Oleh : Muhammad Andi Anugrah | Mahasiswa Fakultas Hukum UNRAM
Dalam percakapan panjang antara hukum dan kemanusiaan, kita seringkali diperhadapkan pada pertanyaan klasik: apakah hukum selalu harus menghukum? Ataukah justru hukum yang bijak adalah hukum yang mampu menyembuhkan? Pertanyaan ini menemukan relevansinya saat kita menyimak suatu peristiwa di Lingkungan Montong Sari, Kelurahan Gerung Utara, Kabupaten Lombok Barat. Sebuah kasus kekerasan ringan yang melibatkan dua anak di bawah umur, namun berhasil diselesaikan secara damai dan kekeluargaan.
Perdamaian antara dua belah pihak yang terjadi di wilayah Gerung Utara Lombok Barat. Pada, 20 Juli 2025, mencerminkan suatu upaya rekonsiliasi sosial yang patut diapresiasi dalam bingkai etika dan hukum. Berdasarkan fakta pernyataan, Pihak Pertama telah menerima ganti rugi pengobatan sesuai dengan Kesepakan, kemudian dari Pihak Kedua bersedia mencabut laporan di Unit PPA Polres Lombok Barat. Kedua belah pihak telah saling memaafkan serta bersepakat untuk tidak mengulangi peristiwa tersebut, dengan suatu klausul preventif yang menyatakan: jika kejadian serupa terulang, maka mekanisme hukum akan kembali ditegakkan.
Pun dalam optik hukum progresif, perdamaian semacam ini bukan sekadar penghindaran dari proses hukum formal, melainkan suatu bentuk konkret dari transformasi paradigma keadilan yang berpijak pada pendekatan restoratif, bukan retributif. Hal ini menjadi sangat relevan karena perkara tersebut melibatkan anak-anak di bawah umur, kelompok yang secara yuridis dan sosiologis berhak atas pendekatan yang bersifat melindungi, mendidik, dan memulihkan.
Dalam Keadilan Restoratif: Hukum yang Memulihkan, Bukan Membalas. Kisah ini mengingatkan kita bahwa sistem hukum Indonesia sebenarnya telah membuka ruang luas bagi pendekatan restorative justice. Dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), konsep ini bukan sekadar alternatif, melainkan menjadi kewajiban normatif bagi penegak hukum saat menangani perkara anak. Restoratif bukan berarti anti hukum, tetapi justru adalah cara hukum menemukan kembali wajah kemanusiaannya membantu pelaku bertanggung jawab, memulihkan korban, dan memperbaiki relasi sosial yang sempat rusak.
Secara eksplisit, Pasal 7 ayat (1) UU SPPA menyebutkan bahwa: “Dalam hal anak melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah tujuh tahun dan bukan pengulangan tindak pidana, maka penegak hukum wajib mengupayakan diversi.” yang Artinya, kasus anak tidak boleh serta-merta ditarik ke ruang pengadilan. Harus dicari ruang dialog. Harus diusahakan jalan damai. Harus ditanamkan pendidikan, bukan sekadar pembalasan.
Lex Humaniora: Ketika Hukum Bertemu Etika Sosial, ini menunjukan bahwa, penyelesaian damai antara dua anak ini juga mencerminkan satu hal penting: bahwa hukum tidak bekerja dalam ruang kosong. Ia selalu bersentuhan dengan budaya, nilai lokal, dan nalar kolektif masyarakat. Maka, penyelesaian melalui jalur kekeluargaan di Gerung Utara Kabupaten Lombok Barat, bukanlah bentuk kealpaan hukum, melainkan manifestasi dari lex humaniora hukum yang berakar pada nilai sosial, dan rasa menanamkan rasa keadilan.
Dengan kata lain, hukum yang baik bukanlah yang keras, melainkan yang adaptif terhadap konteks. Seorang anak yang melakukan kekeliruan tidak lantas harus dicap kriminal. Justru, pendekatan kekeluargaan memberi mereka kesempatan untuk tumbuh lebih baik, untuk memahami akibat perbuatannya, dan untuk belajar bertanggung jawab tanpa harus dihancurkan oleh sistem peradilan yang formal dan represif.
Perdamaian ini juga merepresentasikan semangat lokal yang selaras dengan nilai-nilai kearifan komunal bangsa Indonesia bahwa harmoni sosial lebih utama daripada kemenangan sepihak. Dalam tradisi hukum adat, penyelesaian melalui musyawarah dan perdamaian telah lama menjadi instrumen pemulihan relasi sosial. Maka, integrasi nilai-nilai lokal ke dalam praksis hukum positif adalah bagian dari upaya memanusiakan hukum itu sendiri.
Namun, penting digarisbawahi bahwa kesepakatan damai tidak serta-merta meniadakan keberadaan norma hukum formal. Negara tetap berkewajiban memastikan bahwa proses tersebut tidak digunakan untuk menutupi pelanggaran hak asasi, terutama bila terjadi tekanan terhadap salah satu pihak. Oleh karena itu, meskipun damai telah dicapai, legitimasi moral dan legal dari proses tersebut haruslah diuji berdasarkan prinsip kesetaraan, kesukarelaan, dan kepentingan terbaik bagi anak.
Pada akhirnya, kesepakatan ini adalah cermin dari keinsafan hukum dan kebesaran jiwa dua belah pihak. Di tengah iklim hukum yang kerap didominasi oleh formalisme dan retributivisme, perdamaian ini menjadi oase reflektif bahwa hukum sejatinya adalah alat untuk membebaskan, bukan membelenggu; untuk menyembuhkan, bukan melukai. Maka, ketika keadilan dapat dicapai tanpa menjatuhkan martabat kemanusiaan, di situlah hukum mencapai fungsinya yang paling luhur.