Negara Demokrasi Yang Makin Tidak Demokratis

Koordinator Presidium Demokrasiana Institute, Zaenal Abidin Riam

 

Indonesia sering mendapat sanjungan sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, sekilas pujian tersebut terkesan membanggakan, akan tetapi yang perlu menjadi catatan kritis, predikat sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia tidak selamanya berbanding lurus dengan kualitas demokrasi, sangat mungkin terjadi kualitas demokrasi yang rendah dialami oleh negara demokrasi yang besar, dan faktanya hal itu terjadi dalam konteks Indonesia, walaupun dijuluki sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia tetapi kualitas demokrasi di Indonesia tidak cukup menggembirakan.

Jika mengacu pada laporan indeks demokrasi yang dikeluarkan The Economist Inteligence Unit (EIU) pada bulan Februari 2023, indeks demokrasi Indonesia berada di urutan 54 dari 167 negara, peringkat ini mengalami penurunan dari tahun 2021 dimana Indonesia berada di urutan 52. Dengan peringkat terbaru ini, Indonesia berada di bawah Kolombia dan dan Philipina yang masing-masing berada di peringkat 53 dan 52. Bahkan Indonesia tertinggal jauh dari negara tetangga Malaysia yang berada di peringkat 40. Pengukuran indeks demokrasi yang dilakukan EIU menggunakan 60 indikator yang dibagi ke dalam lima kategori yakni kebebasan sipil, pemilu dan pluralisme, fungsi pemerintah, partisipasi politik, dan budaya politik. Melorotnya indeks demokrasi menyebabkan Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat (flawed democracy). Sebuah fakta yang tidak menggembirakan bagi penerapan demokrasi di Indonesia.

Sementara itu jika mengacu pada skor demokrasi Indonesia yang dirilis oleh Freedom House, hasilnya juga tidak lebih baik. Sejak rentang 2013 sampai 2022, skor demokrasi Indonesia justru mengalami kemunduran. Pada 2015 skor demokrasi Indonesia di angka 65 tetapi pada 2022 angkanya menurun menjadi 59. Dengan kondisi tersebut Indonesia ditetapkan sebagai negara yang status demokrasinya masuk kategori “belum sepenuhnya demokrastis” (partly free). Agak sedikit berbeda dengan EIU, Freedom House yang merupakan lembaga asal AS mengukur skor demokrasi denganberlandaskan pada tiga aspek yaitu kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga-lembaga demokrasi.

Professor ilmu politik dari Barcelona University, Leonardo Marlino, menekankan bahwa ada tiga tolak ukur yang bisa digunakan untuk mengukur kualitas demokrasi dalam sebuah negara, ketiganya saling mempengaruhi satu sama lain, tolak ukur tersebut adalah rule of law (aturan hukum), accountability (pertanggungjawaban), dan responsiveness (kepekaan). Jika penerapan aturan hukum cenderung rendah karena diterapkan dengan sistem tebang pilih, maka kualitas pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat mengenai kinerjanya juga akan rendah, jika pemerintah tidak mampu mempertanggungjawabkan secara maksimal kinerjanya kepada rakyat, maka kepekaan pemerintah selaku pengambil kebijakan kepada rakyat juga akan rendah, pemerintah akan bersikap semaunya dalam mengambil kebijkan tanpa memperhatikan secara utuh aspirasi rakyat, akibatnya kebijakan yang diputuskan tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat.

Jika teori tersebut digunakan sebagai pisau analisa untuk membedah pemerintahan Joko Widoo-Ma’ruf Amin, maka bisa dipahami mengapa banyak pihak yang mempertanyakan dan meragukan komitmen pemerintah terhadap penerapan demokrasi. Faktanya keseriusan untuk melakukan penerapan aturan hukum secara berkeadilan tertinggal jauh dibandingkan ambisi pemerintah membangun infrastruktur. Akibat rendahnya penerapan aturan hukum menyebabkan pertanggungjawaban dan kepekaan pemerintah terhadap suara rakyat mengalami penurunan, hal itu menjadikan kualitas demokrasi di Indonesia jauh terdegradasi. Bukti konkrit dari degradasi kualitas demokrasi bisa dilihat dengan munculnya beberapa manuver politik yang bertentangan dengan prinsip demokrasi yakni perpanjangan masa jabatan Presiden, perpanjangan masa jabatan komisioner KPK, serta upaya untuk mengembalikan pemilihan Presiden ke tangan MPR. Patut diakui demokrasi memang bukan sistem yang sempurna, demokrasi bahkan mengandung cacat bawaan, namun dalam konteks terkini demokrasi merupakan pilihan terbaik dari yang terburuk.

Zaenal Abidin Riam
Pengamat Kebijakan Publik, Koordinator Presidium Demokrasiana Institute

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *