang diterimanya kelak secara GRATIS alias cuma-cuma (gaji buta)?

Tak ada yang menyangkal jika MKMK telah bekerja maksimal. Namun sebuah putusan ambigu semacam itu tak pantas membuat kehormatan MK lantas pulih dan meyakinkan rakyat jika kelak putusannya benar-benar berasa pada jalur keadilan.

Semula sosok seorang Prof. Jimly Asshiddiqie memberi sedikit harapan meretas keruhnya persoalan hukum yang merusak rasa keadilan masyarakat.

Hanya saja kelahiran MKMK yang diangkat sendiri oleh MK, (notabene mereka para hakim konstitusi yang tak beretika itu), menimbulkan kekhawatiran bahkan kecurigaan. Ada uang menengarai telah terjadi deal sebelum tiga orang diposisikan di MKMK.

Nyatanya, hasil putusannya pun tak sesuai espektasi hukum yang semestinya. Kecurigaan banyak pihak jika kehadiran MKMK sekedar penenang di kegaduhan hukum, laksana fatamorgana di tengah gurun. Sekedar melewatkan kegaduhan yang ada hingga sedikit meredah dan hilang dari perbincangan dan larut dalam hiruk pikuk prosesi politik saat ini.

Prahara hukum yang menghamba sepenuhnya kepada kekuasaan politik dan pragmatisme yang ditopang oleh nepotisme, telah menodai hukum pokok dari hulunya. Maka itu akan menjadi preseden buruk pada proses penegakan hukum secara keseluruhan ke bawah.

Bukan hanya Ketuanya, bahkan hingga anggotanya pun dinyatakan melanggar etika hakim konstitusi. Tentu kita tak sedang memikirkan jika para hakim dengan selimut kemuliaan itu tak mengerti etika. Tapi jika mereka yang paham etika lantas menabraknya, masikah pantas mereka menyandang kemuliaan?

Aristoteles, pemikir dan filosof besar yang pertama berbicara tentang
etika secara kritis, reflektif, dan komprehensif. Menempatkan etika sebagai cabang filsafat, menyoal tentang hidup yang baik, yakni hidup yang bermakna, menentramkan, dan berharkat.

Dalam pandangan Aristoteles, hidup manusia akan menjadi semakin
bermutu/bermakna ketika manusia itu mencapai apa yang menjadi tujuan hidupnya. Mencapai tujuan hidupnya, berarti manusia itu mencapai diri sepenuhnya, meraih apa yang disebut nilai (value), dan yang menjadi tujuan akhir hidup manusia.

Pandangan Hook, sebagaimana dikutip Ahmad Asfi Burhanudin mengatakan bahwa etika berkaitan dengan soal pilihan (moral) bagi manusia. Keadaan etis adalah pilihan antara yang baik dan yang buruk, kadang juga pilihan di antara keburukan‐keburukan).

Mengutip pepatah kuno kekaisaran Roma mengatakan, “Quid leges sine
moribus”, artinya hukum tidak berarti banyak, kalau tidak dijiwai oleh
moralitas. Pepatah ini menggambarkan bahwa hukum tidak bisa
dipisahkan dengan moral, hukum harus memuat nilai-nilai moral, dalam
bahasa lain dikatakan bahwa hukum merupakan krestalisasi nilai-nilai
moral.

Menurut Van Apeldorn, hukum tidak cukup diartikan sebagai
aturan yang mengikat warganya saja, melainkan harus memiliki aspek
keadilan dan asas lain yang berguna melindungi warganya dengan adil
dan menjamin kepastian hukum bagi setiap warga negara, tanpa kecuali.

Salah satu sarana penting untuk mewujudkan keadilan di tengah
masyarakat, adalah norma hukum yang diformulasikan dari nilai-nilai
yang berlaku di tengah masyarakat yang di dalamnya include nilai etika
dan moral, oleh karena itu penegakan hukum ditengah masyarakat harus
juga dilakukan dengan iringan nilai etika dan moralitas(Miswardi dalam Muhammad Rivaldianto dkk, 2023).

Mengingat ke-9 Hakim konstitusi ini adalah mereka yang dianggap manusia ‘setengah dewa’, walau masih jauh dari kepantasan bergelar wakil Tuhan di muka bumi, setidaknya mereka mendekati gelar filosof yang memberi titik terang atas arah dan cahaya atas konstitusi yang dapat dijadikan sandaran oleh rakyat secara fair berhadapan dengan kehendak dan kuasa negara.

Mereka diposisikan sebagai manusia yang berdiri diatas kebenaran etik. Bukan lagi hakim pemula yang masih perlu belajar dan mengasah intuisi keadilannya. Mereka tak semestinya kemaruk dan tampak haus keduniawian. Karena sesungguhnya mereka telah berada pada taraf kemuliaan yang tertinggi di mata hukum dan di mata rakyat.

Kita tentu menyadari bahwa konstitusi adalah sarana dialektis antara keekuasaan negara dan kehendak rakyat. Menjadi titik keseimbangan anatara rakyat dan negara sehingga tak ada tempat bagi absolutisme kekuasaan yang dapat merampas hak dan kedaulatan rakyat.

Dalam kehidupan modern, tegaknya konstitusi berarti jug hidupnya demokrasi yang bergerak di atas rasionalitas etik. Eksistensi rakyat harusnya terjaga baik melalui konstitusi yang menjadi perjanjian abadi antara rakyat sebagai pemegang kedaulatan dan negara sebagai pemegang kuasa.

Lantas, jika kita tarik kembali pada realita 9 Hakim Konstitusi dimana Ketua dan beberapa anggotanya dinyatakan amoral oleh MKMK, maka dimana lagi harapan itu bisa ditambatkan?

Sebab eksistensi MK pasca putusan kontroversial terkait batasan usia calon presiden dan wakil presiden, (yang motivasi utamanya secara tendensius dan vulgar meloloskan keponakan sang Ketua MK), dimana patut dipahami sebagai titipan kekuasaan seorang presiden, kepala negara, ayah kandung sangat cawapres sdkaligus kakak ipar Anwar Usman sang ketua MK (waktu itu). Merobek labirin sakral kedaulatan rakyat dan merupakan gelaran karpet merah kembalinya absolutisme kekuasaan di Republik ini.

Pemaknaan yang pantas secara nyata dari lakon peradilan sesat itu adalah runtuhnya sendi-sendi kemuliaan hakim dan hilangnya kepercayaan publik akan tegaknya konstitusi di tangan mereka itu. Lebih jauh dari itu penodaan atas kedaulatan rakyat dimana hakim konstitusi mestinya berpijak pada kebenaran etik yang mestinya berpihak kepada rakyat untuk menjadi garda utama meredam dominasi kekuasaan absolut.

Kepercayaan rakyat sesungguhnya dapat dijaga sekiranya MKMK tegas memberi hukuman memecat Anwar Usman, bukan hanya dari posisi Ketua, tapi juga keanggotaannya sebagai hakim konstitusi, pun demikian terhadap mereka yang dinyatakan melanggar kode etik. Sebab lembaga super kemuliaan itu mestinya zero kesalahan, apalagi menyangkut soal etik.

Dengan situasi itu, akan sulit MK lepas dari preseden amoral dalam putusan-putusan mendatang. Bahkan produk kepemimpinan kekuasaan negara dalam pilpres yang nantinya bermuara pada sengketa hasil pemilu di MK, akan menuai apatisme dan inkredibilitas tinggi. Putusan mereka akan tetap dianggap cacat moral.

Solusi terbaik adalah memeberhentikan semua hakim bermasalah secara etik (amoral) tersebut dan segera menyelenggarakan pemilihan hakim konstitusi baru atau mengisi sisipan dari hasil seleksi sebelumnya.

Pos terkait