Sisa Borok-borok Televisi Republik Indonesia AKROBAT ANGGARAN TVRI, PECAT SEGERA !

Tulisan ini dikutip dari halaman akun Facebook Cocomeo Cocomeo tertanggal 20 Maret 2020

Baru saja, mBah Coco di japri oleh salah satu komentator Liga Inggris di TVRI. Namanya Justinus Lhaksana. Katanya, sejak September 2019 sampai Februari 2020 ini, honornya sebagai komentator belum dibayar, sekitar Rp 80 juta. Katanya, sudah ketemu, dengan Direktur LPP TVRI, Isnan Rahmanto empat kali. Jawabnya “Segera…segera…segera……”

Bahkan, bukan cuman komentator sepak bola yang belum dibayar. Namun, semua komentator dari semua cabang yang disiarkan TVRI, belum dibayarkan. Dari investigasi mBah Coco, jumlahnya mencapai Rp 924.500.000. Sebagai Belanja Jasa Profesi, Bidang Berita bernomer 522151. Perihal Daftar Tagihan/Kuitansi Yang Tidak Dibayarkan Tahun anggaran 2019.

Setelah dibedah total, maka hutang anggaran LPP TVRI, sebesar Rp 42.197.842.485. Itu terhitung dari anggaran 2019 menuju 2020. Kondisi ini, membuat Direktur Keuangan TVRI, Isnan Rahmanto, pusing tujuh keliling.

Tentunya, ada sebab musababnya. Karena, ternyata “dalang utama”-nya itu, adalah akibat sepak-terjang Direktur Program Berita TVRI, Apni Jaya Putra, yang secara serampangan membeli beberapa program asing berbiaya besar, tanpa perencanaan yang matang. Duet Apni dan mantan Direktur Utama TVRI, Helmy Yahya, sejatinya membuat anggaran LPP TVRI sangat amburadul.

Dalam RDP (Rapat Dengar Pendapat) DPR RI Komisi 1, Helmy Yahya menyatakan hutang Liga Inggris Rp 27 milyar itu, bukan gagal bayar, tapi tunda bayar. Enak bener si Helmy bicara. Padahal Helmy yang ngaku akuntan dan sekolah dibidang keuangan dan perpajakan (STAN), harus paham, bahwa mengelola anggaran negara baik APBN dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), pasti ada aturan mainnya, tidak bisa naif dan fleksibel seperti di perusahaan swasta.

Siapa yang mestinya menjaga ketertiban keuangan di LPP TVRI? Jawabnya, adalah Isnan Rahmanto sebagai Direktur Keuangan, sekaligus sebagai garda depan yang bertanggung jawab dan ikut berperan. Alih-alih mbah Coco hanya mengingatkan Helmy Yahya dan Apni yang gemar belanja program. Justru, Direktur Keuangan, malahan ikut membantu proses amburadulnyanya.

Perlu diketahui, bahwa pembelian Liga Inggris dari MolaTV, ternyata tidak disertai dengan TOR atau Term Of Reference. Bahkan, tidak ada negosiasi harga yang transparan, juga tidak direncanakan dalam RKAT (Rencana Kerja Anggaran Tahunan) 2019, dan tidak ada persetujuan Dewan Pengawas (Dewas) TVRI.

Ada dalam cerita-cerita di medson, Mei 2019, Helmy Yahya dan Apni menyampaikan, bahwa Liga Inggris, akan didapatkan TVRI, dengan cara hibah alias gratis…tisssssss. Para anggota DPR RI, maupun internal TVRI sangat bergembira mendengar berita baik ini. Lalu Dewan Pengawas TVRI penasaran, dan meminta kontraknya. Ternyata, kontrak baru diterima Dewas, tertanggal 5 Desember 2019. Banyak pihak juga kaget ketika direksi TVRI menyatakan, harga hak siar Liga Inggris, 3 juta dolar Amerika, untuk satu musim, dengan tayang Agustus 2019 sampai Mei 2020. Termin pembayarannya, dua (2) kali, di bulan oktober 2019 dan Maret 2020. Kontraknya, berlangsung tiga (3) tahun dengan nilai total 9 juta dolar Amerika. Wow Fantastis banget, dari gratis jadi jutaan dolar?!

Dari hasil jajak pendapat mbah Coco dengan karyawan TVRI. Ternyata, Apni Jaya Putra memang gemar membeli/akuisisi program. Karena relatif mudah dan berdampak ke rating, yang dianggap sebagai monster program, demikian kira-kira justifikasi dari Apni. Selain Liga Inggris, Apni membeli pula hak siar Discovery Channel dan BWF series (serial Kejuaraan Badminton BWF di beberapa negara). Padahal, menurut mbah Coco, TV negara dan pemerintah itu, tak butuh rating, dan tak butuh dinilai oleh lembaga survey. Cukup tivi swasta yang butuh rating.

Dari catatan yang didapat mBah Coco, nilai kontrak BWF, tahun 2019 yang terhutang ke 2020 senilai Rp 5,8 Milyar. Dan, masih banyak dari hutang lainnya. Namun, yang kasihan itu, hutang kepada produk Jasa Profesi kepada pembawa acara senilai Rp 924.500.000. Mosok bayar yang profesional saja masih hutang, dari September 2019 sampi Maret 2020 ini?

Kebetulan, ada presenter yang dihutangi oleh TVRI mengadu ke mBah Coco. Emang mBah Coco itu CEO TVRI, kok ngadunya ke mBah Coco? Siapa yang harus bertanggung jawab? Jelas ini tanggung jawab dari Helmy Yahya, yang sudah dipecat, tapi masih ngotot merasa dizholimi. Dan, tentunya, sohibnya mantan dirut TVRI, yaitu Direktur Keuangan TVRI Isnan Rahmanto dan Apni Jaya Putra sebagai Direktur Program dan Berita sebagai yang punya gawe.

Drama ini belum berakhir, Apni dan Isnan sedang mati-matian menyelamatkan jabatannnya di TVRI, dengan berbagai manuver. Berbagai pencitraan positif digaungkan Apni Isnan dan Helmy Yahya.

Versi mBah Coco, sebenarnya dibalik pencitraan ini, pasti ada udang dibalik batu alias “udang ndelig”. Bom waktu sedang menanti, akibat dari akrobat beli program, hutang anggaran dan kesalahan prosedur. Audit investigasi dan pemeriksaan yang berwenang akan membuka tabir dan mengakhiri drama bak sinetron ini.

Saran mBah Coco, Dewan Pengawas harus segera memecat Apni Jaya Putra dan Isnan Rahmanto. Kalau tidak segera dipecat, administrasi LPP TVRI semakin kacau-balau, dan tidak tertutup menjadi bumerang bagi seluruh karyawan TVRI. Saran tambahan, Dewan Pengawas, segera rekrut segera Direktur Utama yang baru. Jangan mau seenaknya di stop oleh DPR. Kan, itu melanggar etika…. Hehehehehehe…….

Yon Moeis, Matt Bento, Teguh Imam Suryadi, Rosihan Nurdin, Agus Asianto, Asti Larasati, Amazon Dalimunthe Tba, Wempi Fauzi, Ika Sastrosoebroto, Slamet Oerip Prihadi, Tebe Adhi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *