JAKARTA – Gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sistem Pemilu, tentang adanya keinginan mengembalikan sistem pemilihan proporsional terbuka kembali ke sistem proporsional tertutup. Keinginan tersebut, menurut Direktur Rumah Narasi Indonesia (RNI) Apdal Ghifari bukanlah solusi tepat jika alasannya adalah penguatan kelembagaan partai politik.
“Karena untuk penguatan kelembagaan harusnya diserahkan pada mekanisme partai masing-masing untuk membangun sistem rekruitmen dan kaderisasi yang baik, sehingga walaupun ada pertarungan bebas individu dalam sistem proporsional terbuka, paling tidak individu ini merupakan hasil rekrutmen dan melewati sistem kaderisasi partai,” ujar Apdal Ghifari dalam keterangan persnya, Jakarta (2/1/2023).
Dengan adanya proporsional tertutup, kata Apdal, justru berpotensi melemahkan semangat seseorang untuk masuk dalam kontestasi pemilu. Karena individu, sambungnya, tidak terlihat sebagai aktor yang tengah berkontestasi, khususnya politisi muda yang punya ide dan gagasan yang baik dan ingin mengembangkan kapasitasnya.
“Mereka akan dihadapkan pada tembok stuktural partai,” ungkap Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional ini.
Kalau dalam kontestasi jabatan stuktural partai, lanjutnya, boleh saja melihat pada kemapanan seseorang kader dalam partai, namun kalau dalam ranah jabatan publik seharusnya sistem yang terbangun adalah meristokrasi dan egaliteralisme. Semuanya, sambungnya, punya hak untuk berkompetisi karena yang menjadi substansi pertarungan adalah soal ide dan gagasan.
“Kita sudah pernah menerapakan sistem proporsional tertutup dan hasilnya tidaklah lebih baik ketimbang sistem proporsional terbuka seperti saat ini. Justru pengalaman masa lalu menggambarkan sistem kepartaian yang elitis karena jarang menampilkan figur kader ke publik, karena sistem proporsional tertutup secara otomatis tidak memberikan ruang kepada seluruh calon anggota parlemen untuk tampil ke publik menawarkan buah pikiran dan gagasanya, karena sistem ini hanya memungkinkan untuk memilih partai bukan individu,” tandasnya.
Untuk itu, Apdal menegaskan, sistem proporsional tertutup juga membuat rakyat sebagai pemilik suara penuh dalam pemilu tidak bisa menilai akuntabilitas anggota parlemen yang sudah duduk di parlemen. Walaupun kinerja anggota parlemen itu buruk, masih sangat besar potensinya untuk terpilih kembali di pemilu selanjutnya, selama anggota parlemen itu masih memiliki pengaruh kuat dalam partai maka dia akan tetap akan diusulkan partai sebagai pemegang kursi. Dan ini terbukti ketika orde baru banyak politisi yang lama melanggeng di parlemen walaupun kinerjanya tidak jelas, berbeda dengan sistem proporsional terbuka membuat kesempatan rakyat untuk menilai anggota parlemen.
“Dengan demikian akan memacu para anggota parlemen untuk bekerja dengan serius karena ada kontrol dari publik, apalagi saat ini banyak medium yang bisa digunakan masyarakat untuk melihat dan mengontrol anggota parlemen, seperti media sosial, jadi proporsional tertutup ini tidak bersenyawa dengan arus demokrasi saat ini yang serba terbuka, justru itu menunjukkan sebuah kemunduran,” pungkasnya.