Praktisi Hukum: Judicial Review Terhadap Putusan MK Tidak Bisa Dilakukan

Anggota Tim Hukum Merah Putih, C. Suhadi (Tengah, sambil menunjuk) saat memberikan keterangan kepada wartawan di Gedung Mahkamah Konsitusi (MK), Jumat (13/10/2023)

JAKARTA – Langkah Denny Indrayana mengajukan permohonan uji formil atas Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal syarat capres-cawapres yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 16 Oktober 2023 lalu, dinilai salah alamat dan mencerminkan tidak pahamnya Denny akan peran dan fungsi MK.

“Tidak bisa dilakukan judicial review terhadap produk putusan Mahkamah Konstitusi karena sifat putusannya final and binding (mengikat) serta pertama dan terakhir. Judicial review bisa dilakukan terkait produk Undang-Undang,” kata C. Suhadi, Koordinator Tim Hukum Merah Putih, kepada awak media di Jakarta, Senin (13/11/2023).

Bacaan Lainnya

Pengacara senior ini menguraikan, produk UU adalah sebuah produk hukum yang dibentuk oleh DPR sebagai legislatif dan pemerintah (eksekutif). Jadi harus dibedakan, judicial review terkait suatu produk UU atau putusan MK.

“Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal syarat capres-cawapres adalah putusan MK. Jadi, tidak bisa di judicial review,” tegasnya.

Menurutnya, kalau putusan tersebut bisa di judicial review (JR), artinya JR dianggap sebagai lembaga banding.

“Denny sudah salah kaprah, bisa jadi blunder nanti. Karena putusan harus ditafsir secara an sich dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Tidak ada upaya hukum di atasnya lagi,” tegasnya.

Suhadi juga meminta MK menolak permohonan tersebut agar tidak menjadi blunder. Seperti diketahui, hingga kini permohonan Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum tata negara UGM, hingga kini belum diregistrasi oleh Mahkamah Konsitusi.

Namun, Denny dan Zainal mengajukan diri untuk menjadi pihak terkait dalam gugatan yang diajukan oleh Brahma Aryana, mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor 141/PUU-XXI/2023.

Patut diduga, gencarnya Denny Indrayana mengajukan uji materi ada kaitannya dengan statusnya yang saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka.

“Bisa jadi ada bargaining dengan pemerintah. Karena itu, tidak usah diterima, tolak saja. Jangan dikasih angin. Nanti dia bisa buat macam-macam lagi sesukanya,” tandasnya.

Putusan MK

Dijelaskan, terkait permohonan uji materi Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang telah diputus MK, sudah menjadi Putusan.

Dia menambahkan, kalaupun keputusan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), menilai ada pelanggaran yang dilakukan Hakim MK, namun tidak terpengaruh dengan putusan yang sudah dibuat.

“Harus dibedakan persoalan etik dengan putusan. Tidak bisa juga MKMK mengurus soal putusan yang sudah dibuat,” imbuhnya.

Suhadi menjelaskan, putusan MK itu bersifat general dan untuk semua rakyat Indonesia, tidak bisa juga dikonotasikan hanya karena untuk mengusung Gibran sebagai Cawapres Prabowo.

“Harus dimaknai yang digugat di MK kan terkait pasal, bukan bicara orang perorang. Coba cek Pasal 169 huruf q, apa bicara soal Gibran? Kan tidak ada sama sekali. Mereka (penggugat) juga sebenarnya mengerti, tapi mungkin hanya pura-pura bodoh,” tukasnya.

Terkait tudingan adanya conflict of interest dibalik putusan MK, Suhadi menjelaskan, putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, bukan gugatan dari PSI, tapi kalau tidak salah gugatan dari mahasiswa.

“MK memutuskan itu untuk seluruh rakyat Indonesia, bukan Gibran. Kalau mau dihubung-hubungkan, ya semua putusan bisa dikait-kaitkan. Rusak negara ini kalau begitu modelnya,” pungkasnya. ***

Pos terkait