Oleh : Prof. Dr. Warsono, M.S.
Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa, salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal tersebut dimaksudkan bukan hanya membuat bangsa Indonesia pandai dan bersekolah, karena pada saat kemerdekaan diproklamasikan, jumlah penduduk yang buta huruf masih banyak. Pada saat itu, hanya segelitir orang yang bisa mengenyam pendidikan apalagi sampai ke perguruan tinggi.
Namun yang dimaksud dengan mencerdaskan kehidupan bangsa tentu mengarah kepada bangsa yang rasional dalam menghadapi permasalahan. Indonesia yang dibangun atas dasar kemajemukan, membutuhkan kecerdasan dalam menghadapi perbedaan, agar tidak terjadi konflik sosial maupun politik yang bisa membahayakan kelangsungan bangsa dan negara.
Orang yang cerdas dengan orang yang pandai tentu berbeda. Orang yang pandai adalah orang yang bisa menjawab atau menyelesaikan soal yang diujikan. Orang yang cerdas adalah orang yang bukan hanya mampu menyelesaikan permasalahan, tetapi juga mampu mengidentifikasi akar masalahnya dan memberi solusi yang tepat. Hal ini berarti orang yang cerdas akan mengedepankan nalar yang sehat daripada sikap yang subyektif dan emosional.
Riuhnya wacana hak angket pasca pemilu 14 Februari 2024, menguji kecerdasan kita sebagai bangsa. Bahkan tuntutan untuk memakzulkan presiden yang disuarakan oleh sebagian masyarakat menjadi pembelajaran untuk dikaji secara rasional dan objektif, agar bangsa ini tidak terjebak dalam pusaran ketidakcerdasan dalam kehidupan berbangsa.
Ketika kita belajar matematika di sekolah, dikenalkan segiempat sebagai bentuk bidang datar terdapat garis yang menghubungkan antar sudut yang berhadapan. Garis tersebut disebut garis diagonal. Secara logika kedua sudut yang dihubungkan oleh garis diagonal bersifat kontradiktif, yang saling bertentangan.
Secara logika dua hal yang kontradiktif adalah hal yang tidak mungkin keduanya benar atau keduanya salah. Keduanya saling menyalahkan, kebenaran yang satu menyalahkan yang lain atau sebaliknya kesalahan yang satu membenarkan lainnya. Prinsip yang diajarkan dengan logika tersebut adalah jika ada dua pendapat yang saling bertentangan, tidak mungkin keduanya benar atau salah keduanya. Salah satu harus benar atau harus ada yang salah.
Jika ada dua pendapat yang kontradiktif, yang harus dilakukan adalah bertanya mana yang benar?. Untuk menunjukkan mana yang benar dilakukan dengan membuktikan bahwa, lawannya salah. Kesalahan tersebut harus dibuktikan dengan fakta. Dengan demikian, faktalah yang akan menjadi hakim untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah.
Dalam praktik, apalagi dalam ranah politik, metode berpikir diagonalistik seringkali berubah menjadi sikap, karena tidak melalui proses mempertanyakan yang mana yang benar. Namun langsung menyalahkan lawan, sebagai cara untuk membenarkan dirinya. Fakta ditempatkan pada bagian akhir, atau kadang tidak dijadikan sebagai rujukan dalam menentukan benar salahnya.
Sikap diagonalistik menjadi cara pandang sebagian masyarakat dalam menyikapi hasil pemilu baik pemilihan presiden maupun anggota legislatif. Sikap menyalahkan lawan atau orang lain banyak bermunculan di media sosial. Kondisi seperti ini tentu bisa membingungkan masyarakat.
Hal yang sama juga terjadi dalam metode berpikir lainnya yaitu skeptifisme (keraguan). Dalam dunia akademik, keraguan merupakan metode. Metode ini mengajarkan bahwa, kita tidak boleh mudah percaya terhadap suatu pernyataan sebagai hal yang benar maupun salah.
Jika ada suatu pernyataan maka kita harus meragukan kebenarannya. Begitu juga suatu pernyataan yang dianggap salah sekalipun kita harus bersikap kritis dengan mempertanyakan apakah benar bahwa, pernyataan tersebut benar-benar salah.
Metode keraguan ini juga berlaku terhadap pendapat kita sendiri. Bagi seorang akademisi, pendapat sendiripun harus diragukan. Jika mereka menyatakan suatu pendapat, harus terbuka untuk dikritisi. Seandainya pendapatnya terbukti salah, harus mau menerima dan mengakui kesalahannya.
Etika yang harus dipegang oleh seorang akademisi dalam menyampaikan pendapat adalah “Tolong pendapat saya dikritisi, mungkin ada yang salah”. Bukan ini pendapat saya dan harus diterima sebagai kebenaran.
Oleh karena itu, di dunia akademik perdebatan merupakan hal yang biasa dilakukan. Semua perdebatan tersebut dimaksudkan untuk membuktikan dan mencari kebenaran dengan menjadikan fakta dan logika sebagai acuannya.
Metode keraguan ini juga sering bergeser menjadi sikap yang subjektif dalam dunia politik.
Keraguan bukan menjadi metode untuk mencari kebenaran, tetapi menjadi sikap untuk menyalahkan yang lain dan membenarkan pendapatnya sendiri. Orang mudah menganggap bahwa, yang lain salah dan pendapatnya sendiri yang benar tanpa disertai dengan fakta dan logika yang menjadi dasar kebenaran.
Dalam berpikir induktif, memang bertolak dari data, namun kesimpulan penalaran induktif tidak pasti benar. Penalaran induktif hanya mengantarkan untuk menyatakan bahwa, kesimpulannya didukung dengan data yang kuat, namun tingkat kebenarannya tidak akan seratus persen (dalam arti pasti benar).
Dalam pergulatan antara sikap (subjektifitas) dan rasionalitas (logika) memunculkan pertanyaan mana yang seharusnya menjadi pembimbing, Apakah rasionalitas yang membimbing sikap, atau rasionalitas digunakan untuk membenarkan sikap.
Dampak dari dua hubungan tersebut sangat berbeda. Rasionalitas yang digunakan untuk membenarkan sikap seringkali kehilangan daya objektivitasnya, apalagi tanpa didukung dengan data dan fakta yang kuat. Hal inilah yang seringkali memicu terjadinya konflik politik.
Namun jika rasionalitas yang dijadikan dasar untuk bersikap, setidaknya akan lebih objektif, karena ada tahapan dan metode untuk menguji suatu kebenaran. Dengan demikian, sikap yang muncul tidak bersifat emosional, tetapi lebih rasional.
Sebagai negara demokrasi, setiap orang memiliki hak dan kebebasan untuk berpendapat, termasuk dalam mensikapi hasil pemilu. Namun pendapat yang disampaikan secara emosional apalagi tanpa didukung data, bisa menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Apapun hasil pemilu sebagai proses demokrasi harus kita sikapi secara bijaksana, dan sekaligus sebagai pembelajaran dalam kehidupan berbangsa. Apa yang kurang kita perbaiki. dan apa yang sudah baik terus dilanjutkan untuk lima tahun berikutnya.
*Penulis adalah Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur periode 2022-2026, Ketua II Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (PP ISPI) periode 2014-2019, dan Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) periode 2014-2018, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Unesa, dan Ketua Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) Cabang Jawa Timur.