Resesi Global, Akankah Pemilu dan Pilkada Indonesia Menjadi Solusinya?

Hal pertama yang menjadi penyebab terjadinya resesi ekonomi adalah terjadinya guncangan ekonomi secara mendadak sehingga menimbulkan masalah keuangan yang sangat serius.

Seperti guncangan ekonomi yang beberapa tahun lalu pernah terjadi akibat pandemi yang melanda dunia. Sebagian besar negara di dunia merasakan dampak langsung dari pandemi tersebut pada ekonomi. Kondisi tersebut telah membuat perekonomian negara menjadi buruk dan menghadapi resesi.

Ditambah terjadinya perang antara Rusia dan Ukraina di tahun 2021 yang sudah berjalan setahun lebih. Hal ini akan berdampak pada aliran uang yang ada di Indonesia.

Sehingga, jika perang yang terjadi berlarut-larut dapat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS mengalami pelemahan.

Jadi kemungkinan jika perang berlarut-larut, ya mata uang rupiah akan terdepresiasi terhadapt dollar AS, Jadi nilai tukar rupiah yang melemah sekarang bukan karena kinerja rupiah yang buruk, melainkan karena dampak perang yang terjadi.

Dampak perang Rusia-Ukraina yang paling terasa bagi Indonesia salah satunya adalah pada bidang ekspor. Nilai ekspor Indonesia ke Rusia pada bulan Januari berada di angka 170 juta dollar AS, sedangkan untuk Ukraina sebesar 5 juta dollar AS. Karena perang, Rusia akan terkena embargo perdagangan, sehingga Indonesia tidak dapat melakukan ekspor ke Rusia.

Jadi jika berkaca kepada inflasi itu maka kondisi ini tentu sangat membutuhkan penangan yang serius oleh pemerintah pusat dan bekerja sama dengan daerah, mengingat bahwa priseden Jokowi Dodo dalam pidato nya sudah mewanti-wanti bahwa kita terancam akan terjadinya krisis pangan.

Menteri Pertanian dalam berbagai dialog yang di ikuti nya menyatakan ” was-was dengan keadaan sekrang ini di tambah cuaca yang tidak menentu kadang hujan yang membuat banjir kadang panas yang membuat kebakaran.”

Yang amat ditakutkan adalah seperti yang suda terjadi di Argentina, Zimbabwe, Ekuador dan di Srilangka. Srilangka contohnya yang telah mengalami krisis pada minyak gorang sehingga terjadi sebuah kondisi sosial, ekonomi bahkan politik yang amat buruk seperti hal nya subsidi PLN di cabut banyak nya kemunculan diktator di kalangan orang kaya, korupsi terjadi dimana sehingga mengakibatkan kondisi sosial kacau balau.

Jika merujuk pada utang Indonesia di kuartal Per November 2022, Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah Indonesia telah mencapai Rp7.554,2 triliun di tambah utang BUMN mencapai 2.000 Triliun hingga 3.000 triliun, tentu ini akan berimplikasi pada utang yang akan di tanggung oleh pemerintahan 2024 nantinya.

Sementara Data kemiskinan di Indonesia sekrang sudah mencapai ±40 % dan merekalah yang sangat merasakan ketika inflasi akan terjadi nantinya, para pengusaha juga ketika tak mampu bersaing dalam siklus pasar maka akan banyak yang akan guling tikar akibat dari produksi yang mereka sediakan di pasaran tak lagi menjadi kebutuhan masyarakat di kondisi inflasi.

Pada kondisi ini kebijakan makro yang berorientasi pada penanganan inflasi sangat di butuhkan, jika melihat konsep pemerintah yakni salah satunya adalah hilirisasi industri dan untuk menghadapi kondisi terburuk yang akan nanti di hadapi oleh Indonesia sangat tidak menguntungkan bagi masyarakat bawah, mengingat pasal 33 UUD 1945 tak lagi di jalankan oleh pemerintah hari ini.

Ditambah lagi ketika inflasi terjadi diaman-mana kediktatoran bagi mereka yang kaya akan semakin merajalela di tengah kondisi sosial masyarakat Indonesia.

Mungkinkan Pilkada dan Pemilu serentak di tahun 2024 akan menjadi solusi bagi bangsa Indonesia untuk menghadapi gelombang krisis ekonomi, sosial, dan politik yang sedang melanda dunia sekrang ini???

Mari kita analisis siklus ketatanegaraan negara kita dalam panggung politik menuju politik 2024.

Tahun 2019 adalah pemilu serentak. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pemilihan anggota legislatif (DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan DPD), dilaksanakan bersama dengan pemilihan presiden dan wakil presiden.

Hal ini di lakukan untuk Bertujuan menghemat biaya dan efisiensi pelaksanaan, tetapi dalam realitasnya Pemilu 2019 ini menjadi bomerang bagi penyelenggara, bagaimana tidak tercatat sebagai pemilu yang paling banyak memakan korban dari kalangan petugas pemilu, ada 894 petugas Pemilu meninggal dunia dan 5.175 petugas Pemilu mengalami sakit.

