Oleh : M.Hatta Taliwang, Anggota DPR MPR RI 1999-2004, Aktivis.
SALAH FAHAM KESATU : Ada yang berpendapat AKAN LAHIR REZIM OTORITER/ REZIM MILITER LAGI, seperti Era Soekarno atau Era Soeharto.
Di fasal mana UUD45 yg memberi hak istimewa militer bisa berkuasa? Apalagi militer sekarang sdh di atur dg UU No 34/ 2004.
Dulu era informasi tertutup dan terbatas sehingga kekuasaan bisa mengatur sesukanya karena mereka mendominasi Informasi. Sekarang era serba terbuka mana bisa sembarangan mengatur kekuasaan suka suka atau berdasar selera. Bagaimana rezim sekarang dibully pada setiap kebijakan suka suka karena rakyat sekarang melek informasi.
Sekarang militer sulit mendominasi praktik politik seperti di era Orde Baru setelah *kekaryaan organik dan non-organik* dihapus dalam pengisian jabatan politik, pemerintahan, dan administrasi.
Kalau soal otoriter apakah rezim sekarang yang menggunakan UUD 2002
tidak kurang otoriternya?
SALAH FAHAM KEDUA. Banyak yang tidak tahu sehingga salah faham bahwa kami para pejuang kembali ke UUD45 mensyaratkan sebelum kembali, *harus ada kesepakatan bahwa saat kembali harus diadendum pasal tentang masa jabatan Presiden*.
Masa jabatan Presiden langsung ditegaskan hanya boleh maksimal 2×5 tahun alias dua periode. Makanya kami introdusir istilah Kembali ke UUD45 Untuk Disempurnakan.
SALAH FAHAM KETIGA.
Bahwa ada yang berpikir *bila kembali ke UUD45 maka Jokowi bisa berkuasa terus dan bisa memperpanjang masa jabatan sesukanya seperti era Soeharto*.
Yang perlu ditegaskan ketika Kembali ke UUD45 itu yang berkuasa disaat peralihan itu langsung MPR RI sbg Lembaga Tertinggi negara penjelmaaan rakyat. Kendali kekuasaan kira kira seperti era peralihan kekuasan dari Soekarno ke Soeharto dimana MPRS saat itu dipimpin Jen AH Nasution sangat berkuasa hingga bisa memberhentikan Presiden Soekarno dan melantik Presiden Soeharto.
Jadi peran Presiden Jokowi saat peralihan itu ( bila UUD45 berlaku saat Jokowi sedang berkuasa) langsung tunduk pd MPR RI.
MPR saat itu langsung mengurus pengisian anggota Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Mungkin memerintahkan Presiden melakukan Pemilu Legislatif utk mendapatkan anggota DPR baru. Tentu UU Pemilu di perbaiki dan rakyat bebas membuat partai baru dll seperti era peralihan dari Orba ke era Reformasi.
Jadi tak ada cerita UUD45 akan digunakan Jokowi utk perpanjang masa jabatan.
SALAH FAHAM KEEMPAT :
*CARA BERKUASA SOEKARNO DAN SOEHARTO SELALU JADI CONTOH KEBURUKAN UUD45*
Pertanyaannya apakah Soekarno saat itu benar telah menjalankan UUD 45 sesuai semangat dan teks UUD 45 ? Bukankah Soekarno menjalankan kekuasaan menurut seleranya yang ingin menerapkan Demokrasi Terpimpin karena itu mendapat kritik dari Bung Hatta dan Liga Demokrasi ?
Adakah dalam teks UUD45 bahwa Ketua Mahkamah Agung dan Ketua MPRS boleh merangkap sebagai Menteri, dan itu dilakukan oleh Soekarno?
Apakah Soeharto saat itu menjalankan UUD 45 sesuai teks dan jiwa UUD45?
Adakah dalam teks UUD45 yg menyebutkan ABRI boleh mengisi jabatan eksekutif, legislatif dan yudikatif ?
Bukankah Petisi 50 dan Gerakan Mahasiswa 77/78 menuduh Soeharto menyimpang dari UUD45?
*Apakah bisa kesalahan atau dosa Penguasa, dilimpahkan pada sistem UUD45 yang sama sekali tidak dilaksanakan dan kalaupun dilaksanakan hanya covernya saja, bukan substansinya?*
Jadi era Soekarno dan Era Soeharto itu bukan wujud dari pelaksanaan UUD45 secara murni dan konsekwen.Hanya sebagai slogan politik saja.
Justru menjadi tugas generasi muda kini untuk mengimplementasikan semangat dan teks UUD45 18 Agustus 1945 atau UUD Proklamasi.
SALAH FAHAM KELIMA :
*DALAM SISTEM UUD 45 TIDAK TERJADI CHECK AND BALANCES*
Lha dengan sistem UUD2002 ini memang nya terjadi check and balance ? Toh bisa diselewengkan misalnya dengan Perpu 1/2020 menjadi UU/2020 hak budget DPR disunat sehingga DPR menjadi bebek pilek. Belum lagi lewat tekanan ke Pimpinan Partai( karena sebagian Ketumnya tersandera kasus) suka tidak suka membentuk koalisi gemuk. Lalu check and balance yg dibanggakan itu dimana?
Refly Harun menganggap bahwa UUD 45 itu otoriter karena tak ada check and balance dan telah terbukti 2 Presiden bisa dijatuhkan oleh MPR RI.
Lha terhadap Presiden yg diduga telah melakukan pelanggaran UUD 45 lalu di proses, lalu terbukti bersalah kemudian dihukum dan diberhentikan oleh MPR RI apakah salah dan tak boleh ? Bukankah kekuasaan itu ada sistem reward dan punishment?
Pembela UUD 2002 selalu membanggakan check and balance dlm kekuasaan. Karena check and balance itu berdasarkan hukum permintaan dan penawaran yg dlm ekonomi disebut persaingan bebas. Persaingan yg akan membentuk keseimbangan.Padahal faktanya persaingan itu melahirkan dominasi, bukan keseimbangan.
Saya kutip Salamuddin Daeng :
“UUD Amandemen itu memang berdasar prinsip check and balance. Atas dasar itulah membagi cabang cabang kekuasaan secara setara satu dengan lainnya. Masing masing cabang kekuasaan dlm prakteknya memperjuangkan kepentingan sendiri sendiri, berusaha memperbesar kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan agar tidak diambil yang lain. Terjadi pertarungan internal. Dalam rangka apa? Dalam rangka kekuasaan semata. Kekuasaan mengabdi pada siapa ? Ya pada pribadi, keluarga dan golongan semata.”
*Perhatikan prilaku kekuasaan dan aktor kekuasaan era reformasi . Ribut demi negara atau ribut demi diri dan kelompoknya ?*
SALAH FAHAM KEENAM
*PILPRES LEWAT MPR RI ITU LEBIH MURAH BIAYA NYOGOKNYA*.
Lha penyogokan rakyat secara massif dlm sistem Pilpres langsung jauh lebih luas dan massif daya rusaknya terhadap mental dan moral rakyat. Kerusakan moral dan mental di Senayan terbatas pada elitnya.
Tetapi untuk Pilpres via MPR bisa dilakukan pencegahan.
Saya telah menulis soal ini dg rinci dg judul KEBAIKAN PILPRES LANGSUNG LEWAT SISTEM PERWAKILAN MUSYAWSRAH DI MPR. Lampiran 1.
SALAH FAHAM KETUJUH
*PEMILIHAN LEWAT MPR ITU TIDAK DEMOKRATIS KARENA RAKYAT LUAS TIDAK TERLIBAT*
Coba lihat data hasil Pilpres langsung ini :
*Pilpres 2014.*
Jokowi 37,30%.
Prabowo 32,88%
Golput dll 29,81%
*Pilpres 2019*
Jokowi 42,80%
Prabowo 34,32%
Golput dll 22,86%
Kan klo pakai rumus menang secara demokratis harusnya 50+1.
Nyatanya Jokowi menang 2 x masing2 37, 30% dan 42, 80%. Dua kali menang suaranya dibawa 50 % Pemilih.
Artinya mengacu ke rumus menang secara demokratis tidak tercapai sehingga kami menyebutnya ini hasil *legal tapi tidak legitimatif*
Apa bedanya dengan Pilpres sistem Perwakilan dan Musyawarah di MPR RI yg dianggap kurang demokratis namun hasilnya bisa terpilih Presiden yg lbh berkualitas karena ada faktor UTUSAN GOLONGAN yg bisa jadi “penyaring capres”?.Bukankah demokrasi itu cuma alat ? Bukan demokrasi ala Pancasila Sila ke IV itu bagus dan Musyawarah itu sesuai tradisi bangsa kita?
Jakarta, 12 Februari 2023.
*) KRITIK DAN SARAN SAMPAIKAN LANGSUNG KE 0818714823 KARENA TIDAK SEMUA GRUP WA TERPANTAU.