Bijaksana Hadapi Masalah Keluarga: Panduan Praktis Membangun Keluarga Harmonis dalam Islam!

Oleh: Munawir K, Dosen UIN Alauddin Makassar

Tulisan ini terkhusus ditujukan kepada Afandi Muhammad, ST, MT. dan Rismayanti Putra DR.KH. Muh. Ishaq Samad, MA. (Ketua Umum DPP IMMIM / Wakil Rektor IV Univ. Muslim Indonesia) di Gedung Islamic Centre IMMIM Jl. Jend. Sudirman Makasar 8 Juni 2024

Bacaan Lainnya

Keluarga yang harmonis adalah fondasi dari masyarakat yang sehat dan beradab. Dalam Islam, keluarga bukan hanya unit sosial tetapi juga sebuah amanah yang harus dipelihara dengan penuh tanggung jawab. Membangun keluarga harmonis memerlukan usaha berkesinambungan yang melibatkan setiap anggota keluarga. Berikut adalah uraian mendalam dan sistematis tentang cara membangun keluarga harmonis.

1. Menjunjung Tinggi Kejujuran dan Keterbukaan

Kejujuran adalah nilai fundamental dalam Islam. Al-Qur’an menegaskan pentingnya sikap jujur dalam banyak ayat, salah satunya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا”
QS. الأحزاب: 70)
” Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.”

Kejujuran dalam keluarga menciptakan lingkungan yang penuh kepercayaan dan saling menghormati. Ketika setiap anggota keluarga bersikap jujur dan terbuka, mereka dapat menyelesaikan masalah dengan lebih mudah dan bersama-sama. Rasulullah SAW juga menekankan pentingnya kejujuran dalam berbagai hadits, salah satunya adalah:

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ
(رواه مسلم)
“Kalian harus jujur, karena kejujuran mengarahkan kepada kebaikan, dan kebaikan mengarahkan ke surga.”
(HR. Muslim)

Kejujuran di dalam keluarga berarti tidak menyembunyikan sesuatu yang dapat menimbulkan perpecahan dan selalu bersikap transparan. Keterbukaan ini mencakup segala aspek kehidupan, baik masalah finansial, emosional, maupun spiritual. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya ”Ihya Ulumuddin” menyebutkan bahwa kejujuran adalah asas dari segala kebaikan dan fondasi dari segala hubungan yang baik.

Kejujuran bukan hanya sebatas berkata benar, tetapi juga mencakup integritas dan ketulusan hati. Dalam konteks keluarga, kejujuran memungkinkan anggota keluarga untuk saling mempercayai dan membangun hubungan yang kokoh. Dalam situasi krisis, kejujuran membantu keluarga untuk bersama-sama mencari solusi tanpa adanya prasangka buruk.

Sebaliknya, ketidakjujuran bisa merusak rasa saling percaya, menyebabkan konflik, dan pada akhirnya merusak keharmonisan keluarga. Keterbukaan antara suami dan istri dalam pengelolaan keuangan, pendidikan anak, dan masalah sehari-hari adalah contoh konkret bagaimana kejujuran dapat diterapkan dalam keluarga.

2. Memelihara Komunikasi yang Efektif

Komunikasi yang baik adalah kunci untuk mencegah kesalahpahaman dan mempererat hubungan. Allah SWT berfirman:

وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا”
(QS. البقرة: 83)
“Dan ucapkanlah kepada manusia perkataan yang baik.”

Dalam konteks keluarga, komunikasi yang baik berarti mendengarkan dengan penuh perhatian dan berbicara dengan lemah lembut serta penuh kasih sayang. Rasulullah SAW memberikan teladan dalam hal komunikasi yang baik dengan keluarganya. Beliau selalu berbicara dengan penuh kelembutan dan perhatian kepada istri-istrinya dan anak-anaknya.

إِنَّ مِنْ أَكْمَلِ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَأَلْطَفُهُمْ بِأَهْلِهِ
(رواه الترمذي)
“Sesungguhnya orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan paling lembut terhadap keluarganya.”
(HR. Tirmidzi)

Komunikasi yang baik mencakup kemampuan untuk mendengarkan dan memahami perasaan serta pendapat orang lain. Menurut Imam Al-Nawawi dalam Riyadus Shalihin“, komunikasi yang baik adalah bentuk ibadah karena dapat mempererat silaturahmi dan memperbaiki hubungan antar manusia.

Komunikasi yang efektif adalah jembatan antara hati dan pikiran anggota keluarga. Ini tidak hanya berarti berbicara, tetapi juga mendengarkan dengan empati dan tanpa prasangka. Seringkali, konflik dalam keluarga timbul karena kurangnya komunikasi atau komunikasi yang tidak efektif. Misalnya, seorang anak yang merasa diabaikan karena orang tuanya tidak pernah mendengarkan masalahnya dengan serius. Dengan komunikasi yang baik, setiap anggota keluarga merasa didengar, dipahami, dan dihargai. Ini memperkuat ikatan emosional dan membantu dalam menyelesaikan konflik dengan cara yang konstruktif.

3.Mengutamakan Kebersamaan

Kebersamaan dalam keluarga adalah salah satu cara untuk membangun ikatan yang kuat dan penuh kasih sayang. Allah SWT berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً”
(QS. الروم: 21)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.”

Rasulullah SAW juga mencontohkan pentingnya kebersamaan dengan keluarga. Beliau sering menghabiskan waktu bersama keluarganya, bermain dan bercanda dengan cucu-cucunya, serta selalu hadir dalam momen-momen penting mereka.

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
(رواه الترمذي)
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah yang paling baik kepada keluargaku.”
(HR. Tirmidzi)

Kebersamaan dapat diwujudkan melalui kegiatan sederhana seperti makan bersama, beribadah bersama, atau sekadar berbicara satu sama lain. Menurut Ibnu Qayyim dalam kitabnya Tuhfatul Maudud bi Ahkami al-Maulud“, kebersamaan adalah sarana untuk menumbuhkan rasa kasih sayang dan saling memahami antar anggota keluarga.

Kebersamaan menciptakan kesempatan bagi anggota keluarga untuk saling mengenal lebih dalam. Kegiatan seperti makan bersama, bermain, atau berbicara tentang hari masing-masing adalah momen berharga untuk mempererat ikatan. Selain itu, kebersamaan dalam ibadah seperti shalat berjamaah atau membaca Al-Qur’an bersama dapat memperdalam hubungan spiritual keluarga.

Kebersamaan juga berarti memberikan waktu dan perhatian kepada satu sama lain, mengutamakan kepentingan keluarga di atas kepentingan pribadi. Ini mengajarkan anak-anak pentingnya solidaritas dan kepedulian terhadap sesama anggota keluarga.

4. Bersikap Bijaksana dalam Menghadapi Masalah

Bijaksana dalam menghadapi masalah berarti mampu mengendalikan emosi dan mencari solusi yang terbaik. Allah SWT berfirman:

وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ”
(QS. آل عمران: 134)
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Rasulullah SAW menekankan pentingnya bersikap tenang dan tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan. Beliau bersabda:

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرْعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
(رواه البخاري ومسلم)
“Bukanlah orang kuat itu yang bisa mengalahkan lawannya, tetapi orang kuat adalah orang yang bisa mengendalikan dirinya ketika marah.”
HR. Bukhari dan Muslim)

Bijaksana dalam menghadapi masalah juga berarti mencari solusi yang adil dan tidak merugikan salah satu pihak. Imam Al-Syafi’i dalam kitab ”Al-Risalah” menjelaskan bahwa kebijaksanaan adalah bagian dari akhlak mulia yang harus dimiliki oleh setiap muslim.

Kebijaksanaan dalam menghadapi masalah keluarga memerlukan pemahaman mendalam tentang situasi dan emosi yang terlibat. Seseorang yang bijaksana akan mampu melihat masalah dari berbagai sudut pandang dan mencari solusi yang paling adil dan efektif. Ini termasuk kemampuan untuk menahan diri dari reaksi emosional yang berlebihan dan fokus pada penyelesaian masalah dengan cara yang konstruktif.

Misalnya, ketika terjadi perselisihan antara suami dan istri, sikap bijaksana mencakup kesediaan untuk mendengarkan satu sama lain, mencari titik temu, dan menghindari sikap saling menyalahkan. Ini sejalan dengan prinsip bahwa setiap masalah pasti ada jalan keluarnya jika dihadapi dengan kepala dingin dan hati yang terbuka.

5. Menunjukkan Perhatian Satu Sama Lain

Perhatian adalah wujud nyata dari kasih sayang. Allah SWT berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
(QS. المائدة: 2)
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”

Perhatian yang tulus dapat menciptakan rasa saling menghargai dan mempererat hubungan keluarga. Rasulullah SAW mencontohkan perhatian kepada keluarganya dengan cara yang sangat manusiawi, seperti membantu pekerjaan rumah dan bermain dengan anak-anak.

