Pembongkaran Jembatan Tanpa Prosedur di Kabupaten Bekasi, LSM PENJARA indonesia Laporkan Dugaan Pelanggaran Hukum ke Kejaksaan

BEKASI ~ Langkah kontroversial Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) yang membongkar jembatan penghubung antara Kampung Srengseng Jaya, Desa Sukadarma, dan Kampung Bungur, Desa Sukamulya, Kabupaten Bekasi, menuai sorotan tajam. Pasalnya, jembatan yang dibangun dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tersebut diduga dibongkar tanpa mengikuti prosedur hukum dan administrasi sesuai ketentuan yang berlaku. Ketua DPC LSM Pemantau Kinerja Aparatur Negara Indonesia (LSM PENJARA Indonesia), JM. Hendro, secara resmi telah melaporkan dugaan pelanggaran ini ke Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi.

JM. Hendro menegaskan bahwa tindakan pembongkaran asset milik pemerintah daerah tidak bisa dilakukan secara sepihak tanpa melalui proses administratif dan legal yang jelas. “Hari ini kami secara resmi melaporkan kasus ini. Jembatan tersebut dibangun dengan uang rakyat melalui APBD. Tidak bisa seenaknya dibongkar tanpa mekanisme yang sah. Ini bukan bangunan liar, tapi aset negara,” ujarnya tegas kepada media, Kamis (11/9/2025).

Mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah serta Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) terkait, setiap penghapusan atau pembongkaran aset negara harus didahului dengan penilaian kondisi barang, penetapan alasan penghapusan, dan persetujuan dari pihak berwenang. Hal ini termasuk dokumentasi proses, pembuatan berita acara, dan penghapusan dari daftar inventaris barang secara administratif.

“Tidak cukup hanya disetujui oleh Lurah atau Camat. Mereka bukan pemilik aset, melainkan hanya bagian dari sistem pengelolaan. Setiap tahapan harus dijalankan dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi,” sindir Hendro, menyoroti dugaan kelalaian prosedural yang dapat berimplikasi hukum serius.

Lebih jauh, Hendro menjelaskan bahwa tindakan pembongkaran aset negara tanpa dasar hukum yang sah berpotensi masuk dalam kategori tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua pasal tersebut menegaskan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan merugikan keuangan negara, dapat dipidana.

Termasuk pula pejabat pemerintah seperti Lurah dan Camat yang secara sadar atau tidak, menyalahgunakan kewenangan atau jabatannya. “Jika mereka menyetujui pembongkaran tanpa proses formal, maka mereka dapat dianggap turut serta melakukan perbuatan melawan hukum yang berakibat pada kerugian negara,” tegas Hendro.

Konsekuensi dari pengelolaan aset negara yang ceroboh atau menyimpang tidak hanya berdampak secara administratif, melainkan juga berpotensi menimbulkan kerugian negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh sebab itu, mekanisme penghapusan atau pengalihan aset wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati-hatian, sesuai regulasi, dan dengan pengawasan instansi yang berwenang.

Dalam konteks ini, LSM PENJARA meminta Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi untuk segera menindaklanjuti laporan tersebut dan melakukan penyelidikan mendalam atas dugaan pelanggaran hukum terkait pembongkaran jembatan tersebut. “Kami tidak ingin praktik seperti ini terus terjadi dan menjadi preseden buruk dalam tata kelola aset publik,” tambah Hendro dengan penuh keyakinan.

Tindakan pembongkaran secara sepihak terhadap aset pemerintah, tanpa dasar hukum dan prosedur yang benar, patut diduga sebagai bentuk perbuatan melawan hukum (PMH). Jika terbukti, maka hal ini dapat dijerat pidana korupsi dan menjadi pelajaran penting bagi seluruh instansi pemerintah untuk tidak gegabah dalam mengelola barang milik negara atau daerah. Aparat penegak hukum diharapkan hadir menegakkan supremasi hukum demi keadilan dan kepercayaan publik.
(CP/red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *