JAKARTA – Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKS Netty Prasetiyani mendukung langkah penetapan tersangka perusahaan farmasi dalam kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GgGAPA). Menurut Politisi Jawa Barat ini, pengusutan kasus GgGAPA harus dituntaskan.
“Pendalaman kasus GgGAPA ini jangan berhenti sampai penetapan tersangka saja. Pengusutan harus dilakukan sampai pada bagaimana sistem pengawasan pemerintah terhadap peredaran obat selama ini?” kata Netty dalam keterangan medianya, Sabtu, (19/11/2022).
Apalagi, menurut Netty, diduga penyebab GgGAPA adalah bahan baku obat yang tercemar.
“Seharusnya hal ini bisa dicegah sejak awal. Bagaimana pengawasan BPOM terhadap obat yang beredar; apakah pengawasannya belum maksimal karena keterbatasan wewenang, keterbatasan SDM, kelalaian prosedur atau ada kendala apa?,” tanya Netty.
Dalam pandangan Netty, hal-hal tersebut seharusnya dapat dijelaskan oleh BPOM, baik terkait pengawasan pre-market maupun post-marketnya, baik obat yang diproduksi di dalam negeri maupun obat impor.
Mengutip keterangan Bareskrim Polri, Netty mengatakan, perusahaan farmasi yang ditetapkan sebagai tersangka diduga tidak melakukan pengecekan atau quality control atas propilen glikol (PG) yang mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).
“Menurut info yang saya terima, bahan PG yang beredar di Indonesia yang menghasilkan cemaran penyebab gagal ginjal akut, banyak di impor dari China, India, dan Vietnam. Nah, apakah selama ini tidak ada pengecekan dan pengawasan terhadap bahan PG impor tersebut sebelum dan sesudahnya?” tanya Netty.
Oleh sebab itu, anggota DPR RI Daerah Pemilihan Cirebon-Indramayu ini mendukung sepenuhnya pengusutan kasus GgGAPA sampai tuntas.
“Harus diusut hingga ke akar-akarnya. Pihak-pihak yang bertanggung jawab, siapapun itu termasuk BPOM jika memang terbukti harus menerima konsekuensi hukum karena melakukan kelalaian yang menyebabkan ratusan anak Indonesia meninggal dunia,” katanya.
Terakhir, Netty meminta pemerintah agar kasus GgGAPA jangan disederhanakan hanya dengan ‘mengejar’ cemaran EG dan DEG yang terkandung dalam bahan pelarut atau pembuat obat.
“Kasus ini harus menjadi momentum dalam melakukan evaluasi menyeluruh pada tata kelola obat negara kita. Pastikan negara melakukan pengawasan peredaran obat secara bertanggung jawab, dari hulu sampai hilir. Kalau ini dilakukan, tentunya kita tidak panik setiap ada kejadian luar biasa,” katanya.