Oleh: Syahrul Efendi Dasopang, The Indonesian Reform Institute
Saya tidak banyak bergaul. Tapi dalam pergaulan yang beragam latar dan lapisan serta klas, sepanjang yang saya amati, telah kutemukan kecerdasan bangsa ini, bangsa kita ini, yaitu kecerdasan yang ironis. Kecerdasan yang pintar dalam menyesuaikan diri secara mental kepada para majikan dan boss agar dirinya disenangi dan pada saat yang sama agar majikan dan bossnya nyaman terhadap keberadaan dirinya.
Untuk kecerdasan adaptasi mental seperti itu, dia tidak segan mengubah dan mengorbankan kemerdekaan dirinya dan mentalnya menjadi sekedar perkakas, pelayan dan budak dari majikan dan boss-nya. Dan untuk pencapaian mentalitas itu yang menurutnya sebagai prestasi itu, dia bangga.
Hei…dia bangga sebagai jongos. Dia bangga sebagai babu, centeng dan atribut rendahan lainnya, demi dianggap afiliatif dengan majikan atau boss-nya.
Karena adaptasi mentalnya seperti itu, maka perbuatan menjilat, angkat telor, dan sok melindungi majikan, menjadi inheren dalam tabiatnya.
Inilah bangsa pelayan terbaik, dari bumi bagian selatan. Bangsamu. Bangsaku. Bangsa kita. Perih, pahit, ironis, tapi mau apa. Kenyataannya begitu.
Nah, jika dia bertransformasi menjadi elit, majikan atau boss, maka dia angkuh dan pongahnya bisa melebihi tingginya gunung semeru. Dia tidak tahan dikritik. Dia maunya dilayani dan dipuja layaknya tuhan. Tuhan pada babu-babu dan staf-stafnya.
Itu memang alamiah. Kontradiksi dari mentalitas budak, menuntut dan meniscayakan mentalitas feodal akut.
Jadi jika korupsi adalah tindakan menghianati dan menyelewengkan fungsi, tepatnya fungsi publik, akarnya berasal dari kontradiksi mentalitas di atas itu.
Di sisi lain, bangsa kita juga menyerap aspek watak yang buruk yang ditanamkan oleh kolonialisme di masa lalu kepada nenek moyang kita. Hingga dewasa ini, watak itu tetap lestari. Terutama di kalangan elit pemburu kekuasaan. Inilah yang disebut mentalitas sinkrerik feodal – Belanda hitam. Inspirasinya dari penjajahan itu sendiri yang eksploitatif dan tradisi feodal kontra demokratis dari pra kolonialisme.
Misalnya dapat dilihat bagaimana hal yang datang dari luar, begitu tiba di Indonesia atau di negeri ini, direspon dengan praktik eksploitasi terhadap bangsa sendiri demi kekuasaan dan kekayaan sendiri. Bukannya membela rakyatnya sendiri dan keluhuran jiwa manusia.
Dulu penjajahan datang dari Eropa, para feodal merespon dengan mengeksploitasi bangsa sendiri, berkonflik dengan sesamanya, mengeksploitasi rakyat dan kekayaan alamnya, demi keuntungannya sendiri. Mereka menggandeng penjajah itu untuk mengekalkan kekuasaannya di atas rakyat dan pada saat yang sama, mengeliminasi seteru politik internal mereka. Perpecahan di dalam berbagai kerajaan saat itu, adalah buktinya. Mulusnya penjajahan yang menghisap kekayaan negeri dan tenaga rakyat hingga ratusan tahun dengan penjajah dari Belanda, Prancis, Inggris dan kembali ke Belanda, adalah bukti yang tak dapat ditepiskan. Sampai kemudian zaman semangat nasionalisme menggulung karakter feodal-belanda hitam itu dari puncak piramida kekuasaan politik di dalam masyarakat. Namun tidak benar-benar tercerabut. Saat situasi kondusif, watak itu kembali mekar seperti sekarang ini.
Mari kita bandingkan, wabah corona dengan penjajahan di masa lalu. Wabah corona bukan datang dari Mentawai atau pendalaman Kalimantan. Tapi datangnya dari luar, negeri asing. Seperti halnya kolonialisme, datangnya dari Belanda. Tapi di sini direspon dengan mengeksploitasi bangsa sendiri, anggaran negara diputar dan dialirkan guna menguntungkan pendukung kekuasaan, situasi histeria corona dimanipulasi dan dieksploitasi guna keuntungan kekuasaan, konflik dengan sesama pemburu kekuasaan, dan sebagainya, suatu gaya yang mengingatkan watak dan praktik feodal lama.
Tampaknya karakter khas bangsa ini tak pernah berevolusi kepada yang baik dari sisi politik. Pengecut, oportunis akut, main lempar batu sembunyi tangan, sangat lihai perekayasa dan trik kambing hitam, hedonis, hipokrit dan pada saat yang sama tegaan dan kejam.
Sejarah dan fakta sekarang, telah membuktikan hal ini. Ini berarti, faktor endogen, yaitu mentalitas feodal – Belanda hitam, terkandung dan tersedia pada sisi buruk watak bangsa ini. Di samping faktor eksogen dari luar yang memenetrasi hingga merusak integritas dan keluhuran bangsa ini.
Hal itu semua memang suatu masalah yang harus dipecahkan melalui pendidikan yang sistematis dan terstruktur. Namun sayang sekali, sudah hampir 75 tahun negeri ini lepas langsung dari kontrol kolonialisme Belanda, masih saja watak feodal – Belanda hitam itu tak pernah sirna total.
Bahkan yang ironis sekarang ini, bagaimana mungkin seorang menteri pendidikan pada saat yang sama terlibat berbisnis melalui Gopay-Gojek di dalam suatu kasus yang disorot luas masyarakat, yaitu skandal program pra kerja. Kentara sekali sifat oportunisnya. Jelas kredibilitas menteri semacam itu dipertanyakan. Tapi bagaimana lagi, presidennya juga oportunis dengan mendukung anaknya jadi calon walikota Solo ? Ya…bagaimana lagi, semua masyarakat memaklumi dan mengesahkan oportunisme itu hadir dan diamalkan dalam praktik publik. Wajarlah negeri ini sarat dengan korupsi.
~