“Nenek moyangku orang pelaut
Gemar mengarung luas samudra
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa…”
(Oleh Ibu Soed)
Lirik lagu “Nenek Moyangku” tersebut diciptakan oleh Ibu Soed atau Saridjah Niung Bintang Soedibyo pada tahun 1940. Beliau merupakan istri dari Bapak Bintang Soedibyo. Ibu Soed seorang pencipta lagu anak-anak, pemusik, penyiar radio, dan pembatik (brainly.co.id, Okt. 2014).
Lirik lagu tersebut, jika kita selisik dengan semiotika maka akan terungkap tanda dari diksi atau pilihan kata serta dari frasa atau kelompok kata yang digunakan. Tanda-tanda tersebut menunjukkan bahwa dari sisi sejarah, nenek moyang bangsa Indonesia adalah bangsa pelaut yang ulung. Budaya yang ditunjukkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia adalah budaya bangsa maritim.
Bangsa yang gemar menjelajah laut dan samudera dengan gagah berani dan tanpa rasa takut. Karakter budaya maritim bangsa Indonesia tersebut diwariskan turun-temurun dan telah berakulturasi menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia. Berbagai falsafah hidup bangsa Indonesia yang salah satunya dicirikan sebagai budaya maritim inilah yang menjadi landasan dalam merumuskan strategi kebudayaan nasional.
Strategi kebudayaan merupakan arah pemajuan kebudayaan yang berlandaskan pada potensi, situasi, dan kondisi kebudayaan Indonesia untuk mewujudkan tujuan nasional. Adapun visi Pemajuan Kebudayaan 20 tahun Indonesia dalam Perpres no. 114 tahun 2022 adalah “Indonesia Bahagia berlandaskan keanekaragaman budaya yang mencerdaskan, mendamaikan, dan menyejahterakan ” (jogloabang.com, 21-9-2022).
Dengan demikian, strategi kebudayaan Indonesia merupakan hasil penggalian dari situasi dan kondisi budaya Indonesia yang digali dari warisan pemikiran dan tingkah laku nenek moyang bangsa Indonesia. Pemikiran dan tingkah laku tersebut merupakan Falsafah hidup bangsa Indonesia yang diwariskan turun temurun dari masa kerajaan-kerajaan Nusantara lampau, seperti Sriwijaya, Majapahit, Pajajaran, Mataram, Kesultanan Goa, Kesultanan Ternate, Kesultanan, Tidore, dll.
Penggalian falsafah hidup bangsa tersebut dirumuskan sebagai budaya yang dikaitkan dengan kondisi kekinian. Akumulasi sejarah, falsafah, dan budaya tersebut bertujuan agar tercipta kondisi sosial budaya Indonesia bahagia dalam keragaman yang mencerdaskan, mendamaikan, dan menyejahterakan. Tujuan tersebut didasari oleh kesadaran terhadap kondisi Indonesia yang amat kaya keragaman khasanah budayanya yang bersemboyan Bineka Tunggal Ika.
Keragaman khasanah budaya Nusantara sudah amat dikenal dipenjuru dunia. Pengenalan tersebut disebarluaskan ke mancanegara melalui jalur diplomasi kemaritiman. Jalur diplomasi kemaritiman tersebar dan berjaya melalui dua jalur yang amat terkenal, yaitu Jalur Rempah dan Jalur Barus. Jalur Rempah membentang dari Timur Nusantara (Kepulauan Maluku), Nusa Tenggara, Sulawesi, Bali, Jawa, Sumatera, Semenanjung, Benua Asia, Benua Eropa, hingga ke Benua Amerika.
Lalu, Jalur Barus membentang dari daerah Barus di Sumatera Utara, lalu menyebar ke seluruh wilayah Nusantara. Jalur barus juga membentang ke Aceh, Semenanjung, Asia Tenggara, Asia Timur, hingga ke Mesir dan negara jazirah Arab lainnya. Jalur diplomasi Nusantara dengan Jalur Rempah dan Jalur Barus ini ditopang pula dengan kekuatan budaya yang terkandung dalam bahasa Melayu sebagai lingua franca. Budaya luhur yang terkandung dalam bahasa Melayu tersebut di antaranya, yaitu simpel, fleksibel, dan egaliter atau kesetaraan.
Kejayaan diplomasi budaya masa lalu Nusantara tersebut menghadapi tantangan yang amat berat. Tantangan tersebut terjadi seiring bangkitnya kemoderenan yang dipelopori negara-negara di benua Eropa dan Amerika. Negara-negara tersebut untuk menopang ambisi kemoderenannya yang berciri industrilisasi kemudian melakukan penjajahan ke negara-negara lainnya, termasuk ke Nusantara.
Hegemoni para penjajah tersebut juga menghegemoni budaya Nusantara. Budaya Nusantara menjadi tertindas dan terpinggirkan di tanah airnya sendiri. Walaupun begitu, warisan budaya Nusantara tersebut tetap hidup di masa penjajahan dan diwariskan dari generasi ke generasi, meskipun harus berjalan dengan tertatih-tatih dan terseok-seok.
Terlebih lagi kondisi tidak menguntungkan bagi tumbuh kembang jatidiri budaya bangsa tersebut berlanjut dengan penjajahan Jepang. Penjajah Jepang melakukan invasi ke Nusantara sebagai buah dari ambisi ekspansinya setelah restorasi Meiji yang juga bercorak industri modern.
Beruntung kemudian kondisi itu mulai membaik seiring tumbuhnya kesadaran akan perlunya rasa kebangsaan dan persatuan di kalangan pemuda terpelajar di Nusantara yang ditandai dengan berdirinya organisasi bercirak kebangsaan, yaitu dipelopori dengan berdirinya Syarikat Dagang Islam (16 Oktober 1905) dan disusul dengan berdirinya Boedi Oetomo (tahun 20 Mei 1908). Munculnya organisasi bercorak kebangsaan tersebut kemudian semakin menumbuhkan kesadaran perlunya persatuan yang didasari oleh rasa kebangsaan. Kesadaran rasa kebangsaan dan perlunya persatuan tersebut makin tumbuh di kalangan pemuda Nusantara yang terpelajar.
Kesadaran itu kemudian mendorong lahirnya ikrar Sumpah Pemuda yang berikrar, “Berbangsa satu bangsa Indonesia, bertanah air satu, tanah air Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”. Kondisi kesadaran nasionalisme dan persatuan tersebut mendorong lahirnya kemerdekaan Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, tidak berarti tantangan kebudayaan Indonesia menjadi lenyap. Budaya Indonesia menghadapi dominasi dan ekspansi budaya luar melalui kemajuan teknologi informasi. Identitas budaya Indonesia tergerus dan menghadapi arus budaya global yang belum tentu seiring, sejalan, dan berkesesuaian dengan budaya Indonesia.
Majunya telekomunikasi dan informasi digital membawa budaya global yang dianggap lebih maju dan menjadi daya tarik bagi generasi muda Indonesia. Ditambah lagi pola regenerasi budaya tradisional Indonesia belum memiliki pola regenerasi yang mapan dan tangguh, membuat keterancaman jati diri budaya Indonesia menjadi amat terancam.
Melihat kondisi keterancaman tersebut, mau tidak mau Indonesia harus memiliki strategi kebudayaan yang jelas. Bangsa Indonesia perlu merumuskan strategi kebudayaan yang digali dari falsafah hidup nenek moyang kita di Nusantara.
Generasi muda bangsa Indonesia tidak boleh hanya menjadi pengekor dari hegemoni budaya asing. Bangsa Indonesia tidak boleh hanya menjadi konsumen dari produk-produk budaya asing. Kita harus memiliki jati diri budaya yang membanggakan. Jati diri budaya tersebut menjadi penciri dan tuan rumah di negeri sendiri.
Budaya Indonesia diharapkan mampu berdiri setara dengan budaya bangsa lain. Budaya Indonesia juga diharapkan mampu memengaruhi budaya lainnya di dunia. Diharapkan generasi muda dan seluruh bangsa Indonesia memahami dan bangga dengan kemajemukan dan kebesaran budaya bangsa Indonesia.
Demikan pula halnya dengan ruh budaya luhur Indonesia. Budaya luhur Indonesia diharapkan dapat diejawantahkan dalam kehidupan nyata bangsa Indonesia. Nilai-nilai luhur budaya bangsa tersebut diharapkan menjadi karakter yang terintegrasi menjadi jati diri bagi setiap insan Indonesia.
Nilai-nilai luhur budaya bangsa tersebut juga diharapkan mampu mengangkat dan mengembangkan seni budaya lokal. Seni budaya lokal ini selanjutnya dapat menjadi penciri pengembangan industri kreatif. Dengan kata lain, dikembangkan industri kreatif dan UMKM berbasis budaya lokal. Hal tersebut misalnya pengembangan agrowisata di Batu Malang yang berciri potensi buah apel.
Bentuk usahanya, seperti kebun apel, manisan apel, kripik apel, sirop apel, berbagai tas bernuansa apel, sandal dan sepatu bercorak apel, kaos bergambar dan bernuansa apel, berbagai kendaraan bernuansa apel, serta festival, karnaval, dan pekan raya bernuansa apel. Apel menjadi ikon budaya daerah yang kemudian dikenal secara nasional bahkan internasional sebagai kawasan industri pariwisata yang andal.
Nilai-nilai luhur budaya bangsa tersebut diintegrasikan ke dalam strategi kebudayaan yang diharapkan mampu menjadi pedoman dan menjadi filter dalam memilih dan memilah pengaruh budaya asing. Strategi budaya diharapkan tidak hanya menangkal pengaruh buruk budaya asing, tetapi juga mampu mengintegrasikan secara kreatif budaya asing yang positif dengan budaya lokal, sehingga menjadi budaya baru Indonesia yang lebih kokoh dan teruji.
Adapun nilai-nilai luhur yang digali dari falsafah hidup nenek moyang bangsa Indonesia tentulah amat banyak. Beberapa nilai luhur tersebut di antaranya: 1. Keragaman ekspresi berketuhanan, 2. Kesadaran akan Keragaman budaya dan etnik, 3. Persatuan dalam perbedaan atau interaksi yang guyub dalam perbedaan, 4. Gotong royong dalam kebersamaan yang beragam, 5. Pengembangan budaya nasional melindungi budaya lokal, budaya lokal memperkaya khasanah budaya nasional, 6. Pengembangan budaya glokal atau budaya lokal yang menggelobal/ menginternasional, 7. Pembangunan budaya yang ramah lingkungan, 8. Menggali dan membangkitkan budaya maritim.
9. Membudayakan dan mengembangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa milik segenap masyarakat Indonesia yang berciri simpel, fleksibel, dan egaliter, 10. Sopan dalam penampilan dan santun dalam perkataan.
Nilai-nilai budaya yang digali dari falsafah hidup bangsa tersebut diramu menjadi Strategi Kebudayaan Nasioanal. Strategi kebudayaan dimaksud diharapkan menjadi acuan dalam membangun budaya Indonesia 20 tahun ke depan, baik tingkat daerah maupun nasional. Strategi kebudayaan tersebut diharapkan menjadi pedoman pembangunan budaya bangsa yang melewati batas-batas periode kekuasaan. Dengan kata lain, strategi kebudayaan tersebut melewati beberapa masa transformasi kekuasaan atau strategi kebudayaan multitransformasi.
Dengan terbentuknya Strategi Kebudayaan Multitransformasi tersebut diharapkan akan menjadi panduan langkah pembangunan visi kebudayaan Indonesia 20 tahun ke depan. Strategi kebudayaan tersebut diharapkan mampu mewujudkan “Bangsa Indonesia yang berbudaya luhur dalam kebinekaan yang bahagia, adil, dan sejahtera”. Semoga.
Jakarta, 14 Maret 2023,
Erfi Firmansyah (Pengamat Bahasa dan Budaya UNJ)