Tata Kelola Deliberatif Anies Baswedan

Oleh: Dr. Rusdiyanta, Kepala Pusat Studi Kebijakan Publik, Universitas Budi Luhur

Anies Rasyid Baswedan merupakan capres yang mengusung tema ‘Perubahan’. Sebelumnya, saat menjadi Gubernur DKI (2017-2022), Anies menggunakan slogan ‘Maju kotanya, bahagia warganya’.

Bacaan Lainnya

Banyak prestasi dan penghargaan yang disabetnya saat menjadi Gubernur DKI baik dari dalam maupun luar negeri, diantaranya Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Award, Sustainable Transport Award, Penghargaan Kategori Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan, Anugerah Public Relations Indonesia Awards, KPPU Award, IDC Future Enterprise Awards, Top Digital Awards, Asia Pacific Housing Innovation Award Kampung Susun Akuarium dan masih banyak lagi penghargaan yang diterimanya.

Lantas, bagaimana tata kelola yang dilakukan Anies dan timnya sehingga mampu meraih banyak prestasi tersebut? Tulisan ini akan membahas beberapa prinsip yang tata kelola Anies Baswedan secara singkat.

Tata Kelola Deliberatif
Gagasan utama di balik tata kelola deliberatif adalah bahwa pembuatan kebijakan memerlukan ruang di mana berbagai lembaga, kelompok, aktivis, dan individu warga negara dapat berkumpul untuk membahas isu-isu sosial yang urgent. Ruang public tersebut merupakan jaringan spontan dari bawah ke atas, pengaturan interaktif berkelanjutan, seperti dialog kolaboratif atau bisa berupa rancangan musyawarah yang sangat terstruktur. Kapasitas musyawarah yang didefinisikan sebagai sistem politik yang memiliki struktur untuk menyelenggarakan musyawarah yang bersifat ‘otentik’, ‘inklusif’, dan ‘konsekuensial’.

Jadi, tata kelola ini menekankan ruang public yang diberdayakan untuk mendiskusikan masalah, gagasan, solusi dan kesepakatan berbagai elemen bangsa.
Dryzek (2011) dalam bukun berjudul ‘Foundations and Frontiers of Deliberative Governance’ menghasilkan kerangka penilaian sistem politik dalam kaitannya dengan standar deliberatif yang didefinisikan sebagai keberadaan ‘ruang publik’, ‘ruang yang diberdayakan’, ‘transmisi’ dari ruang publik ke ruang yang diberdayakan, ‘akuntabilitas’ ruang-ruang publik yang diberdayakan kepada masyarakat., ‘meta-deliberasi’ tentang kualitas deliberatif sistem itu sendiri dan ‘ketegasan’ dalam kaitannya dengan kekuatan politik lainnya. Kerangka kerja Dryzek menggarisbawahi perlunya memberi perhatian secara konstan dan cermat bahkan terhadap negara-negara demokrasi yang sudah mapan dalam hal kualitas deliberatif dari proses politik.

Dalam cita-cita normatif demokrasi deliberatif, musyawarah merupakan proses komunikatif di mana para aktor diberi informasi tentang suatu isu kebijakan, mempertimbangkan kompleksitasnya, dan bernalar bersama dalam pandangan argumen yang lebih baik. Idealnya, para musyawarah memiliki preferensi yang terbuka dan memberikan alasan atas argumen mereka agar orang lain dapat menghargai dan menerimanya.

Dryzek (2011) menggarisbawahi ‘tujuan utama dari musyawarah adalah untuk menghasilkan meta-konsensus yang menyusun perselisihan yang berkelanjutan’. Dalam pengertian ini, sebagai landasan etis dalam musyawarah, ‘meta-konsensus’ mengacu pada kesepakatan dasar mengenai legitimasi nilai-nilai yang diperebutkan, validitas penilaian yang disengketakan, penerimaan dan struktur preferensi yang bersaing, serta penerapan wacana yang diperebutkan. Kebijakan bersama dari musyawarah akan berfungsi meningkatkan legitimasi, representasi, komunikasi, pluralisme, dan konsensus.

Prosedur dan transmisi dalam ruang public ini berbeda dengan kegiatan konsultasi konvensional, karena prosedur ini biasanya bertujuan untuk mencapai tujuan yang inklusif dan deliberative. Bersifat inklusif karena memperluas keterlibatan masyarakat dalam pengembangan kebijakan lebih dari sekedar birokrat dan pakar. Maknanya, motivasi utama di sini adalah motivasi demokratis yang mana kebijakan yang sah dan legitimate harus melibatkan masyarakat yang terkena dampak kebijakan tersebut, bukan hanya para elit.

Selain itu, ada alasan pragmatis mengapa kita ingin melibatkan masyarakat luas dalam pengambilan kebijakan, misalnya untuk mengakses pengetahuan dan sumber daya, dan untuk mendorong kerja sama dan implementasi yang efisien.

Prinsip Tata Kelola Pemerintahan Anies
Dalam tata kelola pemerintahan, Capres Anies Baswedan memiliki etikabilitas, intelektualitas, inklusif dan demokratis yang mumpuni. Beliau seringkali menenekankan model tata kelola yang berbasis pentingnya tata nilai, etika, rasionalitas dan consensus. Selain itu, beliau juga menawarkan tata kelola yang bersifat teknokratis dan merit system, yaitu pembentukan pemerintahan berdasarkan pada pengetahuan, kepakaran, keahlian, kualifikasi, kompetensi, dan kemampuan sesuai bidangnya. Artinya para ahli, pakar, professional dalam bidang masing-masing atau teknokrat menjadi penentu kebijakan dalam pengelolaan pemerintahan.

Karena rakyat adalah pemilik saham dan kedaulatan atas Republik ini sehingga berhak mendapat layanan terbaik dari pemerintah. Rakyat harus diajak bicara atas masalah yang dihadapi, sementara negara dan pemerintah harus hadir mencarikan solusi.

Menurut pengamatan penulis berdasarkan rekam jejaknya, ada beberapa prinsip yang senantiasa menjadi konsen Anies Baswedan dalam tata kelola pemerintahan mendatang jika terpilih menjadi Presiden RI 2024-2029. Beberapa prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

1. Prinsip Keadilan, keadilan merupakan tata nilai, kebijakan harus berdasarkan keadilan social, tidak hanya menguntungkan suatu kelompok masyarakat/elit, namun harus dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Hampir semua kebijakan Anies mendasarkan pada tata nilai keadilan ini. Kebijakan dibukanya Jalan Sudirman untuk kendaraan bermotor roda dua merupakan salah satu contoh.

2. Berorientasi Public Interest dan Public Values, kepentingan public merupakan rekonsiliasi kepentingan antar masyarakat secara adil, bukan sekelompok orang/elit tertentu. Kebijakan Anies diorientasikan untuk mencapai nilai-nilai kepublikan seperti keadilan, keamanan, kesejahteraan, pelayanan yang baik, pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Misalanya Penataan kampong Akuarium dan kampong Bayam.

3. Model Rasional dalam pengambilan kebijakan harus berbasis akal sehat, melakukan analisis kebijakan secara komprehensif yang memaksimumkan keuntungan public. Rasionalisme melibatkan perhitungan semua nilai sosial, politik, dan ekonomi yang dikorbankan atau dicapai dengan kebijakan public, bukan semata-mata keuntungan ekonomi.

Model rasional meliputi tahapan

(a) memahami semua preferensi nilai masyarakat dan bobot relatifnya, (b) menyusun semua alternatif kebijakan, (c) memahami semua konsekuensi dari setiap alternatif kebijakan, (d) menghitung rasio manfaat atas biaya untuk setiap alternatif kebijakan, dan (e) memilih alternatif kebijakan yang paling efisien.

4. Prinsip Konstitusional artinya dalam tata kelola pemerintahan dan kebijakan harus berbasis dan merujuk pada aturan dan hukum yang berlaku untuk mencapai nilai-nilai kepublikan. Misalnya tata kelola pantai Utara adalah sesuai dengan regulasi yang berlaku yakni Pergub No.52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta bukan atas dasar kekuasaan dan selera penguasa atau kepentingan oligarki.

5. Proses Deliberasi, dalam pengambilan kebijakan dan tata kelola pemerintahan senantiasa diputuskan melalui proses deliberative governance yakni dengan pertemuan dan komunikasi dengan masyarakat untuk belanja masalah (bottom up), mengidentifikasi masalah, mencari berbagai alternative solusi dan kolaborasi dengan banyak aktor.

Dalam memimpin Jakarta, ada enam kategori kolaborasi di +Jakarta, yakni Environmental Resilience, Future of Work, Urban Regeneration, Innovation and Technology, Equality and Empowerment, Art and Culture. Jakarta memiliki sumber daya kolaborator yang amat besar. Mulai dari pakar, universitas, sektor privat, internasional think-tank, serta NGO yang amat banyak dan beragam.

Contoh deliberasi dan kolaborasi adalah dalam Penataan Kampung Akuarium, Pemprov DKI kolaborasi dengan organisasi kemasyarakatan di antaranya Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Urban Poor Consortium (UP) dan Rujak Center for Urban Studies.

Dari beberapa prinsip di atas, Anies Baswedan sangat menekankan pentingnya prinsip-prinsip Good Governance seperti partisipasi warga negara, penegakan hokum, transparansi, berorientasi pada kesepakatan, akuntabilitas, kesetaraan, efisiensi dan efektifitas, serta visi strategis. Selain itu, kebijakan Anies bersifat inklusif dan deliberative yang bukan sekedar melibatkan birokrat dan ahli, namun juga kolaborasi dengan swasta, masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat, para tokoh dan sebagainya. Bahkan merangkul kelompok-kelompok yang berseberangan sekalipun.

Jadi, jiwa seorang nasionalis-demokrat yang dimilikinya menjadikan Anies layak menjadi pemimpin nasional mendatang.  ***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *