Hidajat Nataatmadja merupakan pemikir Indonesia yang patut diperhitungkan pemikiran-pemikirannya dalam memecahkan problematika keislaman dan kemanusiaan.
Dia telah mengenalkan satu istilah menarik, yaitu sidik pikir. Ini penting. Supaya kita tidak mudah terserap dan kehilangan arah dan jati diri oleh kuatnya penetrasi, pengaruh dan daya serap kebudayaan lain yang belum tentu senantiasa berguna bagi kemaslahatan kita secara kolektif, maka sebelum memutuskan menyerap gagasan asing harus diseleksi dan diproses melalui sidik pikir.
Sidik pikir ini akan mengurai, menyeleksi dan mengenali mana yang baik diserap, diterima dan mana yang patut ditolak. Ini suatu terobosan cerdas dalam relasi antar sistem pemikiran manusia.
Bicara tentang sidik pikir ini, para ulama di zaman lampau telah merumuskan kriteria agar agama senantiasa eksis, merdeka dan terlindungi dari manipulasi dan pengubahan oleh pengaruh kebudayaan lain, yaitu apa yang disebut dengan maqasid al-syari’ah.
Al-Ghazali hingga Al-Syatiby telah menguraikan hal ini secara baik dan gamblang. Tujuannya sama dengan sidik pikir itu. Yaitu agar syariah tetap eksis, menyerap dan menerima mana yang sesuai dan mana yang tidak.
Maqasid al-syari’ah, atau kadang-kadang disebut, mabadi al-khamsah, terdiri dari:
- Hifdz al-Diin (menjaga agama)
- Hifdz al-Nafs (menjaga jiwa)
- Hifdz al-‘Aql (menjaga Akal)
- Hifdz al-Maal (menjaga harta)
- Hifdz al-Nasl (menjaga keturunan dan kehormatan)
Dari kelima kriteria yang membentuk bingkai pikir ini, sidik pikir bisa beroperasi dengan efektif untuk mengenali mana yang sesuai dan mana yang tidak sesuai.
Masalahnya kriteria dan kaidah hifz al-diin misalnya, masih memerlukan perumusan rinci. Jika tidak dirinci, orang bisa sembarangan mengklaim sesukanya sebagai perkara memenuhi kriteria hifz al-diin. Menurut hemat saya, salah satu kriteria utamanya agar suatu perkara layak memenuhi syarat sebagai hifz al-diin yaitu bila mana perkara yang dipersoalkan atau yang diinstroduksikan itu bersih dari perkara syirik.
Perkara syirik ini menempati tingkat pertama dan utama dalam Islam. Sesuatu perkara mengandung syirik itu sudah dimaklumi oleh akal dan petunjuk dalil. Semua Rasul dan Nabi memiliki misi agar manusia tidak jatuh pada perbuatan syirik kepada Allah. Formulasi solusinya adalah tauhid.
Perkara kedua misalnya, hifz al-‘aql. Hifz al-‘aql itu sederhana saja. Bukan menyempit menjadi filsafat atau logika. Memelihara akal agar berfungsi baik, tidak terkontaminasi oleh campuran doktrin sesat, doktrin yang tidak senafas dengan keinginan Allah kepada makhluk-Nya. Bahkan kadang kala mazhab tidak senantiasa seiring dengan hifz al-‘aql, yaitu manakala suatu mazhab yang mengklaim dirumuskan dari khazanah Islam justru praktiknya membelenggu kemerdekaan berpikir, kemurnian berpikir dan nyaris tercekik oleh ketatnya kaidah-kaidah buatan sehingga lebih tampak sebagai suatu ajaran dan doktrin yang jauh dari semangat Islam itu sendiri yang ringan, mudah dipahami, dan jauh dari sifat kaku.
Malahan jika mazhab jatuh menjadi suatu doktrin hukum dan aqidah tersendiri, maka bisa jadi Islam telah dikup oleh suatu kepentingan dan pemikiran. Bisa jadi Islam telah disubversi hingga Islam itu tidak lagi hadir sebagai sumber semangat dan panduan hidup yang membawa harapan dan jalan keluar dari setiap dinamika hidup yang dialami umat manusia.
Sekarang mari kita lihat umat dalam konteks wabah corona ini. Karena absennya sidik pikir, umat dengan mudah diatur dan ditundukkan untuk meninggalkan fardlu-fardlu ‘ain mereka yang selama ini telah mereka amalkan secara daim.
Fardlu Jum’at ditinggalkan hanya dari suatu proses yang singkat tanpa diskusi panjang dan berat, padahal meninggalkan fardlu ini bukan perkara dan konsekwensi ringan. Ini jelas karena umat tidak terlatih dan terdidik dengan sidik pikir mereka sendiri yang mandiri. Hanya dengan sepucuk seruan dan “simulasi” di Mekkah, umat sudah tunduk.
Kita sesalkan proses penundukan pikir umat yang gampang dan singkat. Ini semua sekali lagi karena absennya sistem sidik pikir. Dimana dalil yang populer “apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan begitu saja menyatakan bahwa kami telah beriman, padahal mereka belum diuji” (Al-Ankabut/Laba-laba: 2). Kenapa jadi dalil lain yang lebih populer, demi melegitimasi perkara meninggalkan sholat jum’at.
Di sini kita lihat umat masih memerlukan ketahanan dan kemandirian pikir dan tujuan. Tentu kita bukan bermaksud menentang fakta bahwa ada suatu wabah yang harus kita hindari agar tidak mati konyol.
~ Syahrul Efendi Dasopang