“Mimpi adalah kunci, untuk kita menaklukkan dunia…” (Nidji-Laskar Pelangi)
Kutipan lirik lagu “Laskar Pelangi” yang dipopulerkan Giring Nidji di atas menggambarkan kedahsyatan mimpi yang mampu menaklukkan dunia. Sungguh mimpi itu memiliki kekuatan motivasi yang luar biasa untuk kemajuan setiap insan manusia.
Pada akhir Februari yang lalu pun jagad media sosial di Indonesia, khususnya Twitter, diramaikan dengan kedahsyatan kata “mimpi” dalam upaya mewujudkan keadilan guna menggapai tujuan bersama, yaitu kesejahteraan. Lalu, mengapa diksi (pilihan kata) “mimpi” dikaitkan dengan keadilan, sedangkan “muara” dikaitkan dengan kesejahteraan?
Diksi mimpi dan muara memang merupakan hal yang menarik. Mimpi yang diformulasikan menjadi gagasan akan menjadi ide. Ide kreatif yang diupayakan dengan terencana dan bersungguh-sungguh tentu diharapkan akan terwujud. Perwujudan yang diimpikan tersebut termasuklah keadilan.
Perwujudan keadilan dalam aspek hukum dan pemerataan perolehan ekonomi, misalnya tak lagi menjadi angan-angan belaka jika diupayakan sungguh-sungguh perwujudannya. Perwujudan keadilan tidak hanya diupayakan oleh segenap penegak hukum, tetapi perlu juga peran aktif pemerintah, legislatif, dan partisipasi masyarakat. Masyarakat bersama pilar demokrasi keempat, yaitu jurnalis, perlu bersama-sama melakukan pengawasan dan mengawal terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penegakan hukum perlu adil untuk semua kalangan, tidak tajam dan kejam ke bawah, tetapi tumpul dan mandul ke atas. Penegakan hukum tidak boleh “pandang bulu” dalam penerapannya.
Lalu, terkait dengan keadilan ekonomi, juga harus ditegakkan sebagaimana penegakan hukum. Keadilan ekonomi perlu ditegakkan. Tidak boleh ada di negeri ini, segelintir orang memiliki sebagian besar aset di negara Indonesia. Menurut Hafid Abbas, kekayaan Indonesia yang amat besar, hanya dikuasai 4 orang superkaya di Indonesia. (Kliksaja Makassar, Maret 2022).
Kesenjangan ekonomi juga nampak dari laporan dari World Inequality Report (WIR) 2022, selama 2021-2022, terdapat 50% penduduk Indonesia hanya memiliki kurang dari 5% kekayaan rumah tangga nasional, sedangkan 10% penduduk lainnya memiliki 60% kekayaan rumah tangga nasional (Katadata.co.id, Juni 2022).
Melihat berbagai kesenjangan ekonomi tersebut, sudah selayaknya perlu ada peraturan perundang-undangan yang jelas untuk membatasi penguasaan aset yang terlalu besar. Kebijakan ini juga perlu dibarengi dengan penguatan kebijakan yang berpihak pada ekonomi lemah dan UMKM. Tingkat pengangguran pun perlu diminimalkan dengan memberikan kemudahan pada usaha dan industri yang bersifat padat karya. Upaya ini diharapkan dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak.
Selain keadilan dalam hukum dan ekonomi, diperlukan juga keadilan dalam upaya mendapatkan akses pendidikan bermutu. Tidak boleh terjadi kesenjangan dalam mendapatkan akses pendidikan. Penguasaan akses pendidikan bermutu amat berpengaruh terhadap penguasaan pengetahuan. Kesenjangan dalam perolehan pengetahuan merupakan pangkal dari kesenjangan sosial lainnya. Semakin tinggi tingkat pengetahuan dan pendidikan seseorang, maka semakin tinggi pula kemampuannya untuk bisa terlepas dari kemelut kemiskinan berlarut-larut berlangsung turun-temurun, yang dikenal dengan kemiskinan struktural.
Pengadaan pendidikan bermutu di Pulau Jawa dan Bali, Sumatera dan Kalimantan, Sulawesi dan NTB, NTT dan wilayah timur Indonesia lainnya hingga ke Papua perlu ditingkatkan secara merata. Kemudahan akses pendidikan bermutu ini tentu juga perlu didukung dengan pembangunan infrastruktur yang adil dan merata. Kita tahu, pandemi yang melanda Indonesia, mengharuskan siswa terpaksa belajar secara daring/ online, semakin menerpurukkan Indonesia pada jurang kesenjangan pendidikan. Hal ini dikarenakan kesenjangan akses teknologi informasi yang terjadi di Indonesia. Kesenjangan pembelajaran daring tersebut bukan hanya dialami oleh peserta didik, tetapi juga terjadi kepada guru dan tenaga kependidikannya.
Berbagai kesenjangan dalam bidang pendidikan tersebut tentu perlu diupayakan pemecahannya secara komprehensif. Semua pihak, terutama pemerintah pusat dan daerah perlu bahu membahu mengupayakan keadilan dalam upaya pemerataan kemudahan akses pendidikan bermutu. Upaya tersebut juga perlu didukung oleh legislatif pusat dan daerah, termasuk juga dukungan kemudahan/ regulasi partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Jurnalis pun perlu aktif melakukan pengawasan penyelenggaraannya yang dibarengi dengan informasi yang masif dan komprehensif dari jurnalis kepada masyarakat.
Pemerintah dan legislatif harus mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pendidikan, termasuk penyenggaraan pendidikan yang dijalankan oleh sekolah swasta atau yayasan pendidikan. Diperlukan adanya peraturan perundangan yang jelas yang mendukung penyelenggaraan pendidikan oleh masyarakat. Partisipasi masyarakat ini diperlukan, walau sesungguhnya negara mengamanatkan pada pemerintah untuk pihak yang paling bertanggung jawab mengemban amanah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sekolah swasta/ yayasan pendidikan perlu diberi kemudahan mendapatkan sarana dan prasarana pendidikan. Yayasan pendidikan diberi kemudahan untuk mendapatkan dana penyelenggaraan pendidikan dari pemerintah pusat dan daerah. Yayasan juga dipermudah mendapatkan lahan yang memadai untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan bermutu.
Pada akhirnya, berbagai upaya mewujudkan mimpi setiap insan Indonesia untuk mendapatkan keadilan yang merata dalam bidang hukum, ekonomi, pendidikan, dan kehidupan sosial lainnya diharapkan bermuara pada tercapainya kesejahteraan masyarakat Indonesia lahir dan batin. Kesejahteraan bangsa Indonesia lahir dan batin tersebut terwujud sebagai masyarakat adil- makmur-sejahtera yang dilimpahi berbagai keberkahan Tuhan Yang Maha Esa. Semoga.
Jakarta, 1 Maret 2023
Erfi Firmansyah (Pengamat Bahasa dan Budaya UNJ)