JAKARTA – Pemerintah dinilai melakukan pelanggaran terhadap konstitusi bila menerapkan pajak kepada lembaga pendidikan. Padahal undang-undang telah menyatakan bahwa pendidikan adalah lembaga non profit. Demikian disampaikan Ketua Majelis Pendidikan Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah Ridwan Tanjung pada Senin, 14 Juni 2021 di Jakarta.
Dijelaskannya, di dalam undang-undang sangat tegas tentang kewajiban pemerintah pada bidang pendidikan. Setidaknya menurut Ridwan ada tiga kewajiban pemerintah terhadap dunia pendidikan. Pertama, pemerintah wajib menyediakan anggaran sebesar 20% dari APBN dan APBD untuk pendidikan dan itu di luar gaji pegawai.
“Kedua, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi,” kata Ketua Majelis Pendidikan Al Washliyah itu.
Selanjutnya kewajiban ketiga yaitu Program Wajib Belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
Pemerintah menurutnya telah mengajukan perubahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. “Selain rencana menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 12%, rupanya pemerintah mengusulkan pengenaan PPN untuk pendidikan dan Sembako,” ungkap Ridwan.
Dijelaskannya, PPN adalah pajak yang dikenakan pada setiap transaksi jual beli barang atau jasa. “Ini artinya pendidikan sudah dikatagorikan sebagai jasa berorientasi profit. Sementara undang-undang menyebutkan bahwa pendidikan adalah lembaga nirlaba,” terang pria yang konsen terhadap pendidikan tersebut.
Seharusnya menurut Ridwan Tanjung, pemerintah memberikan kemudahan dan tidak membebani penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan oleh masyarakat (swasta). Masyarakat sebenarnya telah berperan besar dalam penyelenggaraan pendidikan. Banyak lembaga pendidikan yang didirikan masyarakat dan sesungguhnya hal itu telah membantu pekerjaan pemerintah.
Data menunjukkan bahwa dari 435.742 lembaga pendidikan (mulai dari TK, SKB, Pendidikan Dasar sampai Pendidikan Menengah), tidak kurang 60% penyelenggaranya adalah masyarakat. Dari 41.331 SMP, sebanyak 42,50% adalah swasta, dari 14.045 SMA, sebanyak 50,72% adalah swasta, dari 14.344 SMK sebanyak 74,50% adalah swasta. Data tersebut diperoleh Ridwan dari Data Pokok Pendidikan Dasar dan Menengah (Dapodikdasmen) Kemendikbud tahun 2020-2021.
Menurut Ridwan, jangan sampai karena potensi yang besar tersebut membuat pemerintah tergiur untuk menarik pajak dari pendidikan. “Apakah karena besarnya jumlah yang diselenggarakan masyakarat, yang berarti jumlah peserta didiknya banyak, lantas menjadi alasan untuk mengenakan PPN. Jangan hanya ingin mencari gampangnya mengisi kas pendapatan negara. Sungguh sangat tidak adil, dan bertentangan dengan konstitusi,” ungkapnya lagi.
Lebih lanjut dikatakan Ridwan, kalau Lembaga Pendidikan dikenakan PPN, artinya dana 20% dari APBN dan APBD itu pun boleh dibilang diambil dari “kekayaan”, yang dikutip dari Lembaga Pendidikan. Hal ini menjadi dagelan, karena akhirnya belanja pendidikan 20% itu sebagian adalah dari PPN Pendidikan.
Beliau meminta kepada lembaga perwakil rakyat untuk bertindak dan menolak usul mengenai pajak untuk pendidikan. “DPR harus mendedikasikan dirinya betul-betul berpihak kepada masyarakat, menolak untuk mengenakan PPN pada penyelenggara pendidikan,” tutup Ketua MP PB Al Washliyah itu. (Rz)