BANDUNG — Penindakan hukum terhadap perilaku koruptif kembali menggema dari Jawa Barat. Penyidik Bidang Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi Jawa Barat resmi menahan dua tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian tunjangan perumahan bagi pimpinan dan anggota DPRD Kabupaten Bekasi tahun 2022–2024. Kasus yang menyeret tokoh penting di legislatif dan birokrasi Bekasi ini dipastikan menimbulkan kerugian negara yang mencapai Rp 20 miliar.
Kajati Jawa Barat, Dr. Hermon Dekristo, S.H., M.H., melalui Aspidsus Roy Rovalino, S.H., M.H., menyampaikan bahwa penetapan tersangka merupakan hasil pendalaman mendalam dari tim penyidik sesuai amanat UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menegaskan setiap penyalahgunaan kewenangan yang memperkaya diri atau orang lain wajib diproses tanpa pandang bulu.
Roy menjelaskan bahwa proses penyidikan dilakukan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print-66/M.2/Fd.1/08/2025 dan diperkuat dengan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print-3420/M.2/Fd.2/12/2025. Langkah ini menjadi dasar penetapan serta penahanan dua tersangka yang ditengarai memanipulasi mekanisme penentuan tunjangan perumahan DPRD.
Dua tersangka yang kini berhadapan dengan hukum itu ialah:
RAS, Sekretaris DPRD Kabupaten Bekasi periode 2022–2024, yang kini menjabat Kepala Dinas PMD Kabupaten Bekasi, ditetapkan berdasarkan TAP-161/M.2/Fd.2/12/2025.
S, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bekasi periode 2022–2024, ditetapkan berdasarkan TAP-162/M.2/Fd.2/12/2025.
Kasus bermula saat pada tahun 2022 para anggota DPRD Kabupaten Bekasi mengajukan kenaikan tunjangan perumahan. Sekretaris DPRD, RAS, kemudian menunjuk KJPP Antonius untuk melakukan penilaian sesuai SPK No. 027/05 PPK/APM.PRM/I/2022 tentang belanja jasa konsultasi penilaian tunjangan perumahan. Penunjukan tersebut tercatat dilakukan oleh RAS selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Namun setelah dilakukan penilaian, hasil tunjangan yang direkomendasikan KJPP—Ketua DPRD sebesar Rp42,8 juta, Wakil Ketua Rp30,35 juta, dan Anggota Rp19,8 juta, justru ditolak oleh pimpinan dan anggota DPRD Kabupaten Bekasi. Penolakan inilah yang menjadi titik awal terjadinya pelanggaran serius dalam mekanisme penentuan anggaran.
Aspidsus mengungkapkan fakta mencengangkan: KJPP hanya menghitung nilai tunjangan untuk Ketua DPRD, sementara besaran tunjangan Wakil dan Anggota DPRD ditentukan sepihak oleh pimpinan DPRD—dipimpin tersangka S, tanpa menggunakan jasa penilai publik, sehingga melanggar Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 101/PMK.01/2014 yang mewajibkan penilaian profesional dalam penetapan nilai sewa atau properti negara.
Perbuatan kedua tersangka tersebut, menurut penyidik, secara terang melanggar asas-asas pengelolaan keuangan negara sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan telah menciptakan kerugian negara sebesar kurang lebih Rp 20 miliar. Kerugian ini diyakini sebagai hasil dari rekayasa proses penilaian dan penganggaran tunjangan perumahan.
Dalam penegakan hukum, Kejati Jabar menahan tersangka RAS selama 20 hari di Rutan Kelas I Kebon Waru, terhitung 9–28 Desember 2025, sesuai Surat Perintah Penahanan Nomor: PRINT-3421/M.2.5/Fd.2/12/2025. Sementara tersangka S tidak ditahan karena sedang menjalani pidana di Lapas Sukamiskin dalam perkara lain, sehingga proses penyidikan akan dilakukan melalui mekanisme pemeriksaan tahanan.
Atas perbuatannya, kedua tersangka dijerat Pasal 2 dan Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Tipikor, yang mengatur ancaman pidana atas penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penyertaan, serta jo. Pasal 56 KUHAP terkait pemberian bantuan atau kemudahan dalam tindak pidana.
Kasus ini sekaligus menjadi alarm keras bagi penyelenggara pemerintahan daerah agar tidak bermain-main dengan anggaran negara, terlebih dalam konteks fasilitas pejabat publik. Kejati Jawa Barat menegaskan komitmennya bahwa praktik manipulatif semacam ini tidak akan dibiarkan menjadi budaya, karena bertentangan dengan semangat good governance, transparansi, dan akuntabilitas publik.
Penahanan dua tokoh Bekasi ini juga menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi bukan sekadar slogan, melainkan tindakan nyata untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintahan daerah. Kejati Jabar memastikan bahwa pengusutan kasus ini akan terus dikembangkan, termasuk kemungkinan adanya tersangka baru. (CP/red)






