Oleh: Arman Alwi BSNPG/Sekretaris Direktur Eksekutif DPP Partai GOLKAR
Di tengah turbulensi politik nasional yang kian transaksional dan dangkal secara ideologis, Pengajian Ideologi Kebangsaan yang digagas DPP Partai GOLKAR, BSNPG dan AMPG pada 6 Maret 2025 menjadi oase penting dalam membangun kembali fondasi kebangsaan kita. Inisiatif ini tidak sekadar seremoni formal, melainkan langkah serius untuk menghidupkan kembali Pancasila sebagai ideologi hidup, bukan sekadar hafalan sekolah atau jargon kampanye.
Dalam pengajian tersebut, ditegaskan bahwa Pancasila adalah ideologi terbuka. Ia tidak kaku dan dogmatis seperti ideologi tertutup, namun fleksibel, kritis, dan adaptif terhadap zaman. Justru di sinilah kekuatannya, nilai-nilainya yang bersumber dari budaya bangsa menjadikannya relevan di setiap generasi. Pancasila lahir bukan dari buku-buku Barat, melainkan dari jiwa kolektif bangsa yang menghargai musyawarah, gotong royong, dan keadilan sosial.
Lebih dari itu, Pancasila tidak boleh berhenti di tataran teori. Ia harus menjadi pedoman konkret dalam perilaku politik, sosial, dan ekonomi. Di sinilah peran partai politik, khususnya Partai GOLKAR, sebagai partai ideologis, gagasan, dan programatik, menjadi sangat penting. Golkar hadir bukan sekadar untuk menang pemilu, tapi untuk memastikan bahwa pembangunan, kesejahteraan, dan nilai-nilai luhur bangsa terus berjalan.
Doktrin Karya Kekaryaan yang diusung Golkar menekankan pada pengabdian melalui kerja nyata. Inilah bentuk konkrit ideologi: bukan sekadar berbicara, tapi berkarya. Dalam konteks ini, ideologi tidak lagi menjadi menara gading intelektual, tapi kompas moral dan strategi perjuangan yang membumi.
Pengajian ini juga menyentuh persoalan mendasar: bahwa banyak elite politik dan generasi muda saat ini mengalami degradasi pemahaman terhadap Pancasila. Ironisnya, di tengah semangat demokrasi, yang justru mengemuka adalah perilaku politik yang pragmatis, Machiavellistik, bahkan oligarkis. Demokrasi prosedural menang, tetapi demokrasi substansial, yang seharusnya berakar pada nilai justru melemah.
Karena itu, membumikan ideologi berarti mengembalikan politik pada niat suci: melayani rakyat dan memperjuangkan cita-cita proklamasi. Politik bukan ajang saling memakan, melainkan ladang pengabdian. Pancasila bukan simbol di dinding, tetapi harus hidup dalam keputusan politik, gaya kepemimpinan, hingga program pembangunan.
Sebagaimana disampaikan dalam pengajian tersebut, ideologi bukanlah utopia. Ia bisa menjadi kenyataan, asal disertai dengan kerja keras dan konsistensi. Di sinilah pentingnya integrasi antara idealisme dan realisme, dua sisi yang harus terus dijaga agar ideologi tidak kehilangan relevansi dan politik tidak kehilangan arah.
Mari kita hidupkan kembali Pancasila sebagai ideologi, bukan sekadar pengetahuan. Mari jadikan partai politik bukan sekadar mesin pemilu, tapi rumah gagasan dan perjuangan. Karena tanpa ideologi, politik hanyalah seni untuk berkuasa, bukan jalan untuk membangun bangsa.