Oleh: Gagas Gemilang Ramadhan | Kordinator Aliansi Mahasisswa Nusa Tenggara Barat (AMM NTB)
Prostitusi merupakan salah satu fenomena sosial tertua dan paling kompleks dalam sejarah manusia. Istilah ini tidak sekadar merujuk pada aktivitas seksual berbayar, tetapi juga terkait dengan struktur ekonomi, politik, moral, hukum, dan budaya yang membentuk bagaimana masyarakat memahami tubuh, seksualitas, nilai manusia, serta relasi kuasa. Karena itulah, prostitusi selalu dipengaruhi oleh cara suatu masyarakat mendefinisikan moralitas, ketertiban sosial, dan kebebasan individu.
Di tengah geliat pembangunan pariwisata dan citra religius yang coba dibangun oleh Nusa Tenggara Barat (NTB), praktik prostitusi justru terus menjamur secara terang-terangan. Ironisnya, di tengah eskalasi persoalan ini, kinerja Polda NTB sebagai institusi penegak hukum justru minim inovasi, miskin strategi, dan nyaris stagnan secara struktural.
Prostitusi bukan lagi aktivitas sembunyi-sembunyi di ruang gelap. Ia kini hadir di jalanan, hotel, bahkan dengan mudah diakses melalui aplikasi digital. Tapi yang lebih memprihatinkan adalah cara negara dalam hal ini Polda NTB menyikapi fenomena ini: masih terpaku pada pola lama yang reaksioner, tidak menyentuh akar persoalan, dan menyasar korban paling lemah.
Ini bukan hanya soal moral, ini soal gagalnya negara hadir, sudah saatnya kita berhenti menyederhanakan prostitusi sebagai pelanggaran moral belaka. Prostitusi adalah gejala dari masalah sosial yang dalam: kemiskinan, ketimpangan gender, eksploitasi ekonomi, hingga lemahnya kontrol negara atas ruang-ruang privat dan digital. Ketika Polda NTB masih menjadikan razia sebagai pendekatan utama, kita patut bertanya: di mana peta jalan penanggulangan jangka panjangnya?
Apakah hukum hanya sebatas menangkapi perempuan yang menjual diri di pinggir jalan, lalu memamerkannya ke publik seolah olah itu prestasi? Mengapa jaringan mucikari, pemilik tempat, bahkan pengguna jasa yang justru menjadi kunci mata rantai prostitusi jarang disentuh? Apakah hukum hanya tegas kepada mereka yang tidak berdaya? Jika prostitusi terus tumbuh subur dan aparat hanya menindak ujung permukaannya, maka yang sedang berlangsung bukan penegakan hukum, tapi panggung seremonial. Ada Hukum, Tapi Pilih-Pilih.
Secara normatif, tidak ada kekosongan hukum dalam menangani prostitusi. Pasal 296 dan 506 KUHP memberi ruang untuk menindak pihak yang memfasilitasi prostitusi. Belum lagi UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang seharusnya menjadi pedoman utama dalam kasus eksploitasi seksual.
Namun kenyataannya, penegakan hukum oleh Polda NTB terkesan pilih-pilih. Mereka yang lemah, miskin, dan tidak punya jaringan kekuasaan ditindak tegas, sementara pelaku dengan akses, uang, dan pengaruh justru sering tak tersentuh. Ini menimbulkan persepsi publik bahwa hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Lebih dari itu, pendekatan hukum yang digunakan Polda NTB terlihat terlalu sempit dan tidak progresif. Seharusnya, prostitusi dipandang dalam konteks yang lebih luas: persoalan sosial, ekonomi, dan ketidakadilan struktural yang harus diselesaikan secara lintas sektor dan berkelanjutan.
Saatnya berhenti menertibkan, mulailah membenahi, Polda NTB perlu segera keluar dari jebakan operasi sesaat. Prostitusi tidak bisa ditangani dengan pendekatan razia dan publisitas semata. Dibutuhkan transformasi paradigma: dari penindakan represif menjadi strategi preventif dan humanis.
Beberapa langkah yang mendesak dilakukan antara lain:
1. Fokus penegakan hukum ke arah mucikari, jaringan digital, dan pelindung praktik prostitusi, bukan hanya pekerja seks.
2. Membangun database yang akurat dan terbuka mengenai wilayah dan jaringan prostitusi.
3. Bermitra dengan dinas sosial, tokoh agama, dan LSM untuk rehabilitasi korban dan edukasi masyarakat.
4. Mengembangkan pendekatan berbasis keadilan restoratif, yang memulihkan dan memberdayakan, bukan hanya menghukum.
Kritik Ini Bukan Untuk Menjatuhkan, Tapi Mengingatkan dan mengajak Polda NTB untuk melakukan otokritik. Aparat penegak hukum harus menyadari bahwa legitimasi mereka tidak hanya dibangun dari kekuasaan, tetapi dari kepekaan dan keberanian untuk membenahi sistem dari dalam.
NTB adalah provinsi yang tengah tumbuh dan dikenal religius. Jika prostitusi terus dibiarkan dan penegakan hukum tidak beranjak dari pola lama, maka yang rusak bukan hanya citra daerah, tetapi juga kepercayaan publik terhadap institusi hukum itu sendiri.
Jika prostitusi dianggap sebagai kejahatan, maka yang paling bertanggung jawab bukan hanya pelaku lapangan, tapi juga sistem yang membiarkannya tumbuh. Maka, pertanyaannya bukan sekadar siapa yang harus ditangkap?, tetapi mengapa negara tak hadir sejak awal?
Polda NTB masih punya waktu dan wewenang untuk membenahi diri tapi itu hanya bisa dilakukan jika mereka mau keluar dari zona nyaman dan mulai bekerja dari hulu, bukan hanya sibuk di hilir.






