BEKASI ~ Warga Desa Sukamulya, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Bekasi, dikejutkan oleh pembongkaran sepihak jembatan penghubung vital antar dua desa yang selama ini menjadi nadi pergerakan ekonomi dan sosial masyarakat. Jembatan yang terletak di Kampung Bungur 1 RT 02/06 itu dibongkar tanpa sosialisasi, izin resmi dari dinas terkait, maupun rekomendasi dari instansi teknis seperti Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS).
Jembatan tersebut selama ini menjadi satu-satunya jalur alternatif yang mempermudah aktivitas warga, terutama bagi pelajar, pedagang, dan petani yang mengandalkan konektivitas antar desa. Pembongkaran secara mendadak dan tanpa dasar hukum membuat masyarakat merasa dikhianati. “Kami tidak pernah diajak bicara. Tahu-tahu jembatan hilang. Ini bukan sekadar fasilitas, tapi urat nadi kehidupan kami,” ujar JM Hendro, Ketua LSM PENJARA Indonesia DPC Kabupaten Bekasi kepada awak media, Selasa (9/9/2025).
Dugaan semakin menguat ketika diketahui bahwa pembongkaran dilakukan tanpa adanya dokumen legal formal. Berdasarkan Permendagri No. 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, setiap bentuk pemindahtanganan atau penghapusan aset daerah wajib mendapatkan persetujuan Kepala Daerah dan rekomendasi dari tim penilai aset. Tanpa prosedur ini, pembongkaran dapat dikategorikan sebagai tindakan ilegal dan berpotensi masuk ranah pidana.
Kekisruhan kian memuncak saat warga menemukan bahwa besi bekas bongkaran jembatan dijual, tanpa sepengetahuan publik. Hal ini tercantum dalam berita acara pembongkaran yang mengungkap hasil penjualan besi digunakan untuk renovasi sekretariat Karang Taruna dan sebagian dihibahkan ke Mushalla Darur Rohman. Ironisnya, mushalla tersebut justru mengalami kerusakan akibat pembongkaran.
Puluhan warga turun ke jalan melakukan unjuk rasa di depan Kantor Desa Sukamulya beberapa waktu lalu. Mereka menuntut agar jembatan dibangun kembali dan mendesak agar pelaku pembongkaran ilegal serta penjualan aset negara diproses hukum. “Jangan bodohi rakyat! Kami tahu aturan. Ini aset negara, bukan milik pribadi,” teriak Suryadi, koordinator aksi damai yang juga tokoh pemuda desa.
Yang membuat publik makin terperangah, munculnya surat permohonan hibah oleh Karang Taruna Desa Sukamulya ke Dinas Sumber Daya Air, Bina Marga dan Bina Konstruksi Kabupaten Bekasi, bernomor: 04.45.1/P/KT-DS.SKMLY/E/IX/2025, meminta hibah besi bekas jembatan yang sudah dibongkar, untuk kemudian diberikan ke mushalla. Surat ini muncul setelah jembatan dibongkar dan di hari yang sama saat warga menggelar aksi protes.
Legalitas surat tersebut pun dipertanyakan, apalagi diterbitkan pada hari libur nasional, yaitu 5 September 2025. Praktik administrasi seperti ini menyalahi asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan akuntabel. “Kami mencium ada indikasi manipulasi administratif. Kalau ini dibiarkan, maka budaya hukum di desa akan hancur,” kata JM Hendro, Ketua LSM PENJARA Indonesia DPC Kabupaten Bekasi.
Permintaan hibah tersebut tampak sebagai upaya pembenaran atas tindakan yang sudah dilakukan sebelumnya. Padahal, setiap pemanfaatan atau hibah barang milik negara harus terlebih dahulu melewati proses penilaian, audit, dan mendapatkan persetujuan otoritas berwenang. Jika tidak, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai penggelapan aset negara. Jelas Hendro.
Sementara itu, warga mempertanyakan penggunaan dana hasil penjualan besi bekas jembatan tersebut. Apakah benar dialokasikan untuk kepentingan umum atau justru mengalir ke pihak-pihak tertentu? “Kami tidak pernah dilibatkan dalam musyawarah. Tiba-tiba ada laporan uang masuk, uang keluar. Ini uang negara, harus transparan!” kata ibu Sulastri, perwakilan kaum ibu yang ikut aksi beberapa waktu lalu.
Hingga kini, belum ada klarifikasi resmi dari pihak desa maupun Karang Taruna. Sementara warga terus menuntut audit investigatif dari Inspektorat Kabupaten Bekasi serta intervensi dari aparat penegak hukum. “Kami minta Kejaksaan dan Kepolisian turun tangan. Jangan sampai kasus ini ditutup-tutupi,” tegas JM Hendro, tokoh muda Bekasi yang dikenal vokal membela hak rakyat.
Lebih dari sekadar pembongkaran jembatan, ini adalah krisis kepercayaan terhadap pengelolaan aset publik di tingkat desa. Ketika prosedur hukum diabaikan, ketika masyarakat tidak dilibatkan, maka demokrasi desa telah dicederai. Jembatan Sukamulya mungkin telah hilang secara fisik, tapi suara rakyat akan terus menjadi jembatan menuju keadilan.
Sebagai bentuk konkret, LSM PENJARA Indonesia mendesak agar:
1. Jembatan dibangun kembali secepatnya oleh pemerintah daerah.
2. Audit investigasi dilakukan terhadap pembongkaran dan penjualan aset.
3. Pihak-pihak terkait diproses secara hukum sesuai Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(CP/red)