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي”**
(رواه الترمذي)
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah yang paling baik kepada keluargaku.”
(HR. Tirmidzi)

Perhatian yang diberikan kepada anggota keluarga dapat berupa hal-hal sederhana seperti menanyakan kabar, membantu dalam pekerjaan rumah tangga, atau memberikan dukungan moral dan emosional. Imam Al-Ghazali dalam ”Ihya Ulumuddin”
menyatakan bahwa perhatian adalah manifestasi dari cinta yang tulus dan merupakan salah satu bentuk ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam.

Perhatian dalam keluarga mencerminkan nilai kasih sayang dan kepedulian yang diajarkan dalam Islam. Ini mencakup berbagai bentuk interaksi positif, mulai dari menyapa dengan ramah setiap hari hingga memberikan dukungan dalam masa-masa sulit. Misalnya, seorang ayah yang menyempatkan diri untuk membantu anak-anaknya dalam belajar atau seorang ibu yang dengan penuh kasih mempersiapkan makanan bagi keluarganya. Perhatian ini menumbuhkan rasa dihargai dan diakui di antara anggota keluarga, yang pada gilirannya memperkuat ikatan emosional dan mengurangi potensi konflik. Ini juga menciptakan suasana keluarga yang harmonis di mana setiap anggota merasa aman dan dicintai.

6. Saling Menciptakan Suasana Menyenangkan

Menciptakan suasana menyenangkan dalam keluarga berarti berusaha membuat lingkungan rumah penuh dengan kegembiraan dan kehangatan. Allah SWT berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
(QS. الحجرات: 10)
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.”

Rasulullah SAW juga mengajarkan pentingnya menciptakan suasana yang menyenangkan di rumah. Beliau selalu menyambut keluarganya dengan senyuman dan kebaikan, bahkan dalam hal-hal kecil.

تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ (
رواه الترمذي)

“Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah bagimu.”
(HR. Tirmidzi)

Suasana yang menyenangkan dalam keluarga tidak hanya tentang menghindari konflik, tetapi juga tentang aktif menciptakan momen-momen kebahagiaan bersama. Ini bisa berupa aktivitas sederhana seperti bermain bersama, mengadakan piknik keluarga, atau bahkan bercerita dan bercanda bersama. Suasana positif ini membantu mengurangi stres dan tekanan yang mungkin dirasakan oleh anggota keluarga, baik karena pekerjaan, sekolah, atau masalah pribadi. Ketika suasana rumah dipenuhi dengan keceriaan dan kehangatan, anggota keluarga akan lebih mudah berkomunikasi, bekerja sama, dan mendukung satu sama lain. Ini juga membantu dalam menumbuhkan rasa memiliki dan kebanggaan terhadap keluarga.

7.Menerima Kelebihan dan Kekurangan Anggota Keluarga

Penerimaan terhadap kelebihan dan kekurangan adalah aspek penting dalam membangun keluarga harmonis. Allah SWT berfirman:

لَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ
(QS. الحجرات: 11)
“Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah memanggil dengan gelaran-gelaran yang buruk. Seburuk-buruk nama ialah (nama) fasik sesudah iman.”

Rasulullah SAW mencontohkan sikap menerima terhadap kekurangan orang lain. Beliau selalu bersikap sabar dan penuh kasih sayang terhadap para sahabat dan keluarganya.

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
(رواه الترمذي)
“Setiap anak Adam adalah pembuat kesalahan, dan sebaik-baik pembuat kesalahan adalah mereka yang bertaubat.”
(HR. Tirmidzi)

Menerima kelebihan dan kekurangan anggota keluarga adalah cerminan dari rasa syukur dan sikap rendah hati. Ini berarti mengakui bahwa setiap individu memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing dan tidak ada yang sempurna. Sikap ini membantu mengurangi ekspektasi yang tidak realistis dan mencegah kekecewaan yang berlebihan. Dalam prakteknya, ini bisa berarti mengakui dan menghargai upaya dan prestasi kecil anggota keluarga serta memberikan dukungan ketika mereka mengalami kesulitan atau kegagalan. Penerimaan ini juga menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan pribadi dan pengembangan diri setiap anggota keluarga.

