BEKASI ~ Dunia pendidikan kembali diguncang oleh kasus kekerasan antar pelajar. Seorang siswa kelas X SMK Negeri 1 Cikarang Barat berinisial AAI menjadi korban tindakan kekerasan (bullying) yang menyebabkan patah tulang pada bagian rahangnya. Peristiwa ini kini resmi memasuki proses hukum dan tengah ditangani oleh pihak kepolisian sektor (Polsek) Cikarang Barat.
Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Cikarang Barat, IPTU Engkus Kusnadi, mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengamankan 12 orang untuk dimintai keterangan. Dari hasil pemeriksaan tersebut, sebanyak lima orang telah ditetapkan sebagai tersangka. “Satu orang tersangka merupakan pelaku dewasa, sementara empat lainnya adalah Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH),” ujar Engkus saat konferensi pers di Mapolsek Cikarang Barat, Jum’at (19/09/2025).
Kronologi kejadian bermula dari unggahan korban di status WhatsApp yang menampilkan dirinya bersama seorang teman perempuan menggunakan almamater sekolah. Unggahan ini diduga memicu kemarahan pelaku yang menganggap tindakan tersebut melanggar “aturan tidak tertulis” di lingkungan sekolah, terutama yang berhubungan dengan kelompok internal bernama “BASIS”.
Menurut keterangan dari pihak sekolah, “BASIS” merujuk pada sekelompok siswa yang tercatat dalam daftar pengawasan kesiswaan, meskipun belum dapat secara resmi diklasifikasikan sebagai geng atau organisasi terlarang di sekolah. IPTU Engkus menekankan bahwa meskipun istilah tersebut berasal dari internal sekolah, pihak kepolisian tetap memfokuskan proses penyidikan pada unsur pidana dalam kasus kekerasan tersebut.
Penanganan terhadap empat pelaku yang masih di bawah umur akan dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam proses ini, prinsip keadilan restoratif dan perlindungan hak anak tetap diutamakan. “Kami akan menangani ABH ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mereka tetap harus bertanggung jawab atas perbuatannya,” tegas Engkus.
Kasus ini menjadi refleksi penting bagi seluruh pemangku kepentingan pendidikan agar lebih waspada terhadap budaya kekerasan yang kerap tumbuh di lingkungan sekolah. Sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ruang tumbuh kembang karakter. Oleh karena itu, penting untuk membangun sistem pembinaan siswa yang mencegah munculnya kelompok-kelompok informal yang berpotensi menimbulkan dominasi sosial dan kekerasan.
Pihak kepolisian juga mengimbau kepada sekolah-sekolah lain di wilayah Bekasi dan sekitarnya untuk aktif membangun sistem pemantauan sosial internal siswa yang sehat, serta memperjelas batasan aturan dan sanksi, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan aparat penegak hukum sangat penting untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan bebas dari intimidasi.
Kasus AAI menjadi titik balik bagi dunia pendidikan di Kabupaten Bekasi dalam menangani persoalan bullying secara sistemik dan tegas. Diharapkan, proses hukum ini tidak hanya memberikan keadilan bagi korban, tetapi juga menjadi peringatan keras terhadap pelaku dan pihak yang membiarkan kekerasan tumbuh di institusi pendidikan.
Dengan proses hukum yang berjalan, masyarakat kini menantikan langkah lanjutan dari Dinas Pendidikan, Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD), dan instansi terkait lainnya untuk turut serta melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pembinaan di sekolah, demi menjamin tidak terulangnya tragedi serupa di masa depan.
(CP/red)