Bulan ramadhan sudah berlalu. Kemeriahannya juga sudah tertelan hiruk pikuk suasana hari raya idul fitri. Masjid dan musalla kembali sepi. Tidak ada lagi gegap gempita orang solat sunnah setelah solat isya, baik di sepertiga malam pertama, kedua, apalagi ketiga. Tidak juga terdengar lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang ditadaruskan secara kelompok atau pribadi-pribadi. Tidak juga ada kegiatan masif menggalang sedekah atau infak. Itulah gambaran kualitas Islam kita : “Islam rame”.
Padahal kalau kita menengok kepada tujuan disyariatkannya puasa, sudah jelas, supaya kita bertaqwa. Apa itu taqwa ? Melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan Allah SWT. Pertanyaannya, “apakah setelah bulan ramadhan ini kita tetap menjalankan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Jawabannya tentu kembali kepada diri masing-masing. Cuma kalau kita melihat fenomena sepi atau belum terlalu ramainya masjid atau musalla, rasanya saya jadi ragu kita ada dalam rel “keistiqomahan” dalam beribadah. Mungkin ada yang berkilah, “karena masih banyak yang pulang kampung”. Bisa jadi juga.
Tentang anti klimaks kesungguhan orang beribadah setelah ramadhan sebenarnya sudah diprediksi dan diantisipasi oleh Rasulullah SAW dengan haditsnya : ” Barang siapa yang berpuasa di bulan ramadhan, kemudian dia menyambungnya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka seolah-selah dia berpuasa selama satu tahun “.
Implisit hadits ini sebagai anjuran untuk menjaga kontiunitas ibadah yang banyak dilakukan di bulan ramadhan. Kenapa hanya puasa syawal saja yang disebut, tidak yang lainnya ? Karena puasa itu bisa dilakukan di luar bulan ramadhan. Bila dilakukan di luar bulan ramadhan, terhitung puasa sunnah. Sementara salat tarawih, khusus hanya di bulan ramadhan. Tapi salat-salat sunnah bisa juga dilakukan di luar bulan ramadhan. Pesan utamanya adalah keberlanjutan ibadah di bulan ramadhan.
Dari tinjauan edukasi, bulan ramadhan adalah bulan edukasi. Ia menjadi madrasah ruhaniah. Out putnya adalah keberlanjutan aktivitas ruhani setelah ramadhan. Karena posisi edukasinya amaliah yang mubah (seperti makan dan minum yang halal) dilakukan di luar bulan ramadhan haram dilakukan di siang hari bulan ramadhan. Tujuannya tentu saja supaya mukmin yang melaksanakan puasa terbiasa untuk menahan diri untuk tidak melakukan aktivitas mubah yang sekiranya melanggar aturan syar’i. Mafhum muwafaqohnya, kalau di bulan ramadhan saja orang tidak sanggup berpuasa, maka tentu saja di luar bulan ramadhan ia tidak akan bisa berpuasa untuk mengerjakan pekerjaan yang haram. Orang yang tidak berpuasa jadilah ia orang yang tidak punya rem. Semua akan ditabrak. Jangan yang halal, yang harampun akan ditabraknya.
Dari sisi edukasi juga, bulan ramadan adalah bulan pembiasaan untuk berpuasa, salat-salat sunnah, bersedekah, dan tilawatil qur’an. Supaya setelah bulan ramadhan kita terbiasa untuk puasa sunnah, kebiasaan tarawih dilanjutkan dengan solat tahajud, kebiasaan zakat, infak dan sedekah juga berlanjut dengan sedekah-sedekah sunnah, demikian juga dengan tilawatil qur’an, terus berlanjut setelah ramadhan. Bila saat bulan ramadhan kita bisa membaca satu atau dua juz sehari, diharapkan setelah ramadhan tilawah al qur’an kita juga minimal sama.
Kenapa orang banyak yang terlihat sungguh-sungguh beribadah di bulan ramadhan, tapi setelah bulan ramadhan menurun drastis. Ada yang menjawab karena pahala amal soleh dilipatgandakan di bulan itu dan ada malam yang lebih baik dari seribu bulan. Kalau ini jawabannya, rasanya kurang pas juga. Masa sih memeluk Islam sudah belasan dan puluhan tahun masih mempersoalkan ukuran kuantitatif ganjaran amal soleh yang namanya pahala. Padahal pahala sekalipun emang benar adanya dan Allah SWT janjikan, tapi sebenarnya itu adalah ukuran kuantivikasi dan bahasa kuantitatif Allah SWT kepada manusia yang di dalam nalarnya ada nalar numerik matematis. Tapi bagi yang sudah lama menganut Islam rasanya, ukuran kuantitif dan numerik matematis itu sudah harus dilewati. Yang dikejar adalah ridha Allah SWT. Dan landasan kita beramal itu karena cinta. Bila dasarnya adalah cinta, maka kita akan menganggap bahwa SETIAP BULAN ADALAH RAMADHAN, DAN SETIAP MALAM ADALAH LAILATUL QADR. Bukankah kita tahu bahwa ada hadits qudsi yang menyatakan bahwa Allah SWT turun ke langit dunia di sepertiga malam untuk melihat aktivitas hamba Nya. Dia akan mengabulkan semua doa yang dipanjatkan, dan akan mengampuni semua dosa yang dimintakan ampun di saat itu. Bila malam lailatu qadr malaikat yang turun, maka di sepertiga malam terakhir Allah SWT yang turun. Hadits ini tidak boleh kita maknai secara leterlejik (leterlek). Hakikatnya kita serahkan kepada Allah. Poinnya : masalah keutamaan ibadah bukan hanya di bulan ramadhan dan di malam lailatul qadr. Setiap saat dan setiap waktu adalah mulia dan utama, maka tidak ada alasan untuk kita menunda-nunda ibadah menunggu waktu-waktu yang disebut utama. Sekali lagi, kalapun Allah SWT dan rasul Nya menyebut keutamaan waktu-waktu tertentu itu sifatnya untuk mememotivasi orang yang nalar kuantitatifnya terlalu dominan.
Karena poin penting dari puasa adalah takwa, maka cobalah kita melakukan muhasabah (introspeksi) diri. Apakah setelah ramadhan ini ibadah kita mengendur ? Bagaimana tilawatil qur’an kita ? salat fardhu dan sunnah kita ? Puasa sunnah kita ? Infak dan sedekah kita ? Mulut dan mata kita serta hati kita, masihkah kita puasakan ? Kalau tidak, rasanya tidak pantaslah kita merasa meraih deraja takwa.
Wallahu a’lam bis showab
Oleh : Khairul Fahmi, Penggiat Literasi, tinggal di Jakarta