Sejumlah pihak bahkan menyebut, pemilu yang digelar 5 April 2019 itu sebagai pemilu terburuk sejak era reformasi dan Orde Baru.

Dalam menghindari kejadian yang serupa di tahun 2019, maka DPR RI komisi II menyepakati penambahan anggaran kepada KPU (Komisi Pemilihan Umum) sebesar 7,86 triliun dan BAWASLU (Badan Pengawas Pemilu) 6.06 triliun, dengan jumlah anggaran keseluruhan sebesar 76,6 triliun.

Dengan jumlah angka yang sangat fantastis ini tentu kita harapkan bahwa pemilihan umum nanti bisa berjalan sesuai konstitusi yang ada juga bisa mencegah terjadinya gelombang kematian seperti 2019, dan tentu harapannya bisa melahirkan pemilu yang LuBer dan JurDil.

Mengutip kalimat yang di sampaikan oleh Lord Acton bahwa, “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely” (Kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan absolut korup seratus persen).

Tentu kekuasaan yang absolut bagi Indonesia itu sudah berlalu setelah dalam kalkulasi matimatika yakni runtuhnya orde baru tahun 1998 yang berkuasa selama 32 tahun, tetapi demokrasi kita masih mengajarkan bagaimana pemimpin di bangsa ini tak lagi mampu menerima kritikan.

kekuasaan yang di ciptakan oleh demokrasi era sekarang akan mengarah ke many of absolut dimana semua akan melakukan transaksional dalam konstalasi bahkan untuk kalah pun harus banyak mengeluarkan uang.

Realitas politik seperti itu tak lagi tabu di tengah-tengah bangsa kita bahwa many of pawer adalah kunci dari kemenangan para politisi. Sehingga sosial of pawer tak di butuhkan lagi di dalam masyarakat sebagai alat untuk mencapai kepemimpinan dalam negeri kita.

Di tambah lagi ada 3 isu sentral yang mengalami pergeseran makna dalam dunia politik moderen, geopolitik,ruang politik dan waktu politik.
Sehingga tak di elakan bahwa sosok pemimpin yang kita gadang menjadi representasi kabajikan ternyata hanya mampu membuat sebuah duplikat kebohongan publik yang berbanding terbalik.

Di abad pertengahan Plato perna menyampaikan dalam karyanya, bahwa kehancuran negara itu akibat tidak terciptanya keselarasan antara kemampuan diri (skil) menjadi seorang negarawan tapi memaksakan diri untuk tampil sebagai negarawan yang dalam dunia sosial nya di kenal sebagai bisnismen sehingga ke dua entitas ini bercampur dalam satu sistem sehingga melahirkan entitas ke 3 atau entitas baru yang di namakan bisnis politik.

Pada ahirnya perpolitikan kita di isi oleh para bisnismen sehingga pengelolaan negara tidak lagi merujuk pada keadilan sosial tapi mengarah pada kapitalizem semata.

Contoh yang bisa kita berikan pada perhelatan daerah yakni pemilihan kepala daerah, Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada menjelas “Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum angka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.

Jika ingin mengantongi 20% sebagai syarat maka tentu para calon akan melakukan segala upaya untuk mendapatkan syarat tersebut, tentu hal ini akan mengarah ke transaksional lagi. Semua akan mendapatkan jalan buntu pada material.

Jadi lembaga Trias politika akan menjadi lingkaran para kapitalis semata, yang berduit itulah yang terpilih, dan yang tidak berduit silahkan duduk manis sebagai penonton saja.

Hal ini tentu tidak menjadi kan kita untuk pesimis terhadap kondisi bangsa ini pada bidang politik, justru kita sebagai kaum akademisi perlu berpikir keras dan panjang agar bagaiamana kita bisa menemukan jalan baru untuk era baru bagi demokrasi kita.

Salah satu cara kita adalah bagaiaman membangun Sumber Daya Manusia dengan baik, sebagai dasar langkah kita menuju zaman pencerahan demokrasi Indonesia yang telah tumbuh 24 tahun lamanya.

Hanya dengan cara membangun Sumber Daya Manusia yang baik kita bisa meningkat taraf kesadaran, tidak hanya sampai di situ tetapi edukasi produktif di tengah-tengah masyarakat perlu di lakukan.

Akibatnya ketika IQ masyarakat menikmat maka semua yang bersifat transaksional sekalipun tidak hilang tetapi pelan akan mengalami penurunan jumlah nominal yang di keluarkn dalam pesta demokrasi kita, dan jika hal itu terjadi tentu potensi untuk korup pula akan semakin menipis.

Di sisi lain lembaga KPU dan bawaslu harus kerja intens dalam menciptakan prinsip pemilu seperti yang telah di atur dalam UU pemilu, tidak berpihak dan tidak terima interfensi dari pihak manapun.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *