Politik dan Pengawasan: Kontroversi RDPU DPRD Pohuwato terhadap Perusahaan Tambang Berizin

Pohuwato-Dalam narasi yang dibangun mengenai ketidakhadiran tiga perusahaan tambang dalam Rapat Dengar Pendapat DPRD Pohuwato, terselip sebuah pertunjukan politik yang patut disoroti secara kritis. Meskipun tampak sebagai upaya perlindungan lingkungan yang heroik, narasi ini justru mengungkap kecacatan dalam pendekatan pengawasan legislatif yang cenderung reaktif dan berorientasi pada konfrontasi.

Dari Substansi Menuju Sensasi: Personalisasi Masalah Administratif

Respons Ketua Komisi III yang “geram” atas ketidakhadiran perusahaan mengindikasikan sebuah pendekatan yang keliru dalam menyikapi persoalan administratif. Alih-alih berfokus pada substansi pemeriksaan AMDAL, narasi justru terperangkap dalam retorika penghinaan terhadap institusi. Pernyataan “tidak menghargai kami sebagai wakil rakyat” menunjukkan personalisasi masalah yang berbahaya, dimana kepentingan publik direduksi menjadi soal harga diri politik. Padahal, dalam negara hukum, ketidakhadiran dalam rapat seharusnya disikapi secara prosedural, bukan emosional.

Ancaman Pansus: Politik Pamer Kekuasaan yang Kontraproduktif

Penggunaan ancaman pembentukan Panitia Khusus (Pansus) sebagai senjata andalan mencerminkan mentalitas instan dalam menyelesaikan persoalan kompleks. Pansus yang seharusnya menjadi alat strategis untuk penyelidikan mendalam didegradasi menjadi sekadar alat tekanan untuk memaksa kehadiran dalam rapat. Pendekatan semacam ini tidak hanya menunjukkan ketidaksabaran politik, tetapi juga mengabaikan prinsip esensial bahwa pengawasan yang efektif membutuhkan pendekatan bertahap dan berbasis bukti.

Absennya Refleksi Diri: Mengabaikan Akar Masalah Sebenarnya

Narasi ini secara mencolok mengabaikan pertanyaan-pertanyaan kritis: Apakah undangan telah disampaikan dengan prosedur yang tepat? Apakah mekanisme koordinasi dengan dinas teknis terkait telah optimal? Daripada melakukan evaluasi internal terhadap efektivitas komunikasi dan koordinasi, DPRD memilih untuk menempatkan diri sebagai korban yang terhina. Sikap ini menghalangi proses introspeksi yang justru diperlukan untuk membangun sistem pengawasan yang lebih efektif.

Kegagalan Memahami Hierarki Pengawasan.

Klaim bahwa DPRD tidak dapat melakukan pengawasan tanpa akses langsung ke dokumen AMDAL mengungkap misunderstanding terhadap sistem pengawasan yang berjenjang. Seharusnya, DPRD melakukan pengawasan melalui evaluasi kinerja dinas teknis—dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup—yang memiliki kewenangan primer dalam pengawasan AMDAL. Dengan melompati hierarki ini, DPRD justru berisiko menciptakan tumpang-tindih kewenangan yang dapat melemahkan efektivitas pengawasan secara keseluruhan.

Dilema antara Pencitraan dan Substansi.

Narasi konfrontatif yang dibangun menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah ini benar-benar tentang perlindungan lingkungan, atau sekadar pertunjukan politik untuk konsumsi publik? Penekanan berlebihan pada “sikap tegas” dan ancaman eskalasi ke tingkat provinsi lebih mencerminkan politik pencitraan daripada komitmen substantif terhadap penyelesaian masalah. Dalam jangka panjang, pendekatan semacam ini justru dapat merugikan kepentingan publik, karena menyuburkan budaya konfrontasi alih-alih membangun tata kelola yang kolaboratif.

DPRD Pohuwato dan Paradoks Pengawasan: Antara Memburu yang Legal dan Membiarkan yang Ilegal?.

Dalam dinamika pemerintahan daerah, hubungan yang harmonis antara DPRD dan kebijakan pemerintah pusat merupakan prasyarat penting untuk menciptakan iklim investasi yang stabil. Namun, yang terjadi di Pohuwato justru menunjukkan fenomena sebaliknya, dimana DPRD setempat melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)-nya justru berpotensi bertabrakan dengan kebijakan pemerintah pusat yang telah mengeluarkan izin operasi bagi perusahaan tambang. Paradoks ini patut dikritisi, terutama ketika DPRD gencar mempersoalkan perusahaan legal sementara tambang ilegal dibiarkan beroperasi.

Pertama, perlu dipahami bahwa izin yang dikeluarkan pemerintah pusat bukanlah produk hukum yang sembarangan. Izin usaha pertambangan diterbitkan setelah melalui proses kajian yang komprehensif, termasuk analisis dampak lingkungan (AMDAL) yang ketat. Perusahaan-perusahaan tambang legal ini telah memenuhi semua persyaratan administratif, teknis, dan lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, upaya DPRD Pohuwato untuk “menguji ulang” legalitas perusahaan melalui RDPU justru berpotensi menimbulkan dualisme kebijakan dan ketidakpastian hukum. Padahal, perusahaan-perusahaan ini telah memberikan kontribusi nyata melalui penerimaan negara dan daerah, serta penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat lokal.

Kedua, terdapat kejanggalan prosedural dalam pelaksanaan RDPU tersebut. Dalam tata kelola pemerintahan yang baik, surat undangan RDPU yang bersifat formal dan melibatkan banyak pihak seharusnya ditandatangani oleh Ketua DPRD, bukan Wakil Ketua. Kesalahan prosedural ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan RDPU tidak dilakukan secara maksimal dan mempertanyakan kredibilitas proses tersebut. Bagaimana mungkin sebuah institusi legislatif dapat melakukan pengawasan dengan baik jika dalam hal prosedur dasar saja mereka abai?

Ketiga, yang paling ironis adalah paradoks dalam objek pengawasan. DPRD Pohuwato tampak begitu bersemangat mempersoalkan perusahaan tambang yang jelas-jelas legal dan telah mematuhi semua persyaratan, sementara di sisi lain, Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) atau tambang ilegal justru dibiarkan beroperasi. Tambang ilegal inilah yang sebenarnya menimbulkan dampak lingkungan lebih buruk, merugikan negara dari sisi penerimaan, dan seringkali terkait dengan praktik-praktik tidak sehat lainnya. Jika DPRD benar-benar konsern dengan lingkungan dan tata kelola pertambangan, seharusnya energi dan sumber daya difokuskan pada pemberantasan tambang ilegal ini.

Yang keempat, perlu diketahui bahwa yang merusak lingkungan adalah tambang ilegal, bukan tambang legal. Faktanya di lapangan, kerusakan lingkungan yang menyebabkan empat kali gagal panen sawah masyarakat Pohuwato diduga terkait dengan dua nama, yaitu Nasir Giasi, Ketua Komisi III. Ia diduga membackup tambang ilegal demi kepentingan perebutan kursi Ketua DPD II Golkar dan bahkan untuk memperoleh tiket di Pilkada.

Fenomena di Pohuwato ini mencerminkan sebuah kelucuan politik dalam lembaga perwakilan rakyat. Alih-alih melindungi kepentingan rakyat dengan memastikan kegiatan pertambangan berjalan sesuai aturan, yang terjadi justru pembiaran terhadap pelaku illegal dan penekanan berlebihan terhadap pelaku legal. Hal ini berpotensi mengirim sinyal yang salah kepada investor, bahwa kepatuhan pada aturan justru akan berujung pada represi politik, sementara ketidakpatuhan justru bisa berlindung dalam pembiaran.

DPRD Pohuwato perlu melakukan reorientasi dalam fungsi pengawasannya. Seharusnya, DPRD berperan sebagai mitra pemerintah daerah dan Pusat dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif, bukan menjadi penghambat dengan mempersulit perusahaan yang sudah legal. Fokus pengawasan semestinya diarahkan pada penertiban tambang ilegal yang jelas-jelas merugikan negara dan merusak lingkungan. Dengan demikian, DPRD benar-benar dapat menjalankan fungsinya sebagai representasi kepentingan rakyat, bukan sekadar menciptakan drama politik yang kontraproduktif bagi pembangunan daerah Pohuwato?

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *