Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu, I Nyoman Parta PDIP: Konflik Norma

JAKARTA – Kapoksi Badan Legislasi DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, I Nyoman Parta, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah mengalami konflik norma dengan UUD 1945 tentang pemilu yang menyatakan bahwa diselenggarakan setiap lima tahun sekali.

“Konflik norma berikutnya sifat dari keputusan MK bersifat Final dan mengikat, Jika keputusan MK harus dilaksanakan, karena sifatnya itu walaupun bagaimanapun kontroversialnya bahkan ada yang menyebut inkonstitusional sekalipun, namun harus dilaksanakan. Seperti contoh putusan syarat umur calon Wakil Presiden yang memuluskan pencalonan Gibran, tetap dilaksanakan,” ujar I Nyoman Parta dalam keterangan persnya, Selasa (1/7/25).

Konflik Norma dalam Putusan MK 135

Dalam UUD 45 Pasal 22E dinyatakan
(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.:

Putusan MK No: 135/PUU-XXII/2024:

Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden diselenggarakan secara serentak untuk memilih anggota DPRD Provinsi, Anggota DPRD Kabupaten/Kota, Gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota.

“Jika Pemilu DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan pada tahun 2029 berarti frasa dua tahun atau paling lama dua tahu enam bulan dari 2029 adalah 2031,” ungkapnya.

Politisi asal Bali ini menerangkan, MK memang tidak menyebut angka tujuh tahun, namun dengan Pemilu 2029 sudah dipisah dan hanya berlaku pemilu Nasional, maka jabatan DPRD harusnya berakhir 2029. Namun, sambungnya, karena Pemilu untuk DPRD tidak dilakukan lalu bagaimana cara mengisi kekosongan itu? Karena pemilu daerah baru dilaksanakan dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan kemudian?

“Mungkinkah jabatan DPRD dikosongkan? Tentu tidak, namun jika diperpanjang lagi dua tahun atau paling lama lagi dua tahun enam bulan, maka jabatan DPRD menjadi tujuh tahun tanpa ada melalui mekanisme pemilu dan inilah yang berpotensi bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945,” terangnya.

Sesuai pasal 24C UUD 45 ayat 1, kata I Nyoman Parta, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang­undang terhadap Undang­ – Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang­ Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

“Frasa menguji UU terhadap UUD yang dimaksud adalah MK menguji jika ada UU yang bertentangan dengan UUD bukan malah membuat keputusan yang berpotensi bertentangan dengan UUD,” herannya.

“Masalahnya jika MK melebihi kewenangannya belum ada mekanisme untuk mengoreksi keputusannya. Padahal dalam sumpah/janji hakim MK adalah “memegang teguh UUD NRI 1945″,” pungkasnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *