JAKARTA – Pengacara Saleh Hidayat mendampingi para penambang rakyat membacakan Pledoi dalam sidang perkara Nomor 365 dan 366/Pid.Sus/2022/PN. Cdk, Senin, (6/2/2023). Saleh Hidayat merupakan advokat pada kantor Hukum Lembaga Bantuan Hukum Damar Keadilan Rakyat (LBH DKR) yang beralamat di Kp. Cisande Kec. Cicantayan Kab. Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.
Menurut Kuasa Hukum Saleh Hidayat yang bertindak berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 05 Desember 2022, yang telah memenuhi persyaratan menurut hukum dan telah terdaftar dalam register Perkara Pidana Khusus Pertambangan dan bertindak mewakili ke 6 penambang yaitu Saudara Fitriansyah, UCI, Ganjar, Junaedi, Saepudin dan Cecep Taryana.
“Setelah melihat dan mempelajari isi dakwaan dan tuntutan dari JPU mereka telah keliru dalam menafsirkan dan menetapkan pasal 158 UU RI No. 3 Tahun 2020 Tentang perubahan atas UU RI No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,” ujarnya.
Kekeliruan Jaksa Penuntut Umum tersebut, kata Saleh Hidayat, terlihat jelas dalam uraian halaman 20, dimana JPU menyatakan bahwa berdasarkan pasal 35 ayat (3) huruf c dan Huruf g UU RI No 03 Tahun 2020 Perubahan atas undang-Undang No 4 tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dijelaskan Usaha Penambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat,sebagaimana ayat (2) huruf c terdiri atas : IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/ perjanjian dan izin pengangkutan dan penjualan.
Selanjutnya pada pasal 104 ayat (1) dan ayat (2) UU RI no 3 tahun 2020 Perubahan atas undang-Undang No 4 tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dijelaskan perubahan pemegang IUP dan IUPK pada tahap kegiatan operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 103 dapat melakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian sendiri secara terintegrasi atau bekerja atau bekerja sama dengan pemegang IUP dan IUPK lain.
Dalam Pledoi, Saleh Hidayat menelanjangi JPU sekaligus membantah surat Jaksa Penuntut Umum yang menyatakan para terdakwa dalam hal melakukan kegiatan penambangan tersebut tidak mempunyai Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan Izin Usaha Pertambangan Rakyat (IPR), Operasi Produksi, Izin Perdagangan ataupun legalitas lainnya.
Padahal, Saleh menambahkan, izin Pertambangan Rakyat (IPR) adalah suatu usaha pertambangan rakyat dalam suatu wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dimana WPR merupakan suatu wilayah pertambangan (WP) sesuai dengan tata ruang nasional ( Pasal 1 angka 32 UU RI No. 4 tahun 2009 Tentang Minerba ) penambangan rakyat hanya boleh dilakukan dalam WPR (Tidak boleh dalam WIUP atau WPN), kegiatan penambangan rakyat tidak boleh dilakukan dalam Wilayah Pertambangan Negara (WPN). Dan IPR diperuntukkan bagi orang perseorangan dan/atau badan hukum Koperasi.
Bagi Saleh, artinya JPU tidak paham tentang regulasi pertambangan rakyat. Apabila, sambungnya, diilustrasikan atau dianalogikan perbedaan IUP, IUPK dan IPR dengan izin mengemudi atau berkendara SIM A untuk kendaraan mobil kecil roda empat, sementara IUP seperti SIM B.1 adalah izin mengemudi atau berkendara mobil jenis roda enam atau roda besar, dan IUPK adalah SIM B.2 izin mengemudi kendaraan roda besar dan berat. Para terdakwa, lanjutnya, dinyatakan bersalah pada saat mengandarai atau mengemudikan mobil roda empat pada saat terjadi operasi lalu lintas, oleh karena tidak memiliki dan membawa B.1 dan SIM B.2 akan tetapi hanya membawa SIM A.
Untuk itu, ia pun meminta majelis Hakim agar dapat memutus perkara ini dengan adil dengan mengutip kata – kata Nabi Muhammad SAW “Menghukum dalam keraguan adalah dosa” dan disini hukum juga dikenal dalam keadaan “In Dobio Pro Reo” adalah jika terjadi keragu-raguan apakah terdakwa salah atau tidak maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi terdakwa.
“Demi keadilan meminta hakim untuk mengadili dan memutus dengan putusan menyatakan para terdakwa bebas dari segala dakwaan dan tuntutan,” pungkasnya.