Revolusi Kembali Menjadi Bangsa Indonesia – Sebuah Catatan Metafisika (1)

REVOLUSI KEMBALI MENJADI BANGSA INDONESIA AGAR TAK TERPERANGKAP DALAM KEADAAN ‘MERUGI’

Perasaan senasib akibat penindasan yang dialami dan keinginan untuk hidup lebih baik dimasa depan inilah yang mendorong kaum terjajah, pada tanggal 28 oktober 1928 menyatakan dirinya sebagai Bangsa Indonesia.

Bacaan Lainnya

Bangsa Indonesia pun lahir setelah sebelumnya dihinakan dan dibuat frustasi oleh dominasi kolonial dengan satu tujuan “mengangkat harkat dan martabat KAUM PRIBUMI “. Inilah Ruang I proses kelahiran bangsa indonesia.

Persoalan pun muncul, setelah bangsa ini lahir ternyata tak pernah membangun lumbung yang merupakan kearifan budaya dan koherensi manusia dengan alam, sekaligus merefleksikan kedaulatan rakyat dalam membangun diri dan lingkungan, tetapi langsung mendirikan negara.

Terjadi loncatan yang menyimpang di mana ruang I langsung menuju Ruang III. Akibatnya, negara tidak tegak berdiri diatas kedaulatan rakyat dan dibangun berdasarkan nafsu kekuasaan belaka.

Inilah awal penyimpangan bangsa indonesia untuk pertama kali dalam perjalanan sejarah :negara yang dibentuk tidak dapat menjadi organisasi yang mengimplementasikan nilai – nilai kebijaksanaan sebuah bangsa sebagai suatu sistem nilai tetap dan terintegrasi, yang mampu mendorong adanya etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

KAUM PRIBUMI sengaja ditulis dengan huruf besar karena istilah tersebut menunjukan sarkasme sebuah bangsa akibat penyimpangan loncatan diatas, yang kemudian secara psikologis melahirkan keinginan penguasaan atas tanah tempat manusia hidup serta menciptakan sifat eksploitatif pada sumber–sumber kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

Akibatnya, istilah kaum pribumi ini membuat diskrepansi antara keinginan mengangkat harkat martabat hidup dengan ketidak adilan dan ketidak sejahteraan dari adanya sifat eksploitatif dan manipulatif dalam ‘penguasaan hak atas tanah’.

Kondisi ini bertambah parah dengan adanya pergantian dari UUD’45 menjadi konstitusi RIS, kemudian berlanjut menjadi UUDS 50 yang akhirnya berganti nama menjadi ‘ Amandemen UUD’45 ‘. UUD’45 yang dibangun dari filsafat, budaya dan spritualitas bangsa digantikan oleh konstitusi yang berisi semangat kapitalisme.

Bangsa indonesia pun masuk dalam jaring – jaring kapitalisme yang serba materi dengan lingkaran setan kebutuhan untuk membutuhkan. Negara direduksi sedemikian rupa sehingga terjebak dalam drainase kapitalisme untuk menguasai sumber daya alam yang ada. Dan elit politik berubah menjadi ‘leviathan’ dengan kekuasaan begitu besar sehingga memiliki wewenang menentukan hukum–hukumnya sendiri.

Kapitalisme yang melahirkan sikap hidup serba materialistis, kompetitif , pragmatis yang dilengkapi dengan kerakusan, tentu saja berseberangan jalan dengan sifat asli bangsa indonesia yang welas asih, nrimo ing pandum, sepi ing pamrih meski rame ing gawe juga.

Jadilah Indonesia sebuah bangsa yang asing dengan dirinya sendiri. Kelihatannya aneh dan lucu, di ruang III antara bangsa indonesia dengan negara berdiri berhadapan sambil masing – masing pihak memalingkan muka. Perjalanan bangsa pun stagnan karena negara tak mampu menjadi jembatan yang mampu mengantarkan bangsa indonesia pada masyarakat adil dan sejahtera.

Suatu penilaian lain yang dramatis dalam ruang III mengenai negara indonesia dengan kapitalisme sebagai kiblatnya, menampilkan banyak wajah yang tidak sesuai dengan gambaran budaya bangsa indonesia itu sendiri.

Dalam konteks uraian hegemoni kapitalis terjadilah situasi yang manipulatif, keadilan berarti ketidaksamaan, akal berarti pemenuhan kepentingan pribadi, kemerdekaan berati keserakahan.

Impian tentang masyarakat yang ‘ gemah ripah loh jinawi ‘ meskipun masuk akal untuk diwujudkan, sayangnya tidak dapat menjadi tujuan ideologis negara dan hanya menjadi sekedar retorika belaka.

Kondisi ini menjadi semakin parah dengan adanya praktek–praktek kapitalisme yang direstui negara untuk menerapkan ukuran–ukuran ‘ demi kemanusiaan‘, bersandiwara seolah–olah mematahkan ujung pisau tajam persaingan bebas agar bisa menjadi topeng yang menyembunyikan wajah buruk mereka dari bangsa indonesia.

Dari perjalanan bangsa yang terjadi dari mulai lahir sampai saat ini, dari ruang I sampai ruang lainnya, kita melihat bangsa indonesia mengalami ketidak keseimbangan karena tidak ada ekuivalensi antara keinginan untuk mengangkat harkat dan martabat dengan keadilan dan kesejahteraan dalam realitasnya.

Disamping itu, bangsa ini pun mengalami ketidak sempurnaan karena bergerak hanya diwilayah materi, mengabaikan sumber–sumber rohani dalam memberikan makna hidupnya.

Bangsa ini telah mengalami ketidak seimbangan dan ketidak sempurnaan, maka “demi waktu”, sesungguhnya bangsa indonesia dalam keadaan merugi bila situasi dan kondisi ini diteruskan“.

Situasi dan kondisi inilah yang melahirkan sebuah gerakan baru pada segelintir anak – anak bangsa untuk menggali sumber – sumber pemikiran yang ada pada tradisi, filsafat dan religiuisitas bangsa indonesia sebagai upaya menjaga keberlangsungan hidup bangsa indonesia dalam sebuah tema “ Revolusi Kembali Menjadi Bangsa Indonesia “.

Selanjutnya di halaman berikutnya:

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

2 Komentar