SEMARANG —Ruang sidang Pengadilan Negeri Semarang Kelas IA Khusus Tindak Pidana Korupsi yang berada di bilangan Jl. Suratmo No. 174, Manyaran, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang Jawa Tengah berubah menjadi panggung pengungkapan nurani pada, Kamis (11/12/2025) siang. Enam terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) Dinas Kesehatan Kabupaten Karanganyar membacakan nota pembelaan (pledoi) mereka. Kata demi kata meluncur, membelah atmosfir sidang dengan desakan keadilan yang mereka harap masih tinggal di republik hukum ini.
Mereka adalah Purwati, SKM., MKes selaku mantan Kepala Dinas; Amin Sukoco staf pengadaan; Kusmawati Kabid Gizi dan Kesehatan Keluarga; serta tiga pihak rekanan: Johnathan Sukartono, Dodo Nobianto, dan Septian Widhianto. Keenamnya berdiri di hadapan majelis dengan keberanian yang lahir dari keyakinan: bahwa hukum semestinya menjadi lentera, bukan belenggu yang dibentuk dari ketimpangan birokrasi.
Salah satu sorotan terbesar dalam persidangan adalah posisi hukum terdakwa Amin Sukoco. Rangkaian fakta memperlihatkan bahwa tuduhan intervensi aparat kepolisian di awal penyidikan ternyata tidak pernah terjadi. Yang ada hanyalah pesan agar pernyataan saksi/terdakwa Septian mengenai dana Rp400 juta tidak menyeret institusi tertentu, sebuah imbauan verbal, bukan intimidasi struktural. Fakta ini selaras dengan asas due process of law sebagaimana diamanatkan KUHAP.
Persidangan juga mengungkap kecacatan penyidikan awal ketika penasihat hukum pertama yang direkomendasikan atasan justru menjadi tersangka obstruction of justice berdasarkan Pasal 21 UU Tipikor. Ketidakjelasan tindak lanjut perkara tersebut menghadirkan tanya besar: bagaimana mungkin penyidikan yang berpotensi tidak objektif menjadi fondasi tuntutan terhadap terdakwa yang hanya berperan sebagai staf pelaksana?
Dari keterangan Purwati dan Kusmawati, terang benderang bahwa Amin Sukoco bukan pejabat pengambil keputusan, bukan PPK, bukan KPA, bukan penanda tangan kontrak, bukan penentu vendor, dan bukan penerima aliran dana. Seluruh tindakannya adalah pelaksanaan instruksi atasan, sesuai kultur birokrasi yang sering kali menjerat staf teknis ke dalam lingkar kesalahan yang bukan miliknya. Sebagaimana asas in dubio pro reo, keraguan seharusnya menjadi keberpihakan kepada terdakwa.
Kesaksian vendor memperkuat fakta bahwa uang dan komunikasi terkait fee dilakukan antara pihak penyedia dengan pejabat teknis dan Kepala Dinas (bukan dengan Amin Sukoco). Bahkan temuan bahwa tanda tangan Direktur PT Sungadiman pada kontrak diduga palsu membuat kontrak menjadi cacat hukum, dan cacat itu tidak mungkin dibebankan kepada ASN yang tidak terlibat dalam proses pembuatannya.
Dengan kata lain, unsur melawan hukum dan memperkaya diri sebagaimana dimaksud Pasal 2 dan 3 UU Tipikor tidak menempel pada Amin Sukoco. Ia menerima *tetapi didistribusikan ke pihak pihak yang disampaikan sesuai fakta persidangan*, tidak meminta, tidak menyuruh, dan tidak mengetahui detail aliran dana. Dalam perspektif hukum administrasi modern, ia termasuk kategori the victim of bureaucratic system, korban sistem yang kurang baik, bukan pelaku kejahatan.
Sementara Kusmawati, yang juga didampingi penasihat hukum, menyampaikan bahwa dirinya hanya menjalankan tugas teknis sesuai SK Bupati. Dalam kesaksian dan pledoinya, Kusmawati menyebut bahwa dirinya pun tidak berada dalam posisi strategis menentukan vendor atau mengendalikan anggaran. Dalam konteks ini, ia menegaskan bahwa banyak staf justru terjerat oleh kegagapan pejabat struktural memahami sistem pengadaan berbasis elektronik.
Gangsar Andi Kristiawan, S.H, dari Adibrata Law Firm selaku penasihat hukum Kusmawati, menyampaikan pernyataan tegas di luar ruang sidang:
“Klien kami adalah korban sistem birokrasi yang tidak berjalan sehat. Ia bukan pengambil keputusan, bukan penerima keuntungan, dan tidak memiliki konstruksi kewenangan untuk melakukan korupsi. Ia adalah staf yang terseret oleh cacat administrasi yang sudah lama dibiarkan.”
Senada dengan itu, terdakwa Amin Sukoco menyampaikan pernyataan pribadi yang menyentuh:
“Saya menjalankan tugas sebagaimana perintah. Tidak ada niat jahat, tidak ada keuntungan yang saya ambil. Jika ada kesalahan dalam sistem, jangan bebani staf teknis yang hanya bekerja sesuai perintah. Saya berharap keadilan benar-benar tegak, bukan sekadar tampak.”
Dari sisi penuntutan, Jaksa Penuntut Umum, Tegar Jati Kusuma, S.H., menyampaikan pernyataan resmi mengenai tuntutan yang telah dibacakan sebelumnya:
“Untuk terdakwa Purwati kami menuntut 4 tahun penjara, Amin Sukoco 3 tahun, Kusmawati 2 tahun, serta tiga orang dari pihak vendor masing-masing 2 tahun. Untuk status PPK, silakan ditanyakan langsung kepada Kasipidsus Kejaksaan yang menangani perkara ini.”
Pernyataan tersebut menjadi bagian dari transparansi proses hukum sebagaimana prinsip akuntabilitas dalam UU Kejaksaan.
Kini, majelis hakim memikul beban mulia: menilai fakta, memilah kebenaran, dan memberi putusan sesuai asas keadilan substantif. Persidangan ini bukan sekadar tentang enam terdakwa, melainkan tentang wajah birokrasi, integritas penegakan hukum, dan masa depan tata kelola pengadaan publik di Indonesia. Ketika hukum berdiri tegak pada kebenaran, negara menjadi terang. Dan pada hari ini, keenam terdakwa itu menaruh seluruh harapan mereka pada cahaya itu.
(CP/red)






