JAKARTA – Usulan wacana perpanjangan masa jabatan Kepala Desa dari 6 tahun jadi 9 tahun menuai pro dan kontra. Perpanjangan masa jabatan Kepala Desa dikritik karena dinilai sangat kuat nuansa politisnya.
Nasky Putra Tandjung Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta ikut memberikan komentarnya terkait adanya wacana tersebut yang dinilainya sangat kuat nuansa politisnya. Dia khawatir jika usulan perpanjangan masa jabatan Kepala Desa itu disetujui oleh Pemerintah dan DPR RI akan berdampak luas dan berpotensi terjadinya abuse of power di tatanan kehidupan masyarakat pedesaan.
“Saya pikir itu tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri, Dia heran dengan pihak tertentu yang terkesan mudah dalam memberikan dukungan usulan perpanjangan masa jabatan tersebut. Seharusnya kata dia, lembaga terkait mestinya bisa lebih kritis dan subjektif bukan hanya politis saja,” kata Nasky dalam keterangan persnya, Jakarta (28/1/23).
Nasky mengatakan mesti ada pembatasan masa jabatan hingga kesatuan terendah sekalipun yaitu Kepala Desa. Sesuai Pasal 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, disitu tertulis jelas bahwa Kepala Desa menjabat selama 6 tahun.
“Kalau lah alasannya hanya untuk mengatasi keterbelahan ataupun polarisasi di tengah-tengah masyarakat desa akibat dinamika politik pasca pemilihan Kepala Desa, sehingga tidak ada cukup waktu untuk membangun desa, dalilnya sangat sempit, dan menyesatkan,” tandasnya.
Lanjutnya, argument yang dibangun oleh pihak tertentu untuk menyuarakan perpanjangan masa jabatan Kepala Desa hanya sekedar modal argumentasi akal-akalan agar nuansa prakmatisnya tidak terlalu nampak sekaligus upaya untuk meligitimasi aksi-aksi menyuarakan perpanjangan masa jabatan. Begitu pula, sambungnya, dengan Partai-partai politik yang ikut memback-up aspirasi mereka besar kemungkinan telah ada deal (kesepakatan) semacam kompensasi elektoral (suara) antara pihak yang menyuarakan dan pihak yang akan mengakomodir sebagaimana jargon para politikus “no free lunch”, atau bahasa lainnya disetiap proses politik yang dimainkan para politisi pasti ada tukar tambah di dalamnya.
Menurut Nasky, urgensitas alasannya tidak logis, karena waktu 6 tahun itu merupakan waktu yang cukup lama untuk merevitalisasi dan mengakselerasi kan program-program desa. Pertanyaannya siapa yang bisa memastikan bahwa dengan jabatan Kepala Desa 9 tahun akan menyelesaikan keterbelahan di masyarakat desa?
Karena secara umum, ungkapnya, masyarakat Indonesia masih rendah pengetahuan politiknya. Bahkan sekarang lebih cenderung pada praktek politik transaksional. Apa lagi masyarakat yang ada di desa sangat minim dalam pengetahuan dan pendidikan politiknya, sehingga masih jauh dari tipologi pemilih yang rasional.
“Kondisi ini tentunya siapa yang kita disalahkan, masyarakat desa atau elite? Karena desain politik yang dilakukan selama ini adalah politik transaksional, sehingga kedewasaan berpolitik yang mengedepankan nilai-nilai luhur, moralitas, dan prinsip-prinsip kemanusian itu sendiri masih jauh adanya di masyarakat,” ujarnya.
Jadi, katanya sebagai generasi muda dia tegas menolak sebagai “Moral force” (Tanggung jawab moral), dan solusinya bukan memperpanjang masa jabatan Kepala Desa.
“Problemnya bukan soal tetap ataupun harus diperpanjang masa jabatan, tetapi minimnya knowledge dan leadership dari Kepala Desa, dan lebih kepada regenerasi kepemimpinan,” tutupnya.