Kini kita bisa apa? Rakyat yang menjual kelaminnya hanya mencontoh presiden yang menjual negaranya dan agamawan yang menjual tuhannya.
KETIGANYA SAMA: PELACUR#
Jika semua sudah dijual, lalu kalian mau apa, bisa apa dan bagaimana nasib generasi selanjutnya?
Yang ada kini kita surplus pemimpin bertampang pribumi bermental kompeni. Kerjanya memalak teman sendiri. Padahal, selain harapan, manusia bertahan hidup karena kenangan (baik pahit maupun manis).
Lalu, apa yang bisa kita harapkan dan kenangkan pada elite hari ini? Mestinya harapan akan kemakmuran. Juga kenangan akan perlawanan. Ya. Perlawanan yang kini makin padam.
Kawan. Kuteriak duka. Mohon tinggal sejenak. Ya. Sejenak saja. Mari lupakanlah waktu. Hancurkan rindu. Tikam mati kumpeni. Temani jiwa lara kami. Saat kumpeni tumpahkan air mata kami yang tak bersisa lagi. Penuh lukisan duka dan teteskan lara.
Kawan. Mari merajut asa. Bariskan pasukan. Siapkan pemakaman. Tabuh dan jalin mimpi. Tebar ancaman. Dan, endapkan sepi-sepi. Sepanjang zaman. Seluas semesta. Agar atlantis tenang dalam kuburnya. Tukarkan kehangatan di atas kejanggalan dan kekalahan. Sekerasnya. Secerdasnya.
Sayangnya yang ada hanya krisis. Di semua dimensi yang bertabula rasa. Bagai panuh yang tumbuh penuh serakah berbongkah bongkah.
“Kau tahu pangkal krisis? Tanya Prof Paul Krugman suatu kali pada mahasiswanya.”
Adalah, “iman pada pasar yang berlebihan.” Padahal, neoliberalisme itu penyakit kangker. Ia makin lama makin resisten terhadap vaksin sehingga ketika bertamu, kita butuh dosis yang makin tinggi untuk mengusirnya.
Tapi saat bertamu kembali, dampak kerusakan ekonomi negaramu makin dahsyat. Neoliberalism is unstable because it is a financial and accumulating system with yesterday, today n tomorrows (last, now n next) with greedy. They make instability like a normal result.
Dalam krisis yang diulang-ulang, dalam program pelacuran yang digalakkan. Kini kita bukan hanya banjir air tapi juga banjir mentalitas pejabat jadi konglomerat dan kondisi rakyat jadi melarat.
Model pejabat begini sudah lama bangga jadi penjahat. Tetapi, jenis ini tumpah ruah pasca reformasi. Tentu saja, mereka tak terlibat dalam gerakan reformasi tapi menikmati hasilnya sambil lempar tai. Terkutuklah mereka yang nyalip di tikungan! Ya. Terkutuk.
Oleh: Prof DR Yudhie Haryono, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Purwokerto dan Direktur Eksekutif Nusantara Centre