Sistem Pemilu Wilayah Legislasi, Bukan Wilayah Kekuasaan Kehakiman

Sekjen PKS Habib Aboe Bakar Alhabsyi (ist)

Judicial Review terkait system pemilu yang saat ini berlangsung di Mahkamah Konstitusi melahirkan pertanyaan mendasar “Apakah hanya ada satu penafsiran tentang system pemilu yang dapat berlaku di Indonesia?” Mahkamah Konstitusi sebaiknya dapat secara hati-hati menahan diri untuk masuk dalam ranah yang dapat dikatakan sebagai open legal policy.

Sebab, jika MK secara tegas mengkategorisasi system pemilu sebagai isu konstitusional dan memutus bahwa system pemilu harus dilakukan dengan cara proporsional terbuka atau tertutup, maka putusan tersebut akan menutup pilihan system pemilu lainnya yang mungkin berubah dimasa depan.

Standing PKS
Standing Partai Keadilan Sejahtera, dalam memahami pilihan system pemilu merupakan bentuk dari kesepakatan politik yang dikenal sebagai open legal policy. Konstitusi Indonesia, yakni UUD NRI 1945, tidak memberikan detil tentang pilihan system mana yang digunakan dalam pemilu. Dinyatakan pada Pasal 22E UUD NRI 1945.
UUD NRI 1945 tidak menyatakan mengenai pilihan system pemilu yang semestinya digunakan di Indonesia. Selama syarat-syarat dan ketentuan terkait luber jurdil, dalam jangka 5 tahun sekali, untuk memiliki DPR, DPD dan DPRD dan dilaksanakan oleh komisi yang independen maka hal tersebut sudah memenuhi ketentuan dalam konstitusi. Adapun mengenai system pemilu lainnya, dapat menjadi sebuah pilihan hukum berupa open legal policy berdasarkan Pasal 22E ayat (6) UUD NRI 1945.
Sistem pemilihan umum memiliki berbagai varian misalnya system pluralitas, system proporsional dan system mixed/campuran. Tiap-tiap varian besar tersebut memiliki lagi berbagai modifikasi-modifikasi. Berbagai system ini memiliki berbagai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Sehingga penentuan penggunaan system tersebut sebenarnya dapat dikatakan merupakan bagian dari open legal policy / kebijakan hukum terbuka yang merupakan ranah dari DPR.
Keberadaan open legal policy merupakan bentuk sikap MK yang menahan diri dari ranah yang merupakan kewenangan dari legislatif. Merujuk kepada putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008:
“[3.17] Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, ……., Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable. “
Penentuan terkait system proporsional terbuka maupun tertutup memang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun dalam upaya untuk menentukan pilihan mana yang paling baik digunakan pada Pemilu 2024, maka hal tersebut perlu dilakukan dalam forum yang tepat yakni forum legislasi. Melalui forum legislasi yang mewadahi proses keterlibatan partisipasi public dan kajian mendalam, lembaga perwakilan yang merupakan respresentasi rakyat dapat menentukan pilihan system mana yang dirasa paling mendekati ideal dan aspiratif untuk kondisi saat diputuskan.
Sudah tentu, dalam pemilihan system ideal pun akan ada sejumlah pro dan kontra yang ada di dalamnya. Sisi kontra inilah yang nampaknya diadukan dalam permohonan judicial review Nomor 114/PUU-XX/2022. Di satu sisi, para pemohon menyatakan bahwa keberadaan system prorporsional terbuka telah mengakibatkan pelemahan terhadap partai politik. Namun disisi lain, system proporsional tertutup, sebagai usulan dari pemohon juga memiliki sejumlah kelemahan seperti membangkitkan hegemoni partai.
Membaca permohonan para pemohon, nampaknya menggiring kita untuk memahami hanya one sided of story. Padahal kedua system yang sedang dipertentangkan pada dasarnya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Oleh karenanya, putusan untuk menentukan pilihan system mana yang paling cocok untuk Pemilu 2024 sudah seharusnya dirujuk dan dikembalikan pada ranah legislative dengan menyatakannya sebagai open legal policy.
Adapun dalam Putusan MK 22-24/PUU-VI/2008, Mahkamah Konstitusi tidak mempermasalahkan digunakannya system proporsional terbuka dalam pemilu. Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa pemenang calon anggota legislatif ditentukan dengan suara terbanyak. Sehingga pada dasarnya MK tidak mempersoalkan penggunaan system proporsional terbuka yang digunakan pada pemilu 2004 dan 2009.
PKS Partai Kader
Pendapat yang menyatakan bahwa porporsional terbuka telah berakibat pada pelemahan partai pada dasarnya tidak selalu terjadi. Dalam pengalaman PKS, sebagai partai kader, sistem proporsional terbuka tetap menjadikan posisi partai yang memegang kendali gagasan dari anggota legislative yang ada di forum legislative.
Hal ini dikarenakan, adanya perangkat pengaturan internal partai juga menyediakan mekanisme reward and punishment tersendiri. PKS pun yakin, dalam tiap tubuh partai yang ada di Indonesia juga terdapat sejumlah peraturan internal yang mengikat tiap caleg maupun anggota legislative yang tergabung dalam partai tersebut.
Kemunculan sistem proporsional terbuka, dianggap sebagai solusi dari hegemoni partai politik. Pilihan penggunaan sistem proporsional terbuka membuat pemilih ditempatkan sebagai pemegang mandat utama yang dapat menentukan langsung wakil rakyat yang dipilihnya. Sistem ini memungkinkan pemilih mencoblos langsung nama dari caleg yang mereka inginkan dan jika caleg terebut mendapatkan suara terbanyak dibanding rekan-rekannya sesame caleg di partainya maka caleg tersebut terpilih untuk duduk di parlemen, meskipun partai politik menempatkan namanya di nomor buncit dari prioritas caleg di suatu dapil.
Hal ini berbeda dengan sistem yang pernah ada di Indonesia sebelumnya yakni proporsional tertutup. Dalam sistem proporsional tertutup, para pemilih hanya dapat mencoblos partai politik saja. Kemudian, jika partai politik tersebut dapat mendapatkan kursi di parlemen, maka partai politik yang mnentukan caleg mana yang akan duduk di parlemen.
Keberadaan sistem proporsional tertutup dianggap bermasalah disebabkan minimnya partisipasi pemilih dalam menentukan individu caleg yang mampu merepresentasikan kepentingan pemilih. Dominasi partai politik dalam syistem proporsional tertutup memungkinkan sirkulasi demokrasi yang homogen pada elit yang terbatas.
Keberadaan proporsional terbuka, kemudian mendobrak distribusi elite ini. Pada sistem proporsional terbuka, pemilih tidak lagi membeli kucing dalam karung. Para pemilih diberikan peluang untuk memilh caleg dan bukan sekedar parpol. Hal ini berkontribusi pada lahirnya wajah baru anggota parlemen yang ada di Indonesia.
Permasalahan kemudian muncul manakala penggunaan sistem proporsionalitas terbuka ternyata melahirkan anggota parlemen yang memiliki kapasitas politik yang rendah dan kemampuan pemahaman gagasan kenegaraan yang terbatas. Popularitas dan akseptabilitas memenangkan pertarungan pemilu mengalahkan kualitas dan intelektualitas politik. Banyak anggota legislatif yang terpilih semata mengandalkan popularitas dan bukan merupakan hasil kaderisasi partai politik. Ini menjelaskan mengapa parlemen banyak diisi oleh para selebriti yang memiliki pengalaman politik terbatas dan pemahaman mekanisme bernegara yang minim.
Pada saat yang sama, partai politik hanya digunakan sebagai kendaraan politik tanpa agenda yang solid dengan keterikatan ideologis dan pemikiran yang sangat cair. Alih-alih kuatir dengan fenomena ini, elite partai justru mulai menikmatinya. Elite partai politik merasa diuntungkan dengan popularitas tinggi para calegnya meskipun tidak kompeten. Popularitas caleg secara cepar dapat mendongkrak suara dan kursi di parlemen. Bagi partai politik, memiliki caleg populer merupakan cara instan tanpa perlu bersusah payah melakukan kaderisasi panjang yang melelahkan. Lebih buruk lagi, elite partai politik nampak lebih nyaman dengan anggota-anggota parlemen yang kurang kompeten itu karena lebih mudah dikontrol suaranya di parlemen sesuai dengan keinginan elite partai. Akibatnya anggota parlemen memang terbatas dihitung kuantitasnya yang diperlukan dalam pemungutan suara daripada gagasan-gagasan cerdas dan aspiratif yang disuarakannya.

Mendamaikan Kedaulatan Rakyat dan Peran Partai Politik
Ketika dulu model perwakilan politik (political representation) diperkenalkan, para pemikir politik dan ketatanegaraan memperingatkan resiko menggunakan jenis perwakilan ini yang dapat menyebabkan terciptanya government by amateurs yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh sekelompok orang yang tidak memilki keahlian dan tidak memahami tugas dan fungsinya. Hal tersebut terjadi karena perwakilan politik lebih mementingkan popularitas dan akseptabilitas dibanding kualitas. Orang-orang duduk di lembaga perwakilan semata karena memperoleh suara lebih banyak dibanding lawannya, tidak peduli kemampuan apa yang dimilikinya yang menjadi alasan mereka terpilih.
Untuk mengatasi akibat buruk ini didirikanlah partai politik sebagai salah satu solusinya. Dengan keberadaan partai politik, wakil-wakil rakyat yang dipilih berdasarkan popularitas tersebut dilengkapi dengan agenda-agenda politik kenegaraan, jaringan pemilih dan konstituen yang terlembaga, kajian mendalam dalam pembentukan kebijakan dan lain sebagainya. Dengan kata lain, partai politik telah membuat para wakil rakyat memiliki perjuangan politik yang terstruktur dan sistematis.
Dari formulasi ini terlihat jelas bahwa tugas para caleg adalah membangun basis dukungan berdasar ketokohan dan popularitasnya. Sedangkan partai politik melakukan fungsi-fungsi agregasi kepentingan, kaderisasi kepemimpinan, struktur aspirasi yang kuat dan terlembaga, sosialisasi kebijakan serta jenis-jenis pemberdayaan wakil rakyatnya.
Keduanya harus berlangsung sinergis, tanpa partai politik para wakil rakyat terlihat seperti macan ompong. Memiliki dukungan pemilih tapi tidak memiliki gagasan kuat dan mengakar. Namun partai juga tidak mungkin tanpa suara signifikan untuk terus berpengaruh kuat dalam pembentukan kebijakan. Karenanya, ketokohan dan popularitas para calegnya menjadi bagian penting bagi lolosnya gagasan-gagasan partai untuk menjadi kebijakan negara.
Oleh karena itu, partai politik memang tidak perlu secara dominan menentukan siapa yang harus duduk mewakili partainya di parlemen karena itu seharusnya memang keahlian yang dimiliki para wakil rakyat dalam komunikasi politik dengan konstituennya. Namun demikian, partai politik memiliki tugas pemberdayaan dan pelembagaan yang menentukan gagasan-gagasan yang harus diperjuangkan para wakilnya.
Proporsional terbuka tidak boleh dibiarkan berarti politik tanpa gagasan. Melalui dukungan partai politik yang terstruktur para wakil yang memiliki ketokohan dan akseptabilitas yang tinggi tersebut akan menyurakan gagasan-gagasan yang didukung argumentasi yang kuat dan aspiratif. Penggunaan system proporsional terbuka yang saat ini digunakan harus terus diperbaiki tanpa harus Kembali ke system proporsional tertutup.

Oleh: Habib Aboe Bakar Alhabsyi, Sekjen DPP PKS

Pos terkait