8.Menghindari Sikap Egois dan Emosional

Sikap egois dan emosional dapat merusak keharmonisan keluarga. Allah SWT berfirman:

فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا ۚ أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
(QS. النور: 22)
“Maka maafkanlah dan berlapang dadalah. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Rasulullah SAW mengajarkan pentingnya mengendalikan emosi dan bersikap sabar. Beliau bersabda:

مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ
(رواه الترمذي)
“Barangsiapa yang menahan amarah padahal ia mampu untuk meluapkannya, maka Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan seluruh makhluk, hingga Dia memberinya pilihan bidadari yang ia kehendaki.”
(HR. Tirmidzi)

Menghindari sikap egois dan emosional dalam keluarga adalah kunci untuk menciptakan lingkungan yang harmonis dan saling mendukung. Egoisme dan emosi yang tidak terkendali dapat menyebabkan konflik yang merusak hubungan keluarga. Mengendalikan emosi berarti tidak bereaksi secara impulsif terhadap situasi yang menegangkan dan selalu berusaha untuk bersikap tenang. Ini dapat dicapai dengan introspeksi diri, mengingat bahwa setiap anggota keluarga memiliki hak untuk didengar dan dihargai, dan mencari solusi yang menguntungkan semua pihak. Sikap sabar dan pemaaf, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, membantu dalam mengatasi perbedaan pendapat dan ketegangan, sehingga menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga.

9.Mengedepankan Nilai-nilai Agama

Nilai-nilai agama memberikan pedoman yang jelas dalam membangun keluarga yang harmonis. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
(QS. التحريم: 6)
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”

Rasulullah SAW selalu menekankan pentingnya membimbing keluarga dalam hal agama. Beliau bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
(رواه البخاري ومسلم)
“Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Mengedepankan nilai-nilai agama dalam kehidupan keluarga menciptakan landasan moral dan spiritual yang kuat. Nilai-nilai ini memberikan panduan tentang bagaimana bersikap satu sama lain, menyelesaikan konflik, dan menjalani kehidupan sehari-hari. Keluarga yang berpegang teguh pada ajaran agama cenderung memiliki kedamaian batin dan kebersamaan yang lebih kuat karena mereka berbagi nilai-nilai dan tujuan yang sama. Pendidikan agama dalam keluarga tidak hanya mencakup pengetahuan tentang ritual ibadah, tetapi juga tentang akhlak, etika, dan cara berinteraksi dengan sesama. Keluarga yang mengutamakan nilai-nilai agama biasanya lebih mampu menghadapi cobaan dan tantangan dengan penuh keyakinan dan kesabaran.

Kesimpulan

Membangun keluarga yang harmonis dalam perspektif Islam memerlukan komitmen dari setiap anggota keluarga untuk mengamalkan nilai-nilai kejujuran, komunikasi efektif, kebersamaan, kebijaksanaan, perhatian, suasana menyenangkan, penerimaan, penghindaran sikap egois dan emosional, serta mengedepankan nilai-nilai agama. Dengan berpegang pada prinsip-prinsip ini, keluarga dapat menjadi unit yang kokoh dan harmonis, yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlindung fisik tetapi juga sebagai sumber kasih sayang dan dukungan moral.

Implikasi dan Rekomendasi:

1.Pendidikan Agama yang Mendalam:
Anggota keluarga harus dididik tentang pentingnya nilai-nilai agama dan bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ini bisa dilakukan melalui pengajian rutin, membaca Al-Qur’an bersama, dan berdiskusi tentang hadits serta kisah-kisah para sahabat.

2.Komunikasi yang Terbuka:
Setiap anggota keluarga harus merasa nyaman untuk berbicara dan mendengarkan satu sama lain tanpa takut dihakimi. Mengadakan waktu khusus untuk berbicara dan mendiskusikan berbagai hal dapat membantu mempererat ikatan keluarga.

3.Aktivitas Kebersamaan:
Mengadakan kegiatan keluarga yang menyenangkan dan mempererat, seperti olahraga bersama, berlibur, atau sekadar makan malam bersama secara rutin.

4.Pengembangan Sikap Bijaksana:
Mengajarkan anggota keluarga, terutama anak-anak, tentang pentingnya bersikap tenang dan bijaksana dalam menghadapi masalah. Ini bisa dilakukan melalui contoh nyata dan bimbingan dalam situasi nyata.

5.Penerimaan dan Dukungan:
Mengajarkan pentingnya menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing anggota keluarga serta memberikan dukungan dalam setiap keadaan, baik suka maupun duka.

6.Menghindari Sikap Egois:
Mengingatkan diri sendiri dan anggota keluarga lainnya untuk selalu mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan mengendalikan emosi dalam berbagai situasi.

Dengan menerapkan langkah-langkah ini, diharapkan keluarga muslim dapat mencapai kehidupan yang harmonis, damai, dan penuh berkah sesuai dengan ajaran Islam.

SEMOGA BERMANFAAT????

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.