Bahlil Lahadalia, GOLKAR Baru, dan Kebangkitan Politik Bottom-Up

Oleh: Muh Arman Alwi |
BSNPG / Sekretaris Eksekutif DPP Partai GOLKAR

Pergantian tongkat estafet kepemimpinan DPP Partai GOLKAR ke tangan Bahlil Lahadalia, yang kini juga menjabat sebagai Menteri ESDM RI, bukan sekadar rotasi struktural. Ia adalah peristiwa budaya, momentum politik, dan sinyal perubahan arah sejarah: bahwa GOLKAR siap kembali ke jalan rakyat, bukan sekadar jalan kekuasaan.

Bahlil adalah manifestasi politik bottom-up yang lahir dari pengalaman riil, bukan teori. Ia memahami bagaimana rasanya menjadi orang kecil yang diabaikan negara. Ia paham bagaimana frustrasi rakyat kecil saat kekuasaan terlalu elitis. Dan kini, dari posisi kekuasaan tertinggi di partai, ia membawa semangat untuk meruntuhkan sekat antara struktur dan akar rumput.

Seperti yang pernah dikatakan Koentjaraningrat, bapak antropologi Indonesia. “Kebudayaan bukanlah warisan masa lalu, melainkan kekuatan hidup yang membentuk masa depan.”

Politik, dalam semangat itu, bukan sekadar alat perebutan kekuasaan, melainkan pantulan budaya kolektif rakyat. Ketika partai politik kehilangan koneksi budaya dengan rakyatnya, ketika ia bicara dalam bahasa yang asing bagi rakyat, ketika ia lebih sibuk dengan manuver elite daripada menjawab keluhan rakyat, petani, buruh, dan nelayan, maka sesungguhnya ia sedang menuju kebangkrutan moral.

Dalam konteks ini, pandangan Achmad Fedyani Saifuddin, Antropogi Universitas Indonesia, menjadi relevan. “Masyarakat kita tengah mengalami krisis representasi. Ketika elite terlalu jauh dari rakyat, maka akan muncul kebutuhan akan figur yang bukan hanya tampil sebagai pemimpin, tapi juga sebagai representasi kolektif identitas dan harapan masyarakat bawah.”

Bahlil menjelma menjadi representasi kolektif itu. Kepemimpinannya adalah respons atas kejenuhan publik terhadap politik yang kehilangan sentuhan manusiawi. Ia hadir bukan hanya dengan otoritas struktural, tapi juga dengan kepekaan kultural terhadap denyut rakyat kecil.

Sebagai Menteri ESDM RI dan Ketua Satgas Hilirisasi, Bahlil membawa paradigma baru dalam pengelolaan kekayaan sumber daya nasional. Ia tidak hanya mendorong investasi, tetapi juga memastikan nilai tambahnya dirasakan oleh rakyat di daerah. Hilirisasi bukan semata proyek ekonomi, tapi proyek pemberdayaan sosial. Ia ingin agar kekayaan tambang tidak hanya memperkaya pusat, tapi menghidupi pinggiran.

Dalam berbagai kesempatan, Bahlil menegaskan bahwa. “Negara harus hadir bukan hanya dalam regulasi, tapi dalam memastikan bahwa kekayaan alam kita mengangkat martabat rakyat kita sendiri.”

Kinerja konkret Bahlil tak luput dari perhatian dan apresiasi Mantan Presiden Joko Widodo, yang secara terbuka menyatakan bahwa. “Bahlil itu pekerja lapangan yang mengerti denyut ekonomi di bawah. Ia tidak hanya duduk di kantor, tapi hadir langsung ke lapangan.”

Dukungan ini juga ditegaskan oleh Presiden Prabowo Subianto, yang menyampaikan bahwa. “Bahlil adalah contoh anak bangsa yang bekerja dengan hati dan visi. Ia memahami pentingnya hilirisasi sebagai jalan kedaulatan ekonomi kita.”

Pernyataan ini memperkuat posisi Bahlil tidak hanya sebagai teknokrat, tetapi sebagai figur strategis dalam lompatan industrialisasi nasional yang pro-rakyat.

Sebagai Ketua Umum DPP Partai GOLKAR, ia membawa spirit yang sama. GOLKAR bukan lagi panggung bagi segelintir elite yang mengatur dari pusat. Ia harus menjadi wadah artikulasi rakyat dari pinggiran, Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, dari pesisir, dari dusun-dusun yang selama ini hanya menjadi objek janji politik.

Sejarawan dan budayawan Sulawesi Selatan, Mattulada, pernah mengingatkan. “Dalam masyarakat Indonesia, pemimpin yang kuat adalah mereka yang tidak hanya punya otoritas struktural, tetapi juga diterima secara kultural oleh komunitasnya.”

Kepemimpinan Bahlil yang tumbuh dari jalanan, dari pinggiran bahkan pernah jadi sopir angkot, dari perjuangan hidup memenuhi syarat itu. Ia bukan hanya “berkuasa”, tapi juga diterima sebagai bagian dari rakyat yang ia wakili. Inilah yang membedakannya dari politik lama yang elitis dan penuh basa basi.

Bahlil adalah jawaban atas kejenuhan publik terhadap politik tua yang usang. Ia simbol dari politik generasi baru, yang tidak melupakan akar, tapi juga tidak takut naik ke panggung nasional.

Kini tantangannya ada di tangan kita semua sebagai rakyat, sebagai manusia yg ber akal dan juga sebagai kader Partai GOLKAR. apakah kita siap mengubah cara kerja atau metodologi partai dari eksklusif menjadi partisipatif? Apakah kita berani mendorong regenerasi sejati, bukan sekadar kosmetik kaderisasi?

Karena seperti kata Koentjaraningrat pula. “Sebuah masyarakat yang tidak mampu memahami kebudayaannya sendiri, akan mudah dikuasai oleh budaya luar yang lebih agresif.”

Begitu pula dengan partai. Jika GOLKAR tidak kembali ke budaya karya kekaryaannya sendiri, maka ia akan tergilas oleh gelombang populisme semu yang hanya menyuarakan kata kata viral tanpa substansi ideologis.

Hari ini kita punya momentum. Kita punya pemimpin. Kita punya peluang. Yang kita butuhkan hanya satu, keberanian untuk berubah.

#SuaraRakyatSuaraGolkar
#GolkarSolidIndonesiaMaju

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *