Bang Ridwan Pamit Balik ke Haribaan-Nya

Tepat saat warga Kristiani merayakan hari besar natal (kelahiran), Bang Ridwan kembali untuk selamanya. Memang sudah beredar kabar sebelumnya bahwa beliau jatuh sakit dengan pecah pembuluh darah. Rupanya, tidak berselang lama, sakit itu membawanya kembali kepada Sang Khaliq.

Mengenang Bang Ridwan, atau kini ngetop dengan julukan Babe Ridwan, tidak lepas dari tiga area bahas: Islam, Betawi dan HMI. Ketiganya melekat pada dirinya. Baik dari aspek sejarah, dinamika, politik dan kebudayaan.

Bacaan Lainnya

Jauh sebelum tenar budaya podcast di internet, tepatnya Youtube, sebenarnya almarhum merupakan seorang artikulator gagasan yang sangat subur. Tulisannya menyebar di berbagai majalah (Panji Masyarakat, Tempo, Kiblat, dll), koran (Kompas, Republika, dll) dan buku-buku, baik atas buku sendiri maupun kumpulan dari berbagai penulis.

Sentuhan tulisannya sangat memikat, jenaka dan bermutu intelek tinggi. Dia hanya bisa diimbangi oleh penulis, esais dan kolomnis dari sesama Betawi pula, yaitu Mahbub Djunaidi. Rupanya baik melalui saluran tulisan maupun lisan, kedua-keduanya dia kuasai dengan sangat lancar, terkendali dan artikulatif. Beberapa intelektual gagal menggabungkan dua kemampuan komunikasi itu secara sekaligus.

Suatu ketika beberapa waktu lalu di Islamic Center Bekasi, dia menjadi pembicara bersama dengan Amien Rais mengenai topik figur KH. Noer Alie. Tentu dia punya kenangan dengan sosok ulama besar itu. Cuma yang menggelitik adalah celetukan Amien Rais tentang Bang Ridwan sendiri. Kata Pak Amien, “Saya itu suka lihat tertawanya Ridwan Saidi di Youtube.” Kontan Bang Ridwan tersipu dengan sikap wajah menahan diri.

Memang hampir di setiap tayangan, baik di ILC TVONE asuhan Karni Ilyas maupun podcast akun Youtube Macan Idealis, dll, Bang Ridwan mewarnai interviewnya dengan tertawa lepas berderai-derai. Biasanya tertawanya itu semacam sindiran, jawaban atas misteri yang ditanyakan, atau olok-olok atas kenaifan dan kepandiran yang telah lama berjalan. Jadi tertawanya itu untuk mengejek jalannya suatu kebodohan yang mapan, tapi jarang digugat. Pada momen tertawa berderai-derai itu, seolah Bang Ridwan melepaskan kegeramannya yang telah lama mengendap atas suatu topik yang diangkat.

Tak ada hari ini yang bisa tertawa semacam itu. Dan publik Indonesia dan Malaysia akan lama kehilangan intelektual yang jenaka dan kritis.

Bang Ridwan merupakan sosok yang konsisten dan konsekwen dengan anutan agamanya sebagai Muslim, latar primordialnya sebagai Betawi dan latar penempaan jati dirinya sebagai HMI. Dia sayangi erat ketiga lapis yang membentuk dirinya sebagai Ridwan Saidi yang kita kenal. Tentang Islam, dia banyak menulis tentang hal itu, terutama terkait sejarah politik Islam di Indonesia.

Pada waktu mencorongnya generasi baru intelektual muslim, seperti Cak Nur, Gus Dur, Amien Rais, Dawam Rahardjo, Djohan Efendi, dll, Ridwan Saidi hadir dan memberi corak di generasi itu. Dia memang berbeda jalan pikiran dengan Cak Nur.

Dia sebenarnya konsisten dengan warna pemikiran keislaman M. Natsir. Dia menentang sekularisasi Islam seperti yang didorong oleh Cak Nur. Dia sayang dengan umat Islam sebagai golongan politik tersendiri di antara golongan-golongan politik yang membentuk Indonesia modern. Dia tidak mau golongan politik berbasis Islam ini ternetralisir dan akhirnya lenyap.

Adapun soal kebudayaan Betawi beliau banyak menulis tentang hal itu, termasuk kamus betawi. Sedangkan soal HMI, tentu juga banyak. Salah satu buku tentang HMI yang belum tersiar secara publik, ada beliau titipkan ke penulis. Memang seperti gaya beliau yang sering menabrak arus, isi buku itu agak mengagetkan.

‘Ala kulli hal, penulis memiliki kesan terhadap Bang Ridwan, tetap seorang yang baik, memiliki semangat untuk mendidik, dan berselera humor yang tinggi.

Penulis, Syahrul Effendi Dasopang, kader Almarhum

Pos terkait