Sejak mengikuti Pemilu pertamanya di tahun 2009, Gerindra bersama dengan Prabowo Subianto terus memantapkan posisinya sebagai partai besar di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari ‘Faktor Prabowo’ yang selalu berlaga di Pemilu Presiden dari masa ke masa memberikan pengaruh dominan bagi perolehan suara Gerindra.
Ketika Prabowo menjadi Cawapres Megawati di tahun 2009, Gerindra yang notabene partai baru mendapatkan 26 kursi dengan presentase suara nasional mencapai 4,46%. Di tahun 2014 ketika Prabowo mencalonkan dirinya sebagai Capres untuk pertama kalinya, Gerindra loncat menjadi partai ketiga dengan jumlah perolehan kursi mencapai 73, presentase suaranya 11,81%.
Pada Pemilu tahun 2019 perolehan suara Gerindra berhasil menyalip suara Golkar dengan selisih kecil, presentase total suara nasional Golkar ada di 12,31% sedangkan Gerindra 12,57% ada perbedaan ratusan tibu suara diantara keduanya, akan tetapi posisi Gerindra tetap berada di tempat ketiga karena kalah jumlah perolehan kursi.
Tren positif ini bertahan hingga menjelang Pemilu tahun 2024 saat ini, selain ada Faktor Prabowo, Gerindra saat ini dikatrol oleh Efek Jokowi dan Efek Gibran. Pengaruh Jokowi diperoleh sejak masuknya Prabowo kedalam kabinet pemerintahan Presiden Jokowi di tahun 2019, ada juga dukungan implisit yang selama ini disampaikan Jokowi di berbagai kesempatan, “Sekarang jatahnya Pak Prabowo,” ujar Jokowi.
Efek Jokowi kemudian semakin terasa dengan ditetapkannya Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, sebagai Cawapres Prabowo Subianto di Pemilu Presiden tahun 2024. Pasangan Prabowo-Gibran saat ini unggul di berbagai survei, jauh mengungguli dua pasangan lainnya.
Adanya Faktor Prabowo, Efek Jokowi dan Efek Gibran, bisa jadi variabel yang kemungkinan besar akan mengantarkan Gerindra menjadi pemenang Pemilu di tahun 2024. Peluang ini bisa saja terjadi jika tren suara PDIP dan Golkar tetap turun secara signifikan, berdasarkan hasil survei Indikator Politik pada Januari 2023 presentase tingkat keterpilihan PDIP sangat tinggi di angka 21,9% tapi anjlok di angka 16,5% di April 2023 dan hasil survei terakhir pada Desember 2023 di angka 19,1%.
Suara Golkar lebih ‘mengenaskan’ diberbagai hasil survei tradisi posisi kedua Golkar digeser oleh Gerindra, pada Januari 2023 suara Golkar anjlok di angka 6,7% dan berdasarkan hasil survei terakhir di bulan Desember 2023, suara Golkar ada di angka 9,3%.
Tren Gerindra justru terus naik, elektabilitas Gerindra sempat berada di posisi 10,3% pada September 2022, kemudian naik mencapai 17,3% sekitar Juli 2023, dan kembali naik 18,2% pada Desember 2023. Dan hasil survei di berbagai lembaga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, Gerindra ada di posisi kedua dengan selisih suara yang tipis dengan PDIP.
Hasil survei CSIS pada Desember 2023 menunjukkan elektabilitas PDIP 16,4%, mengungguli Gerindra di posisi kedua dengan 14,6%. Di posisi ketiga ada Golkar dengan 11,9%. Lembaga Survei Jakarta (LSJ) bahkan merilis hasil survei elektabilitas partai politik yang menempatkan Gerindra sebagai pemenang dengan hasil suara Gerindra unggul 21,8% disusul PDIP 18,5% dan di posisi ketiga Golkar dengan 10,1%.
Artinya ada potensi ‘kemenangan’ bagi Gerindra di Pemilu tahun 2024. Dengan tren positif yang dibangun oleh Prabowo, dan adanya efek katrol dari Jokowi dan Gibran selama kontestasi Pemilu Presiden tahun 2024 juga menjadi nilai plus bagi potensi kemenangan Gerindra.
Apalagi dengan adanya pemilu serentak, pilihan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden turut menentukan partai mana yang akan didukung dan dipilih. Dengan kartu triple kill Prabowo-Jokowi-Gibran, akan sangat disayangkan jika Gerindra masih gagal menang.
Ditulis oleh Muhammad Syaifulloh, Ketua Umum Angkatan Muda Khatulistiwa