Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjatuhkan vonis kepada Wakil Ketua KPK Lili Pantuli atas pelanggaran kode etik yang dilakukannya. Pelanggaran ini masuk kategori pelanggaran berat, bagaimana tidak, Lili Pantuli selaku Wakil Ketua KPK justru dengan sengaja melakukan penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi.
Ia bahkan nekat menjalin komunikasi langsung dengan pihak yang perkaranya sementara di tangani KPK, suatu hal yang sangat haram (terlarang) dilakukan pimpinan KPK. Lili Pantuli sendiri mengakui semuanya dalam sidang etik yang digelar dewas KPK terhadap dirinya, artinya dia memang melakukannya.
Kejadian ini semakin menyadarkan banyak pihak bahwa tidak banyak yang bisa diharapkan dari kepemimpinan KPK periode ini, bagaimana mungkin seorang wakil ketua yang notabenenya paham dengan baik kode etik yang harus ditaati petinggi KPK justru dengan entengnya dilanggar.
Di bagian ini, pikiran kita susah mencerna bagaimana mungkin seorang pimpinan KPK yang seharusnya memberikan contoh kepada bawahannya, bahkan kepada seluruh rakyat Indonesia, justru berbuat seperti ini, mungkinkah kepentingan pribadi sudah mengalahkan integritas yang seharusnya dijunjung tinggi? Dari kasus ini, kita semua sudah mengetahui jawabannya.
Integritas atau akhlak merupakan hal paling mendasar yang wajib dimiliki oleh semua orang yang terlibat di KPK, terlebih seorang pimpinan, integritas mereka seharusnya tiga kali lipat lebih kuat dibandingkan bawahannya. Integritaslah yang bisa menjamin seorang penggiat KPK tidak tergoda kepada tindakan yang bisa diartikan mengarah atau melemahkan tindakan pemberantasan korupsi.
Bila integritas rapuh maka lembaga antirasuah juga akan turut rapuh tersapu badai besar korupsi yang kian menggila, apa yang yang dilakukan Lili Pantuli sebagai Wakil Ketua KPK jauh dari integritas yang kuat, sebaliknya hal itu menunjukkan betapa rapuhnya integritas, integritas tidak bisa bertahan saat diperhadapkan dengan kepentingan pribadi.
Lalu masih layakkah kita berharap kepada KPK setelah munculnya kasus ini, berharap sih sah-sah saja, tapi harapannya jangan sampai ketinggian. Karena hanya akan berujung kecewa. Paling tidak kita berharap KPK tidak mengalami kebangkrutan di periode ini, selebihnya jangan terlalu berharap.
Kasus Lili Pantuli mengkonfirmasi keraguan banyak pihak bahwa seleksi pimpinan KPK sarat dengan kepentingan, bahwa seleksi pimpinan KPK diarahkan untuk memilih orang-orang yang bisa dikendalikan atau paling tidak dilobi untuk kepentingan tertentu, untuk mewujudkan hal itu maka pimpinan KPK tidak harus diisi dengan orang yang berintegritas kuat, karena orang seperti ini teramat susah dilobi apalagi dikendalikan.
Ini masa dimana rakyat harus benar-benar serius mengawal KPK, rakyat harus turut aktif mengawasi semua gerak-gerik pegawai dan pimpinan KPK, memastikan bahwa tidak ada tindakan mereka yang bisa mengarah pada pelemahan gerakan pemberantasan korupsi.
Bila menemukan maka langsung suarakan sekeras mungkin, biar rakyat seluruh Indonesia mengetahuinya, kalau dulu langkah kita mengawal KPK dengan membelanya dari pihak luar yang berupaya melemahkannya, maka sekarang langkah itu tidak cukup, oknum dalam KPK juga telah ada yang terlibat melemahkan KPK, pencurian barang bukti oleh orang dalam KPK sendiri dan kasus penyidik SRP sudah cukup membuktikan gerakan pelemahan yang terjadi dari dalam itu, saatnya KPK kini perlu diawasi.
Bisakah berharap kepada Presiden untuk menguatkan KPK, bisa saja, tetapi larangan Presiden untuk tidak memberhentikan pegawai KPK hanya urusan TWK yang kemudian tidak ditaati oleh pimpinan KPK sendiri sudah cukup menjadi jawaban dari harapan tersebut.
Zaenal Abidin Riam, Pengamat Kebijakan Publik/Koordinator Presidium Demokrasiana Institute