Waspadai Politik Gentong Babi Jelang Pemilu

Saat ini, Indonesia sudah sedang memasuki tahun politik. Konstestasi politik antar kandidat mulai mengumpulkan sumberdaya, baik ekonomi, sosial budaya, agama, dan kekuasaan untuk memenangkan kontestasi tersebut.

Politik adalah terkait dengan siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana. Politik sebagai upaya seseorang atau sekelompok orang untuk mendapatkan, mempertahankan dan memperluas kekuasaan. Dengan kekuasaan, orang memiliki otoritas untuk mengalokasikan sumber-sumber daya publik.

Bacaan Lainnya

Oleh karenanya sebagian besar orang tertarik dan tergiur untuk memilikinya, karena memang sangat nikmat. Dalam system demokrasi, untuk mendapatkan kekuasaan diatur dengan mekanisme tertentu melalui pemilu. Menduduki jabatan tersebut bersifat regular dan dibatasi oleh konstitusi.

Maka tidaklah mengherankan jika setiap menjelang konstestasi pemilu, para pencari kekuasaan berusaha keras untuk mendapatkan atau mempertahankan status quo bahkan menambah kekuasaan. Cara-cara yang Mereka gunakanpun beragam, mulai dengan cara-cara yang adi luhung sesuai dengan etika dan moral hingga menabrak etika dan tuna moral atau Machiavellis.

Mereka melakukan safari politik, memasang baliho, iklan di media massa atau media sosial, dan sebagainya. Pemegang kekuasaan eksekutif atau legislatif seringkali menggunakan fasilitas publik dan anggaran negara melalui program-program pembangunan dan bantuan sosial di daerah pemilihannya guna pencitraan diri, populisme dan elektabilitas.

Cara-cara ini dapat diidentifikasi sebagai politik gentong babi. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara seperti AS, Italia, Jepang, Australia, Korea Selatan, Meksiko, Myanmar, India dan  sebagainya.

Apa Politik Gentong Babi?

Pada awalnya, istilah “gentong babi” sebagai metafora sederhana untuk segala bentuk pengeluaran publik untuk warga negara setelah Perang Saudara Amerika berakhir tahun 1870. Namun, pada akhirnya gentong babi sering digunakan untuk mengatasi distorsi politik yang dilakukan politisi dan partai politik dengan memanipulasi anggaran untuk populisme mereka.

Merujuk pada literature ekonomi politik, perbandingan politik dan politik AS, Catalanic & Smith (2020) mendefinisikan “babi” sebagai barang bersama yang menguntungkan semua orang dalam kelompok pemilih tertentu yang dapat diidentifikasi. “Gentong” adalah wilayah atau distrik yang menjadi target pemilih secara geografis (Sidman, 2019).

Geografi ini bisa secara nasional, provinsi, atau kabupaten/kota. Siapa yang memiliki otoritas untuk mendistribusikan barang publik, kepada siapa barang didistribusikan, kapan barang didistribusikan  dan bagaimana cara mendistribusikan barang itulah politik. Sehingga politik gentong babi merupakan kegiatan distribusi barang dan jasa bersama yang ditujukan kepada publik, dengan dana publik dengan harapan publik dalam geografi tertentu akan memberikan dukungan politik kepada kandidat tertentu.

Aktor yang mendistribusikan barang publik berupa program pembangunan dan bansos adalah penguasa, petahana. Kelompok sasaran barang publik dapat diberikan kepada pendukung inti, pendukung, atau pemilih yang condong ke oposisi. Waktu pemberian dapat dilakukan sebelum pemilihan sebagai bujukan atau setelah pemilihan sebagai hadiah.

Semakin mendekati pemilihan, semakin menguntungkan petahana karena masyarakat masih segar ingatannya dibantu begitu sebaliknya. Cara membagikannya dapat berbentuk program pembangunan atau bantuan sosial seperti bantuan langsung tunai, barang atau jasa.

Dalam politik gentong babi terjadi pertukaran barang dan jasa, dimana actor pejabat mengalokasikan sumber-sumber anggaran melalui berbagai program bantuan. Sementara itu, masyarakat yang dibantu membalas ‘kebaikan’ petahana tersebut dengan cara memilihnya kembali. Petahana mendapat keuntungan electoral, masyarakat memperoleh kenikmatan bantuan. Hubungan saling menguntungkan ini akan langgeng selama tidak ada yang dikecewakan.

Dalam konteks elektoral, kinerja pejabat tentu akan berdampak pada popularitas hingga elektabilitas. Keuntungan politik gentong babi ini menjadi sangat menjanjikan pejabat, sekaligus berdampak serius terhadap kontestasi pemilu, karena persaingan menjadi tidak seimbang.

Petahana memiliki akses kekuasaan yang sangat besar dan dominan dan memiliki peluang lebih besar menang. Dalam kondisi petahana dihadapkan pada persaingan sengit, mereka berusaha lebih keras dalam mengarahkan anggaran pusat ke distrik mereka. Hal ini akan merusak rasionalitas pemilih, karena pemilih akan menggunakan pertimbangan aspek materi dan jasa yang pernah ditorehkan oleh petahana.

Sementara penantang belum pernah berkesempatan memiliki otoritas distribusi program pembangunan dan bansos di wilayah tersebut. Pertimbangan obyektif menjadi terkesampingkan seperti rekam jejak, kapasitas, moralitas atau integritas.

Selanjutnya di halaman berikutnya:

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *